Tampilkan postingan dengan label seni sastra. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label seni sastra. Tampilkan semua postingan

Jumat, 24 Juli 2015

Daun - Daun Berselimut Abu

Gue orangnnya keitung jarang bikin cerpen. Koar2 pengen jadi penulis cerpen, tapi kerjaannya malah nulis curhat mulu. Hehehehe. Cerpen itu, man, butuh inspirasi, dan inspirasi itu, man, dateng bagaikan wahyu yang diterima para nabi. Intinya, inspirasi itu akan datang pada saatnya. Nah, gue orang yang bermasalah sama 'timing', sering dapet inspirasi tapi di saat ga tepat. Misalnya, dapet inspirasi bikin cerita horor disaat lagi takut2nya ama kuntilanak, ya mau nulisnya gimana coba. Nanti takut gue ama tulisan sendiri. Hehehehe ampun saya jangan dijitak.

Tapi jarang nulis cerpen bukan berarti gue ga punya cerpen yang jadi ya. Ini gue mau ngasih liat cerpen gue yang pernah disertakan dalam lomba menulis cerpen Faber-Castell tahun 2014 kalo ga salah ya benar. Ini versi extended-nya soalnya kalau yang diikutin ke lomba itu dibatasi 1200 kata aja. Padahal pas awal-awal ngebikin cerpen ini, belum nyampe ending aja udah 2000 kata. Bisa kebayang kan susahnya gue ngedit ulang ceritanya biar jadi pas 1200 kata. Emang peraturan lomba itu kadang - kadang membatasi imajinasi kita ya para pemirsah. Dan ternyata cerpennya ... yah belom beruntung untung menyabet juara. Hehehe.

Cerpen ini terinspirasi dari kisah Pendakian Soe Hok Gie ke Semeru yang berakhir tragis karena ber-ending kematian dari aktivis itu sendiri. Gue sampe nonton filmnya yang diperanin kang Nicholas Saputra yang ganteng masya Allah, sama baca buku dia yang berjudul 'Zaman Peralihan'. Gue suka banget ama doi abis keren amat ya. Cerdas, berani, tegas, tak gentar membela yang benar. Semoga beliau tetap dikenang dan ditiru sikap dan kecerdasannya oleh muda mudi bangsa kita. Amin.

Well, meski terinsipirasi dari Soe Hok Gie, toh cerita ini dikiiit banget yang ada hubungannya ama dia *spoiler*, yaaa mendalami kehidupan beliau hanya untuk membantu agar gue dapet sense tertentu saat nulis cerpen ini, biar serasa kayak lagi di jaman beliau gitu. Tapi ceritanya mah dari imajinasi gue sendiri lah. hehehehe
Akhirul kalam, selamat menikmati cerpennya. :)

_______________________________________

Udara malam dingin menusuk tulang. Angin gunung menyapu padang rumput ini. Bulan dengan jumawa menampakkan dirinya secara keseluruhan. Oro – oro Ombo terang benderang. Laki – laki itu, merobek kesunyian malam, melintasi padang rumput Oro – Oro Ombo dengan kecemasan yang sesekali tidak sanggup ia kendalikan. Di belakangnya seorang gadis berusaha mengikuti langkahnya meski terseok – seok karena beratnya tas keril. Cahaya bulan menyorot kepanikan yang kentara di wajahnya. Rendahnya suhu di Semeru tidak mampu mendinginkan pikiran lelaki itu. Sebuah tas keril besar dan berat di punggungnya, posisinya miring, sehingga makin menambah pikiran saja. Kemeja lapangannya sebagian telah berwarna merah, andil dari seorang gadis mungil yang berada dalam pangkuan tangannya. Senter yang ia pegang kadang terjatuh. Setiap lelaki itu merunduk untuk mengambil senternya yang terjatuh, gadis di pangkuannya terbangun, lalu batuk darah, dan kemudian pingsan lagi tak tahan dengan udara malam yang dingin.

Selamat Ulang Tahun, Ning.. Maaf tak bisa kita rayakan di Puncak Mahameru sana, seperti yang kau inginkan. Teguh memelas dalam hatinya. Sebilah golok yang di sampirkan Teguh di pinggangnya, berkilat – kilat ditempa sinar bulan yang anggun. Suara binatang malam yang bergaung, menjadi ancaman dalam kegelapan. Teguh tak peduli. Di hadapannya, adiknya tengah dikejar ajal.   

“Nining ulang tahun tanggal 16? Wah kita mau naik Gunung Semeru hari itu, Ning. Nining mau ikut? Sekalian merayakan ulang tahun di atas puncak?” ajak Kasta yang seketika membuat mata Nining berbinar senang.

Baru sekali itu, Teguh begitu ingin meninju Kasta. Selama ini susah payah ia menyembunyikan aktivitas naik gunungnya dari Nining. Teguh tahu, sangat tahu, bahwa Nining sangat menyukai alam bebas. Tapi dengan vonis dokter itu, Teguh tak tega mengajak Nining naik gunung. Kasta tahu penyakit Nining, tapi berani – beraninya Kasta mengajak Nining!

“Kau tidak boleh ikut!” kata Teguh menyentak. Nining melawan. Ia ingin naik gunung, titik. “Selama ini aku tak minta apa-apa pada abang! Tapi kumohon sekali ini aku ingin naik gunung! Sekali ini saja, bang!”
Teguh tak mendengarkan dan berlalu meninggalkan Nining. Nining tak menyerah. Namun Teguh tak mau kalah pendirian. Hingga akhirnya keluar kata – kata itu. Abang takut Ning mati?

***

Jika Ranu Kumbolo bisa bicara, tentulah ia akan memaki Teguh. Wajah lelaki itu begitu suram. Padahal di hadapannya terbentang pemandangan surgawi yang luar biasa. Padang rumput hijau yang menyejukkan di tepian danau Ranu Kumbolo yang tenang dan luas. Matahari yang mulai terik terhalang oleh lembutnya gumpalan awan, pagi yang sejuk tapi begitu terang. Bayangan matahari yang menyembul dari balik awan sesekali muncul di permukaan danau yang seketika beriak – Kasta melempar batu ke permukaan danau. Perjalanan ini seharusnya menyenangkan. Namun tidak bagi Teguh. Dipandanginya sang adik yang tengah bermain air bersama Kasta dan Maria. Jofar tampak sedang jadi objek ‘penganiayaan’ ketiga orang itu. Nining terlihat begitu senang. Teguh nyaris akan tersenyum memandangi kebahagiaan Nining seperti itu. Tapi ada yang menghalangi senyumnya.

Di depan sana, hujan abu vulkanik di Kalimati, potensi longsor di Recopodo, gas beracun Jonggring Seloko. Oh Ning.. bantulah abang.. 

“Ayo lanjutkan perjalanan. Kita akan tiba di puncak sebelum matahari terbenam.” Teguh berseru, mengundang keluhan dari Nining.

“Bang aku ingin liat matahari terbit daripada ia terbenam!” teriak Nining memaki, tidak digubris oleh Teguh.

“Baaang, aku juga ingin melihat terbitnya matahari di matamu..” Kasta berseloroh. Semua tertawa geli, kecuali Teguh yang melotot pada Kasta. Kasta hanya cekikikan. 

Pendakian kembali dimulai. Cuaca cerah, kondisi tubuh yang baik, maka perjalanan terasa berlangsung cepat. Teguh, Maria, Kasta dan Jofar sebelumnya sudah mendaki Semeru, Teguh bahkan sudah tiga kali. Hanya Nining yang baru sekali itu naik gunung. Namun, kecepatan jalannya nyaris melampaui kecepatan jalan empat orang lainnya. Berkali – kali ia berada di barisan terdepan. Tentu saja, di saat punggungnya hanya memanggul tas kecil, empat kakaknya memanggul keril besar dan berat.

“Ning jangan terlalu cepat, nanti kau kelelahan.” Kata Teguh cemas. Nining tertawa.

Burung berkicau menghasilkan harmoni yang indah. Lichen tumbuh di setiap pohon. Embun sisa pagi ini masih menggantung di dedaunan, menetes jatuh membasahi kemeja dan tas keril mereka. Nining bernyanyi terus menerus sepanjang perjalanan. Kasta menimpali nyanyian Nining dengan selorohan. Semuanya tertawa, sambil menghirup udara perawan pegunungan yang menyegarkan. Inilah mungkin keindahan tak ternilai yang diperoleh saat naik gunung. Membawa tas keril yang berat memang harga yang harus dibayar, namun tidak sebanding dengan keindahan alam yang memanjakan mata dan jiwa.

Dua puluh menit kemudian, mereka tiba di Oro – Oro Ombo. Nining berteriak saking senangnya melihat pemandangan yang terhampar di hadapannya. Sabana terbuka yang luas dan indah, dikelilingi oleh Gunung dan bukit – bukit, beratapkan langit biru berawan yang sangat membuai mata. Keagungan puncak Mahameru terlihat menakjubkan dari Oro – oro ombo. Angin bertiup kencang mengibarkan rambut Nining yang panjang. Teguh memperhatikan dengan cemas adiknya yang berlari dengan Kasta menyusuri padang rumput. Maria dan Jofar tertawa – tawa melihat Nining terjatuh karena tersandung. Teguh tersentak melihat adiknya terjatuh. Ia yang berada di urutan belakang barisan langsung berlari mendekati Nining. Teguh tak menarik nafas hingga dilihatnya Nining tengah berguling di rumput sambil menertawai kebodohannya sendiri.

Barangkali di tim itu, hanya Teguh yang tidak menikmati perjalanan. Kekhawatirannya pada Nining yang berlebihan membuatnya tidak fokus. Teringat pesan ibunya untuk menjaga Nining baik – baik. Perasaan Teguh semakin menderita. Terutama karena ia pemimpin dalam perjalanan ini. Ia tak ingin jika sesuatu terjadi pada Nining, teman – temannya pun ikut kerepotan.

Abang takut Ning mati? Kematian hanya Tuhan yang tahu, Bang. Teguh terhenyak. Ia teringat kata - kata Nining seminggu yang lalu, saat gadis itu memaksanya untuk membawa gadis itu turut mendaki Gunung Semeru hari ini. Teguh menghela nafas. Hari ini, 16 Desember 1969, Nining genap berusia 18 tahun.

“Ning, kalau kau tidak berhenti bertingkah, kita pulang sekarang.” Kata Teguh. Ekspresinya dingin tidak menunjukkan emosi. Semua orang seketika berhenti tertawa. Nining diam mendengar ucapan kakaknya. Secara teratur semuanya kembali berjalan di jalur. Teguh jarang sekali marah. Maka dari itu, jika ia sudah marah, berarti ia memang sedang sangat marah. Teguh menahan tangan Kasta.

“Kasta, kau dari tadi yang paling menjengkelkan. Kumohon padamu, jangan memancing Nining untuk bertindak terlalu berlebihan! Ia sakit, kau tahu itu!” kata Teguh pelan. Ia tak mau ucapannya didengar Nining.

“Hei, santai saja .. hari ini ulang tahun Nining kan? Kau jangan mengecewakannya. Kakak macam apa kau ini? Kalau aku jadi kakaknya, akan kuajak dia mendaki semua gunung di tanah Jawa ini! Tidak akan seperti kau, yang mengurungnya di rumah seperti peliharaan.” Kasta membalas dengan tenang. Kemudian ia menepis cengkraman Teguh dan mengejar Nining. Teguh terdiam. Giginya bergemeletuk. Dipandanginya Nining yang tertawa karena ulah Kasta yang melucu. Mungkinkah aku memang terlalu keterlaluan?

Pukul dua belas lebih akhirnya mereka tiba di Kalimati. Teguh bersyukur setengah mati ketika di sana tidak sedang terjadi hujan abu, meskipun langit secara tiba – tiba berubah mendung. Mereka bergegas mencari lahan luas untuk istirahat. Nining begitu duduk langsung mengeluarkan sebuah lontong dari tas nya.

“Mari makan..” seru Ning. Semua orang tertawa melihat Nining yang menghabiskan lontong itu dalam sekejap.

“Kau ini.. kalau di rumah susah makan, tapi di gunung gembul setengah mati!” Teguh mencemooh adiknya. Nining mendelik genit pada Kakaknya sambil mengeluarkan lontong yang kedua dari tasnya. Teguh tertawa melihat adiknya yang tiba – tiba menjadi kebo kelaparan. Teguh bersyukur, hingga saat ini Nining masih baik – baik saja. Teguh memandangi langit yang mulai mendung. Hatinya cemas. Firasat buruknya muncul, entah kenapa.

“Bang Kasta mana?” tanya Nining.

“Dia katanya mau mencari kayu.” sahut Maria. Nining manggut – manggut, kemudian ia memperhatikan Teguh.

“Bang Teguh gak makan?” katanya. Teguh menatap adiknya, kemudian menggeleng dan tersenyum.

“Abang gak lapar. Kau makanlah yang banyak.”   

Nining sadar bahwa Teguh begitu mencemaskannya. Karena itu, ia berusaha keras tidak mengeluh selama perjalanan. Ia tidak memedulikan kakinya yang sudah terasa pegal, atau dadanya yang tiba – tiba terasa sesak. Nining tidak mau Teguh menyesal telah membawanya. Nining tak mau merepotkan Mbak Maria, Bang Jofar, Bang Kasta, dan abangnya sendiri. Berjam - jam mereka berjalan sejak pukul 5 pagi tadi berangkat dari Ranu Pane, Nining sebenarnya ingin menjerit!

Sudah dua jam mereka beristirahat, Kasta belum kembali. Jofar dan Maria panik. Teguh berusaha tetap tenang, tapi pikirannya berkecamuk. Ia geram pada Kasta. Bisa – bisanya Kasta menghilang saat seperti ini. Mengganggu perjalanan! Maki Teguh dalam hati. Mereka tidak boleh muncak pagi hari! Ia tidak akan membiarkan tim nya kali itu pergi melihat puncak dini hari. Jika Nining ingin melihat matahari terbit, mereka harus berangkat pukul dua pagi. Dalam udara yang tipis, Nining yang memiliki ashma.. Teguh tak sanggup membayangkan itu semua. Mereka harus muncak sore ini! 

“Aku akan mencari Kasta. Jofar, kau tunggu disini jaga Maria dan Nining.” Kata Teguh.

Teguh sekilas menatap adiknya. Wajah lembut itu nampak tabah, namun matanya menyiratkan kekhawatiran. Teguh tahu, Nining mencemaskannya. Teguh segera pergi mencari Kasta. Secepat kilat ia menghilang di balik rimba Gunung Semeru.  Bersamaan dengan kepergian Teguh, Maria memperhatikan kemeja Jofar yang diselimuti abu tipis. Hujan abu perlahan turun di Kalimati. Maria dan Jofar saling berpandangan, panik. Mereka tahu penyakit ashma Nining yang akut. Maria segera mengeluarkan tenda dari tas keril Teguh. Jofar segera mengambil patok dan batu. Mereka harus mendirikan tenda secepat mungkin. 

“Ning, pakai masker mu.” pinta Jofar. Terlambat. Dilihatnya raut muka Nining yang pucat, mulutnya terbuka seperti kehabisan udara.

“KASTA!” Teguh masih meneriaki Kasta. Sudah 20 menit Teguh mencari, sahabatnya masih belum ditemukan. Kasta seolah-olah hilang di telan rimba. Ya Tuhan, dimana anak itu? Teguh mencoba mengingat pakaian yang digunakan Kasta. Tapi ia tak bisa mengingat. Pikirannya kacau. Bayangan Nining selalu memenuhi kepalanya. Teguh terhenyak. Matanya menangkap sesuatu yang tergeletak di tanah. Jam tangan Kasta. Teguh memungutnya. Matanya memanas. Seketika ia meneriaki Kasta. Tangannya dengan buas menepis daun – daun pohon dan nekat dia mencari Kasta bahkan hingga keluar dari jalur pendakian. Langit semakin mendung. Teguh panik, hingga ia terpeleset. Untunglah ia masih berada di dataran, bukan di punggungan yang curam, yang dikelilingi jurang. Teguh menahan nafas, matanya terbelalak. Diperhatikannya tumbuhan di sekitarnya.

Sejak kapan abu menyelimuti daun ini?

Seingat Teguh, sepanjang dia berputar – putar di daerah itu, tidak ada abu yang menyelimuti tumbuhan disana. Teguh memandangi lengan kaosnya, dilapisi abu tipis. Hujan abu! Teguh terkejut. Ia menyesali keterlambatannya untuk menyadari hal itu. Ia langsung teringat Nining. Teguh sangat mengkhawatirkan Nining, penyakit gadis itu bisa kambuh. Tapi Kasta harus ia temukan. Kakinya ingin ia langkahkan ke Kalimati, tapi hatinya yakin jika sesuatu terjadi pada Kasta. Segala sesuatunya muncul di pikiran Teguh.

Tiba – tiba bayangan mendiang ibunya muncul. Jaga adikmu. Pesan ibunya begitu mencekik Teguh. Namun sesaat kemudian, wajah Kasta yang masih ingusan, dengan berani mengajaknya naik gunung. Kasta adalah sahabatnya sejak kecil. Dan sejak mereka dekat itulah, Kasta yang mengenalkannya pertama kali pada gunung. Aku tidak pernah seberani kau, Kasta. Nining yang sakit – sakitan. Abang takut Ning mati?

Teguh meremas kepalanya, bulir air mata perlahan membasahi pipinya. Tanggung jawab sebagai seorang ketua, sebagai seorang anak, sebagai seorang kakak, dan sebagai seorang sahabat, sekali ini begitu menekannya. Teguh berteriak lagi, suaranya menggema di tengah hutan, diantara lereng yang curam, dibawah langit mendung yang berduka. Adakah orang lain di dunia ini yang tersiksa seperti dirinya sekarang? Tanyanya dalam hati. Alam sedang menempanya. Teguh tahu itu. Tapi ia tidak tahu apakah ia akan berhasil, atau tidak. Kematian hanya Tuhan yang tahu, Bang. Kematian hanya Tuhan yang tahu.

Kasta, maafkan aku. Teguh menarik nafasnya, kemudian ia berbalik dengan cepat.

***

Teguh dan Maria tiba di Ranu Pane sekitar pukul 10 malam. Punggung dirasakan mereka sudah mati rasa. Teguh turun dari Kalimati sambil menggendong Nining yang sudah tak sadarkan diri. Kondisi Nining sudah tidak dapat diperkirakan lagi. Teguh benar – benar takut, tubuhnya tak berhenti menggigil. Atas bantuan beberapa penduduk, Nining dilarikan ke rumah sakit terdekat. Maria ikut ke Rumah Sakit. Sedangkan Teguh tetap di Ranu Pane, hendak mencari dua kawannya. Jofar bertahan di Kalimati menunggui Kasta.

Siang ini Ranu Pane terguncang. Semeru kembali menelan korban jiwa. Dua orang meninggal di Puncak karena menghirup gas beracun dari Jonggring Seloko. Sekejap Teguh teringat dua orang karibnya. Namun, ia yakin Kasta tidak akan mungkin menghilang sampai puncak, dan Jofar juga tidak akan mungkin mencarinya karena ketika Teguh meninggalkan Kalimati, hujan abu sangat deras. Tapi tetap saja, hal - hal buruk menggelayuti pikiran Teguh. Meskipun akhirnya diberitahu bahwa yang meninggal adalah aktivis mahasiswa terkenal Soe Hok Gie dan kawannya, Idhan, namun tetap saja nasib Jofar dan Kasta masih belum jelas. Mungkinkah Semeru tidak hanya meminta dua korban, tetapi empat korban?

Pikirannya runtuh seketika saat melihat Jofar berjalan perlahan mendekati pos pendaftaran. Demi melihat sahabatnya berjalan tertatih seperti itu, Teguh langsung mendekati Jofar dan membantunya membawakan keril.

“Kenapa kau tidak menungguku menyusul!? Kau meninggalkan Kasta?” Teguh langsung memaki.

“Soe Hok Gie tewas.” Jofar malah tak menjawab. Ia menjatuhkan tubuhnya ke tanah.

“Kau meninggalkan Kasta?” Teguh masih menyerang. Jofar, yang kelelahan, seketika naik pitam. Ia kembali berdiri dan menantang Teguh.

“Kau yang meninggalkan Kasta!” hardik Jofar.

“Kau tentunya tahu kalau aku mengevakuasi Nining!”

“Sejak semula sudah salahmu karena mengajak Nining!”

Teguh merasakan darahnya mendidih. Tubuhnya menggigil. 

“Soe Hok Gie tewas. Kondisi semakin buruk dan aku tidak mau gegabah sehingga mencari Kasta sendirian.  Kau pergi tanpa berpesan apa – apa hanya memintaku untuk tetap bertahan sedangkan aku tak tahu kapan kau akan kembali. Kalau kau jadi aku, apa yang akan kau lakukan?” hardik Jofar lagi.

Teguh terpaku. Jofar benar. Tidak, Jofar tidak begitu benar. Nining ikut pendakian bukanlah salahnya. Ini salah Kasta yang memberitahu Nining perihal perjalanan ini. Ya, salah Kasta. Iya ini semua salah Kasta. Kasta yang semula merencanakan perjalanan ini, Kasta yang mengajak Nining, Kasta - dan bukan dirinya - yang menyenangkan Nining selama perjalanan, Kasta yang tiba – tiba hilang. Semua salah Kasta.

Teguh memejamkan mata. Pikirannya kembali ke Kalimati. Jika Kasta tidak menghilang, perjalanan akan dilanjutkan. Sesuai rencana, mereka berlima akan tiba di puncak menjelang petang, kemudian menghirup uap Jonggring Seloko, yang di waktu sama telah membunuh Soe Hok Gie. Dada Teguh merasa sesak. Tak sanggup ia membayangkan jika ia mati, Nining mati, semua orang mati dalam pendakian yang ia pimpin. Tubuh Teguh gemetaran, merasakan dirinya berubah menjadi Kasta, yang dalam kesendiriannya di tengah dingin dan sesaknya rimba, berteriak minta tolong padanya. Tapi Teguh malah membalik langkah. Kemudian menyalahkannya.

Matahari mulai meninggalkan siang, menjemput sore dengan jingganya di cakrawala. Jofar beranjak meninggalkan Teguh yang masih termangu, dan ia langsung melapor ke pos pendakian untuk memberitahu perihal kecelakaan kemarin. Teguh merasa bahwa ia bersalah karena telah meneriaki Jofar. Ia mengerti kondisi Jofar. Jika ia dalam kondisi seperti itu pun, Teguh akan melakukan hal yang sama. Maka, Teguh menghampiri Jofar dan menepuk lembut bahu sahabatnya itu. Begitu Jofar berbalik dan menampakkan wajahnya, Teguh terbelalak. Itu Kasta! Jofar telah berubah menjadi Kasta! Pakaian itu, tetap pakaian Jofar, tapi senyum itu, mata itu, hidung itu, semua milik Kasta! 

Teguh tiba-tiba lemah lunglai. Ia menjatuhkan dirinya ke tanah. Keningya dibanjiri oleh keringat dingin. Tubuhnya menggigil hebat. Pandangannya gelap seketika. 

_______________________________________



Kamis, 21 Mei 2015

Segenap Doa #2

................
Sekarang atau esok lusa
Kini atau selamanya
Engkau boleh berbuat sesuka
Tapi biarkan cinta menjadi segala

Secarik kertas penuh takdir meretas
Seusai aku, ada mereka di hatimu
Selaksa suka, semakna duka, segala angkara
Seluruh sukma, seuntai cinta, serangkai pelita
Sekepal karunia, segenggam percaya
Sediam aku, aku, aku
Sejaya engkau, engkau di hatiku

Remang malam tiada bintang
Aku berdiri satu kali
Berdoa berkali – kali
Menjadi bagian pada dirimu
Adalah inginku di semesta usia


Untuk engkau yang lahir tanggal 21 Agustus 2001 

Segenap Doa #1

Barangkali hujan membasahkan semua
Angin malam menyudutkan hati yang terlupa
Gunung – gunung bersumpah bisu
Engkau anak baru di Semesta Raya

Remang malam tiada bintang, aku berdiri satu kali
Berdoa, berkali – kali
Engkau mulai berdiri
Sekali, berdoa, berkali – kali

Terserah aku, terserah diriku
Maumu adalah detak sesungguhnya
Bagaikan buah hati, permata abadi
Aku berpinta, engkau seluruh niscaya

Usia berada di ambang batas
Aku menua, bahkan juga ini rupa
Bumi perlahan, hancur tinggal inti

Tapi engkau? Aku tak akan biarkan tiada
..........

Selasa, 16 Desember 2014

Saya Ingin Menjadi Penulis

Iya.
Saya ingin menjadi penulis.
Bahkan walau saya sudah mencoba sejak usia 7 tahun, saya tidak bosan dan
Saya tetap ingin menjadi penulis.
Bahkan saat pencapaian saya di bidang lain sudah mulai terbit,
Saya tetap ingin menjadi penulis.
Bahkan ketika semangat inspirasi meredup,
Saya tetap ingin menjadi penulis.
Bahkan melihat ribuan penulis yang bukunya tidak laku di pasaran,
Saya tetap ingin menjadi penulis.
Bahkan saya mengingat banyak penulis yang dicekal dan dipenjarakan 
Saya tetap ingin menjadi penulis. 
Bahkan jika saya hanya berumur pendek, ijinkan saya Tuhan..

Saya ingin menjadi penulis. 

Minggu, 09 November 2014

Karena Cinta

Karena orang – orang yang kita cintai, kita sering kali begini.




Karena orang – orang yang kita cintai, kita sering kali mengabaikan rasa lelah. Bahkan beberapa kali menyembunyikan patah hati. Hanya untuk memastikan agar dia tetap ada di samping kita. Agar kita tetap bisa menatap matanya, dan meyakinkan diri, inilah cinta.

Sering kali juga kita mengalah. Bukan untuk menerima kalau kita kalah, hanya untuk menjaga agar hubungan kita tetap indah. Kita menerima dia yang sedang kesal. Tak jarang dia malah marah – marah. Kita tetap saja mengalah. Ini bukan untuk menunjukkan kita lemah, tapi untuk mengajarkan beginilah cinta bersabar.

Mungkin benar begini. Bahkan saat kata – kata orang lain menyudutkan kita, kita sama sekali tidak peduli dengan semua itu. Bagiku, inilah cintaku. Inilah yang ingin ku perjuangkan. Peduli apa denganmu yang tidak pernah tahu bagaimana rasanya hati dan jantung terjerat rindu. Kita mengabaikan segala ejekan, celaan, juga nasihat – nasihat yang menggurui, seolah mereka orang – orang paling bahagia dalam hidupnya.

Begitulah cinta. Ia mengajarkan kita pelan – pelan untuk berjalan. Dengan  segala pedih yang pernah kita perjuangkan. Dengan segala pandangan orang yang tak pernah kita pedulikan. Setelah kita kuat berjalan, kita selalu tahu, apakah ingin meninggalkan atau tetap bertahan.

Kita selalu punya sisi bahagia. Bahkan pada cinta yang mungkin saja disebut orang – orang sebagai sebuah kesalahan.  Dan pada akhirnya, kita hanya perlu menarik nafas dalam – dalam, lalu melepaskannya. Kita berhasil melewati semuanya. Sendiri atau berdua. Patah hati atau saling mencintai. Semuanya akan jadi cerita yang kita kenang kala tua nanti. Dan kembali mengenang saat pahitnya berjuang hanya untuk merasakan, beginilah cinta.

26 Oktober 2014

Catatan Seorang Teman 

Kamis, 03 Juli 2014

KIAMAT

Semua terpaku mendengar ucapan Kenneth.
“Bagaimana jika itu arah barat?” ulangnya sambil menunjuk arah matahari terbit. Sinarnya menyembul dibalik gunung-gunung yang menjulang.  
Beiser sambil tertawa melecehkan, ia mengeluarkan kompas dari dalam carriernya dan menunjukkan pada Kenneth.
“Itu arah timur. Kau lihat kompas ini?” Griffith mencemooh.
“Aku tidak mau melihat dengan mataku. Aku hanya melihat dengan hatiku dan berprasangka, itulah arah barat. Hari ini matahari terbit dari barat.” Kenneth bersikeras. Beiser dan Griffith mengangkat bahu.
Tanah tiba-tiba berguncang. Gunung-gunung tiba-tiba terangkat, langit seakan runtuh. Griffith dan Beiser berteriak. Dan Kenneth terbangun dari tidurnya.

“Terima kasih Tuhan. Hari ini belum kiamat.” 

Rabu, 02 April 2014

Deras Deru Harap




Untuk seseorang yang aku hormati
Untuk seseorang yang aku sayang
Untuk seseorang yang membuatku selalu cemas
Untuk seseorang yang berjuang dalam diam

Dengarlah..
Aku ingin menjadi malaikat pemerhati
Yang selalu memperhatikanmu
Tapi aku tidak bisa menjadi malaikat penjaga
Karena jauh diatas sana
Ada Tuhan yang akan menjagamu

Resapilah..
Bahwa aku hanya ingin kau tahu bahwa aku mengasihimu  
Aku tidak ingin kau tahu besarnya rasa kasihku
Tak perlu kau pedulikan itu
Karena jauh diatas sana
Ada Tuhan yang maha agung kebesaran cinta kasih-Nya untukmu

Mengertilah..
Aku ingin selalu di sampingmu
Ingin menjadi kekuatan bagimu
Tapi hanya ingin, hanya keinginan
Karena jauh diatas sana

Ada Tuhan yang telah menjadi segalanya bagimu 

Singgasana Para Tuan

Kau katakan padaku.
Dengan raut muka yang usang.
Dengan bibir bergetar yang malang.
Kata kau, kau kuat, sanggup, dan bertahan.
Tapi kata ku, kau rapuh, lemah, dan sekarat.

Begitulah fatamorgana.
Terlena sudah kau pada agungnya kursi yang kau duduki kini.
Tanpa tahu bahwa sesungguhnya kau telah nyaris tak bernyawa.
Dunia ini hanya sementara.
Tapi kau dengan sial ingin hidup selamanya.




Apa memang kau si raja dusta ?
Atau bos dari para pemboikot ?
Dan memutuskan secara sepihak,
Bahwa aku salah satu korbanmu yang bergelimpang ?
Lalu dengan malangnya ternyata aku menyimpan sayang.
Padamu yang kini semakin pudar.

Tuhan, tuhan, tuhan.
Kau, bukan Tuhan.
Kau, tidak mengenal Tuhan.
Kau, menyedihkan bagi Tuhan.

Kamis, 06 Maret 2014

Elegi Tersapu Debu



Mungkin mudah bagi mereka untuk melancarkan serangan. Namun untuk kita yang diserang, kadang sulit bangkit untuk memberi serangan balasan. Mungkin kita terjatuh dulu, tertidur, bahkan telah begitu terjerumus dalam kenistaan penjajahan ini. Memaksa kita menjadi orang lain. Mereka tiba-tiba menyerang, kemudian tiba-tiba menghilang. Hingga waktu untuk menunggu mereka menyerang kembali, kita sudah makin terkubur mati. Memang membunuh kita perlahan-lahan, tanpa memberi kepastian kapan kita akan diberi kemerdekaan.

Kita sedih. Bukan karena ternyata mereka juga melakukan penjajahan di wilayah lain. Tapi karena memikirkan kita yang begitu lemah dan mudah jatuh, sehingga penjajah picisan seperti mereka pun sanggup membuat kita untuk bertekuk lutut. Kita ingin untuk bangkit kembali. Tapi, penjerat ini telah mengikat kita sampai ke lubuk hati. Kita ingin bebas, agar kita bisa mencari tempat terindah, dimana kita merasa aman dan terkasihi. Tapi bahkan jiwa dan hati nurani telah menjadi debu – tersalib rasa sakit itu.

Tuhan maha memberi kekuatan, yang entah kapan akan kita terima.  

Rabu, 28 Agustus 2013

SUAKA SETIA



Kerasnya bebatuan, kerasnya mematahkan
Tulang-tulang remuk, juga rusuk, juga punuk
Wanita ini juga remuk
Mencari adamnya, pemilik dirinya, rusuknya, hidupnya, surga dan dunianya
Dalam sebercak sisa-sisa kemalangan
Sampah dari harapan, amukan-amukan, menjelma sekeji angkara dan kemunafikan
Wanita ini juga terkeruk
Mencari dirinya, dia, dia, dirinya, mencari apa-apa tentangnya
Yang tertatih memandang, tak mampu menatap malam terang
Hanya menjadi seorang tertua, dalam batas penantian
Tiada, sudah tiada, ketidakpastian, dan segala hal kerusakan
Wanita ini juga mencoba
Mencari yang ada, meninggalkan segala sia
Membakar hati, menguatkan jiwa, raga, di dekapan semesta, di pangkuan raya
Segala berdoa, ia tak terlupa