Jumat, 04 Oktober 2013

10 tahun terakhir bersama Jo


Dua Pekan Terakhir Bersama Jo

Anyone's death always releases something like an aura of stupefaction,
so difficult is it to grasp this irruption of nothingness
and to believe that it has actually taken place.
- Gustave Flaubert

Semangat pastilah masih tersimpan di rongga dada Julianto Soesap Albanny, Wakil Pemimpin Redaksi di Harian Riau Mandiri. Antusiasme kerja tercermin dalam setiap ayunan langkahnya, bergaung di sela-sela kompartmen yang dibatasi partisi. Pria kecil berkacamata yang selalu terburu-buru dalam bicara ini adalah kawan kami, dalam batasan waktu yang berbeda-beda.

Hari Rabu 11 Agustus adalah saat pertama kali dia kuboyong ke Pekanbaru untuk diperkenalkan kepada jajaran redaksi. Ada mimik seru di wajahnya, layak bocah sedang menghadapi mainan baru. Sejak berangkat dari Jakarta, Mas Jo -begitu beberapa teman memanggilnya- terus riuh rendah. Di pesawat dia tak memejam mata, terus mengajakku bicara.

Penuh gairah menghadapi tantangan, pria yang selalu berpuasa Senin-Kamis ini pun memutuskan bergabung. Aku merasa sangat tertolong. Tugasku akan menjadi sedikit ringan, bisa lebih fokus berkonsentrasi sebagai Wakil Pemimpin Umum Harian Riau Mandiri, Pekanbaru dan Harian Sijori Mandiri, Batam saja, tanpa harus membagi perhatian menjadi Pemimpin Redaksi. Dalam masa peralihan, Jo akan menjadi Wakil Pemimpin Redaksi selama tiga bulan sebelum nanti definitif ditetapkan sebagai Pemimpin Redaksi.

Jo pun mulai adaptasi memasuki tugas barunya. Membaur dan mempesona. Meski tidak parlente, namun pribadinya yang rapi senantiasa menonjolkan keteraturan sikap hidup. Shalat tak pernah tinggal, lengkap dengan dzikir. Perangainya yang selalu lapar akan berita, membuat dia tak pernah letih menyunting dan menulis.

“Be, kita akan bikin bagus koran ini,” katanya kepadaku, sering-sering. Dia memang kerap memanggilku Babe, tetapi kadang-kadang rancu menyampuradukkan dengan panggilan Bapak, Bang, atau Kawan.

Lima belas hari di Riau Mandiri, 15 hari pula dia menjadi teman diskusi. Berdebat tentang news value, menguji kekuatan kata, menimbang resam kalimat, menata terobosan lay-out, melahirkan kekuatan redaksional dan menunggu proses cetak hingga lepas dini hari. Semua dilakukan Jo dengan senyum dan teriakan akrab. Dia memang suka teriak dan perang pendapat. Di kantor lamanya di Bisnis Indonesia dan di Harian Merdeka, dia dijuluki Profesor. Namun para redaktur cenderung menyebutnya sebagai Mister Bukan, hanya karena dia acap menyanggah pendapat orang lain dengan kata Bukan!

Di kantor ini, dia juga sering menyanggah, mencari ragam perbedaan. Baginya dunia tidak satu warna, begitu pula kisi-kisi berita. Selama 15 hari dia berdialog dengan jajaran redaksi, semua diundang rapat di ruang kerjanya yang besar. Dia selalu melihat koran daerah sebagai koran besar, mampu mengubah wajah Indonesia. Yang jelas, hari ini, kondisi Julianto yang lebih dulu berubah. Sebagai Pemimpin Redaksi dia akan berhak atas berbagai fasilitas. Tiket Pekanbaru-Jakarta-Pekanbaru setiap bulan. Mobil dinas, sebuah Phanter baru tipe Kuda berwarna merah nyalang sudah tersedia di pelataran parkir. Dia sangat menyukainya, sehingga sering memaju-mundurkan mobil itu di pekarangan rumahku, seakan mobil itu selalu salah parkir. Rumah kediaman juga akan menyusul. Sementara masih sendiri, Julianto tinggal bersamaku dulu. Kami berdua saja di rumah besar itu, hanya sesekali ditemani oleh Wimpy, supirku yang bulat jenaka. Tapi kami tidak pernah merasa sepi. Ada meja bilyar di ruang depan dan alat-alat kebugaran di ruang belakang. Meski tanpa pembantu, makanan selalu tersedia. Setiap pukul enam pagi, Wimpy sudah datang membawa nasi gurih plus rendang dan dendeng, lengkap dengan kopinya. Dan kami akan terus bercakap-cakap sepanjang 24 jam, dari buka mata hingga tutup mata.

Seusai masa adaptasi dua pekan berlalu, Julianto pamit pulang ke Jakarta.
"Sebentar saja, kawan, cuma empat lima hari,” katanya. “Mau mengabarkan kepada istri dan anak-anak bahwa saya pindah ke sini. Sekalian ambil baju-bajulah.”

Memang harusnya begitu. Bekerja jauh dari keluarga bukan berarti melupakan mereka. Bahkan sebenarnya, merantau merupakan pengorbanan untuk anak istri. Pilihan Jo sudah tepat. Apalagi tiga bulan mendatang, dia akan mendapat rumah sendiri, supaya bisa memboyong keluarga ke Riau.

Tidak ada badai di Riau, meskipun perambahan hutan secara liar masih terus terjadi. Petirpun tidak menyambar-nyambar. Namun malam itu, aku menerima telpon dari Jo.
"Kawan, saya berangkat besok pagi, sampai Pekanbaru kira-kira pukul 10," ujarnya dari seberang. “Bisa suruh Wimpy jemput?”
Aku bilang, aku sendiri yang akan menjemputnya. Tetapi dia menolak.
“Masak Komandan yang jemput? Malu saya. Biar Wimpy sajalah.”
“Gak apa-apa kok. Aku sekalian mau ke arah airport,” jawabku tuntas.

Rabu menjelang subuh itu sama sekali memang tidak ada badai. Apalagi gelegar petir. Namun sebelum jam empat pagi, handphone-ku berdering. Agak menggerutu juga terbangun jam sebegitu. Tapi kulihat nama yang terpampang di layar: Julianto.

“Apa To?” tanyaku.
“Ini Pak Izharry? Saya adik Julianto,” kata suara pria di balik handphone.
“Lho, ada apa? Julianto mana?”
“Julianto meninggal dunia, Pak, tadi sekitar jam tiga.”

Kepalaku berputar, lepas dari leher dan bergelinding ke kasur. Tuhan! Aku tersentak duduk dan berteriak keras, bertanya penyebabnya. Kata adiknya, Julianto hilang dalam tidur. Ketika dibangunkan istri agar bersiap-siap berangkat ke bandara, tubuhnya tak memberi reaksi. Ya Allah, Julianto sudah tiada! Kuatur napasku dan kubangunkan Basrizal, Bos Besar Riau Mandiri Group. Akupun berkemas. Akan kukejar pesawat pagi menuju Jakarta. Bagaimana pun aku harus menyambangi Julianto yang telah merambah perjalanan terakhirnya.

Mendengar kepergian seorang teman pastilah membuat aura keterkejutan kita lepas, dan begitu sulit rasanya memasuki kehampaan yang tiba-tiba. Namun bagaimanapun, kita harus yakin bahwa hal itu benar-benar sudah terjadi. Waktu bergulir, tak ada yang bisa dibatalkan dan diulang kembali. Aku pun tertunduk, airmata merambah di dalam batin. Semalam kami masih memperdebatkan judul, tapi kini pria berusia 40 tahun ini sudah tiada.

Kulempar mata yang berair keluar pesawat, menatap gugusan awan bisu. Aku datang menziarahimu, Jo. Begitu tipis jarak antara hidup dan mati, sementara sentuhan jurnalistikmu masih terasa begitu hangat. Dalam tepekur, aku melenguh. Jo, hari-hari tak akan pernah sama dengan dua pekan yang kita lalui. Selamat jalan, kawan!

(Dimuat dalam versi pendek di Harian Riau Mandiri, Agustus 2004)


Sumber : http://sudut-bidik.blogspot.com/2008/06/dua-pekan-bersama-jo.html

 
Aku baru nemuin artikel ini beberapa jam yang lalu. Iya. Aku baru nemuin kerennya dedengkotku ini beberapa jam yang lalu. 

Pria diatas adalah dedengkot geng Albanny. Dimana anggota geng ini adalah Julianto Soesap Albanny (Ketua), Nisa  Adila Albanny (Adil Albanny), dan Sufiyya Rahma Kamila Albanny. Adapun ketua sebenarnya, yang paling berkuasa sepenuhnya di markas besar adalah Nyonya Albanny (yang menguasai Ketua, Ketuanya Ketua). Hehehe

Ga nyangka banget kalo mantan bosnya sampe bikin tulisan tentang beliau. wajar, sih. Dedengkotku yang oleh kawan-kawannya biasa dipanggil Jo ini emang bukan orang biasa. Beliau adalah seorang penulis nyentrik, jurnalis anti mainstream, tukang jagal berita, dermawan yang selalu ngejajanin anggota gengnya pas weekend, dan seorang…yang aku rindukan. Teramat aku rindukan. 
 
Ga kerasa, udah lewat 9 tahun. 1 tahun lagi adalah waktu yang dibutuhkan untuk menyamai tahun-tahun kenangan yang berhasil beliau ukir bersama kami. Tertelan oleh masa-masa aku beranjak dewasa, jadi nyaris lupa sama beliau. Ah masa-masa itu, masa-masa kejayaan geng kita, keluarga kita. 

Jadi inget gimana Dedengkot selalu ngejejalin mulut kita dengan telor setengah matang tiap pagi. Kata Dedengkot, banyak makan telor gituan biar kita pinter. Iya sih. Soalnya sekarang-sekarang otak aku jadi korslet, gara-gara banyak makan telor sisaan. *hahahaa malang*
Jadi inget gimana Dedengkot tiap akhir minggu selalu ngajak kita main ke manapun, biasanya sih ke mall *buat ngerasain kloset duduk di mall yang jaman dulu mah belum umum* haha nggak gitu juga sih. Kalo dedengkot lagi baik, kita pasti dibeliin baju atau mainan. Iya terus pas nyampe rumah langsung kerja rodi bersihin seantero markas besar *eksploitasi anggota geng* 
Ah jadi inget Dedengkot kan... Kangen Dedengkot kan..

Tanpa aku sadari, dalam cara-cara ku untuk membanggakan Nyonya Albanny, adalah dengan menjadi seperti Jo Albanny. Aku senang menulis, jalan-jalan melihat berbagai kejadian, menghayatinya untuk memperoleh inspirasi, dan berkarya dalam bentuk bahasa. Dan ironisnya, itu adalah cara-cara ku untuk bertahan tanpa beliau, yaitu menjadi seperti beliau. 
Jangan marah ya, pak Ketua.. saya ga niat buat plagiat kok.. cuma mengamati, meniru dan memodifikasi.. Hehe
Ah,, penasaran jadinya sama keadaan Dedengkot.. Gimana pak kabarnya? Sehat dan bahagiakah disana? Kalau nanti aku diangkat jadi ketua geng Dedengkot selanjutnya, jangan ngambek ya.. semoga aku lebih sukses lagi malahan. Amin. hehe

Pak Ketua, barangkali kau jarang membaca syair yang cemen-cemen kayak gini, tapi biarkan Tuhan yang memberitahumu bagaimana perasaanku saat merangkainya.
Pak Ketua, tolong biarkan saja perasaan ini tersimpan kayak gini, toh aku telah lama juga merelakanmu pergi.  

Suka ataupun luka
Yang kau patri lirih-lirih
Yang kau ukir tanpa dosa
Yang kau cipta penuh rasa
Denganku
Dulu denganku

Ayah ataupun kisah
Ada ataupun musnah
Pergi dan kembali
Kini telah pergi, dan tak kembali

Cinta ataupun luka
Yang kau ukir dengan nyata
Dan kau pergi ke dunia sana
Dan aku merindumu segala usia

Ibu ataupun kamu
Aku selalu mendamba bangga ibu
Tapi aku selalu ingin kamu
Menjadi kamu, sepenuhnya kamu  
Demi bangga dunia
 

Kamis, 26 September 2013

Surat Cinta Dari Para Pejuang

“Semangat, ceria, asik, membaur, komitmen, dan keren lah”
“Banyak amanah, sulit untuk memegang OC, jarang konfirmasi”
“Supel, periang, kerjanya sesuai deadline, ngga nunda-nunda pekerjaan, peduli sama yang lain”
“Atur jadwal, agenda, pikirkan kembali amanahnya, sering-sering ketemu OC, dan sering konfirmasi”
“Asik banget, gampang dan cepat bergaul, ramah, supel”
“Gatau apa kekurangan adil, bukannya ga peduli. Tapi kadang kalo kita ngeliat kekurangan suka jadi ke-judge. Apasih? Pokoknya tetap jadi adil yang nyenengin, jangan lupain anak-anak MB ya”
“Ceria, optimis, kreatif, bercandaan terus, sembunyi-sembuyi sesuatu
“Penekanan bercanda, bisa jadi jika bercanda ada yang sakit hati, jangan bisik-bisik depan orang, timbul curiga”
“Semangat, paling ga pernah galau kayaknya”
“Kurang manajemen waktu soalnya ada beberapa agenda yang terbengkalai”
“Atur waktu Dil pake skala prioritas”
“Periang, loyal, kerja all out
“Terlalu tomboy, lebih feminin perempuan kurang baik kalau tomboy”
“Baik, suka mencairkan suasana”
“Selalu ceria, kalo ada masalah bilang aja. Jangan dipendam”
“Orangnya seru, mudah bergaul”
“Terlalu fokus di UKM lain”
“Fokusin aja di MB”

Aku ga akan menganalisa kesalahan-kesalahan ejaan dalam deretan kalimat langsung diatas karena terlalu banyak ahahaha. Dan aku ga ngerti kenapa ada yang bilang ‘sembunyi-sembunyi sesuatu’, emang sih aku sering nyembunyiin hape orang, tapi ‘sesuatu’ disana itu maksudnya apa? jadi merasa tertuduh gini.

Tapi terlepas dari semua itu, yang lebih penting adalah isinya. Kalimat-kalimat diatas disusun saat upgrading panitia MB di Arboretum pada tanggal 25 September 2013. Kalimat-kalimat diatas ditulis diatas kertas yang dikelilingin dari panitia satu ke panitia lain. Kalimat-kalimat diatas adalah penilaian tentang diriku dari orang-orang yang merelakan waktunya untuk berjihad di MB (MIPA Bersatu) 2013 yang merupakan rangkaian ospek tingkat fakultas MIPA di Unpad. Kalimat-kalimat diatas ditulis para panitia dengan niat agar aku mau berubah lebih baik lagi.

Iya. Kepanitiaan aku di MB bisa dibilang sebentar lagi akan selesai. Kita akan segera menyusun rancangan untuk MB part 2 yang insya Allah dilaksanakan di bulan Oktober. Nggak kerasa. Sejak kepanitiaan terbentuk bulan April, diteruskan dengan rapat maraton selama libur ramadhan, dan sekarang udah mulai nyusun laporan pertanggung jawaban MB, aku ternyata sedang merangkai kenangan-kenangan menakjubkan di masa-masa kuliah.  

MB ini pada mulanya aku masuki sebagai pelampiasan kegilaan aku pada kepanitiaan dan organisasi di semester 2 kemarin. Aku masuki setengah hati, aku jalani tiada hati. Sempet nyesel juga bahkan. Karena aku menjadi panitia yang mengurus bagian desain, sedangkan aku sangat membenci spesies yang bernama Photoshop dan CorelDraw.

Tapi waktu berjalan. Dan seiring berjalannya waktu, cinta tumbuh diantara gelap gulitanya rapat MB. Hehehe

Aku bersyukur karena berhasil masuk ke saat-saat dimana aku mau meluruskan niat. Aku niatkan bahwa aku masuk kepanitiaan MB ini, adalah untuk membantu adik-adik Mahasiswa Baru FMIPA Unpad 2013, untuk mencari ilmu organisasi, dan untuk memperoleh keluarga baru.

Keluarga?

“Katanya keluarga… tapi sodaranya ga mau dibantu. Push up kalian!” *abaikan saja*

Entah keluarga atau bukan, entah teman atau bukan, entah apapun kata-kata yang mewakili untuk orang-orang yang sering bersama kita untuk memperoleh tujuan yang sama, kepanitiaan di MB ini mampu memaksaku untuk mau melakukan hal-hal yang aku pikir tak akan pernah mau aku lakukan. Seperti seorang ibu yang memaksa anaknya yang lumpuh untuk berusaha berjalan, para pejuang-pejuang MB memaksaku yang buta-Photoshop ini untuk berusaha bisa memainkan tools di Photoshop. 

Membuat desain di CorelDraw, bikin film, dan perdesainan lainnya adalah unwanted to do-list yang aku camkan dalam hati. Tapi didorong oleh niat yang lurus, dan karena disemangati oleh mereka-mereka yang juga berjuang di MB, ah rasanya sekarang aku bisa mencintai apa-apa yang aku kerjakan di MB.

Kang Ogi yang alay, Fadlan yang boyband, Kang Yordan yang sok manis, Kang Adit yang sok kalem, Zetil yang pendiam, Teh Syifa yang pelit, Maryam yang bawel, Ryan yang jago ngeles, Racka yang gembul, Kang Rifat yang playboy, Teh Linda yang loyo, Teh Umi yang hiperaktif, Nisa yang centil, Destri yang macho, maaf untuk penilaianku yang seperti ini terhadap kalian, karena toh itu yang membuat aku nyaman untuk mencintai kalian. *haciyeeeee

Iya, mereka adalah orang-orang yang bagai saudara kepada saudaranya lain, seringkali membantuku untuk berubah menjadi … lebih mampu mungkin?

Iya, lebih mampu menerima apa yang diamanahkan kepadaku. Lebih mampu mengerjakan apa yang tidak mau aku kerjakan. Lebih mau untuk memahami pendapat orang lain, dan paling penting adalah aku merasa lebih mampu untuk belajar menjadi lebih dari aku yang sekarang.

Jarang aku menemukan kepanitiaan dimana aku bisa nyaman berada di dalamnya. Dan ketika kepanitiaan ini berakhir, aku berharap agar kenyamanan itu gak akan pernah luntur. Hanya Allah yang tahu bagaimana sesungguhnya aku menganggap mereka sebagai apa. Tapi orang-orang ini yang telah membantuku untuk tahu harus melakukan apa. Maka tiada doaku untuk mereka kecuali agar mereka selalu diberi kesehatan, kekuatan dan keikhlasan dan semangat untuk menjinjing amanah luar biasa ini.  

MB mungkin akan segera berakhir, tapi semoga ukhuwah diantara kita tiada pernah akhir. Semangat guys! :)  




Untuk seorang Teman

Aku punya seorang teman. Cowo. Tinggi. Gede. Mancung. Juga. (-_- ini apaan sih deskripsi sepotong-potong gini)

Kita sebut saja namanya Sam. Sam ini aku kenal dari sebuah UKM di kampus. Kita sama-sama anggota di UKM tersebut. Yah seperti kebanyakan orang yang mengenal satu sama lain karena berada dalam satu organisasi yang sama, aku dan Sam pada awalnya sebatas kenal doang, bahkan sebatas cukup tau ajah.  Selain karena kita berbeda program studi di kampus, dia juga nampak seperti orang yang sulit didekati.

Awalnya seperti itu.

Terus endingnya?

Happy ending ever after kaka …… *minta ditabok

*Prat pret dezigh*

Iya, awalnya seperti itu. 

Sampai kami tiba di masa pengkaderan dari UKM yang kami ikuti. Aku tak pernah menyangka bahwa dengan proses pengkaderan dari UKM tersebut, aku dibawa masuk ke kondisi dimana aku, pada akhirnya, lama-kelamaan, ternyata, membutuhkan dia. Kalo kita ngumpul, dia ga dateng, aku sedih. Kalo kita ngadain acara, dia ga dateng, aku sedih.  Orangnya aku kira cukup tertutup, dan karena itu aku diam.

Sampai pada akhirnya, aku mencapai titik kesabaranku, aku maksa dia buat cerita. Dan ternyata… dia adalah salah satu fans fanatik Zaskia Gotik!
*idih

Nggak. Dia cerita, kalo dia itu orangnya susah buat punya teman. Since ago, until now. His story is hard to be analyzed. *asik dah gaya beuuddh hahaha

Ceritanya itu bener-bener bikin aku ga ngerti dibandingin ngerjain UTS listrik magnet yang dari 7 soal setidaknya masih bisa aku kerjain dua soal sampai UTS berakhir *curhat*.

Aku ga ngerti. Pertama, dia bilang ga pernah punya teman. Lalu aku ini dianggap apa, teman-temannya di kuliahan dia anggap apa? Apa kita cuma dianggap pesut putih yang selalu ngeberisikin telinga dia? *kenapa analoginya pesut putih -_- ?* Aku kalau lihat profil facebook dia, foto profilnya seringkali lagi ga sendirian alias dia emang difoto sama orang lain. Lah orang lain yang di foto profil dia itu emang bukan temannya? Atau itu mas-mas tukang cendol yang dibayar buat pose telunjuk di bibir manyun sama dia? Demi alasan apapun, itu ga mungkin. Orang itu pasti temannya, mau beneran tukang cendol atau bukan, kalau Sam udah masang foto profilnya sama orang itu, berarti Sam pengen orang sedunia tahu kalau dia pernah foto dengan orang itu. Artinya, orang itu temannya Sam kan?

Kedua, mungkin ini sedikit menghakimi jadi maaf kalau tersinggung. Dia bilang kalau kondisi dia untuk ‘ga punya teman’ udah dari dulu. Berarti dia udah berpengalaman kan untuk masalah hidup solitary begitu. Terus kenapa harus dipermasalahkan? Kasarnya, kalau dia udah sering hidup di zona perang Israel-Palestina, denger bom meledak di kamar dia pun barangkali cuma dia anggap kayak musik pengiring tidur. (bom di kamar? Koit atuh -_-). Kalau dia sering berada di zona friendless kayak gini, wajarnya dia udah biasa dengan kondisi itu, dan ga perlu mempermasalahkan hal itu karena toh buktinya dia sampe sekarang masih bertahan hidup.

Ketiga, yang bikin aku paling bingung – melebihi bingungnya aku ketika melawan kebengisan soal UTS listrik magnet – yaitu karena ke-inersia-an dia di koordinat itu dan ga ada gaya internal dari diri dia sendiri untuk melakukan perpindahan dengan kecepatan tertentu dalam waktu sekian ke koordinat lain. *cih cih cuih hoeekk*
Iya. Dia nampak ga berusaha merubah kondisinya. Entah dia sudah nyaman disana, entah dia emang orangnya begitu. Dan ini yang paling takutkan; entah dia memang sudah PUTUS ASA.

Kalau aku lihat dari ekspresi dia ketika cerita, emang sih mukanya datar-datar aja. Ga datar banget juga sih soalnya dia mancung. Tapi aku bisa merasakan kalo dia butuh teman yang lebih dari sekedar pernah foto bareng di profil facebook. Dia butuh teman yang bisa menemani langkah dia. Dia butuh teman untuk cerita. Dia butuh teman yang mau menerima dia apa adanya.

Aku kembali bercermin pada diriku sendiri. Kalau dipikir-pikir dulu aku emang rada males buat temenan sama dia. Udah mah sering beda pendapat, kerjanya nge-bully aku terus. Pokoknya Sam ini orangnya ngehe banget. Tapi gatau karena proses kaderisasi dari UKM yang cukup rumit, aku secara perlahan masuk ke comfort zone sama dia. Walaupun tiap ketemu di-ngehe-in terus, tapi aku justru itu yang aku rindukan dari dia. Entah apa yang terjadi, tapi sebenarnya dia berhasil untuk membuat seseorang menjadi teman yang menerima dia apa adanya.

Aku memang ga bisa selalu ada di belakang atau depan langkah kaki dia. Aku juga memang ga bisa selalu mendengarkan cerita dia, dan aku kadang menuntut dia untuk menjadi seperti yang aku mau. Tapi aku pengen ngebawa dia untuk keluar dari zona Israel-Palestina-nya. Aku pengen dia pindah ke zona lain, zona dimana dia merasa nyaman untuk mengatakan “Aku punya teman.”

Aku percaya Sam sesungguhnya bisa melakukan itu. Sama percayanya aku ketika masih bertahan hidup saat keluar dari ruang UTS listrik magnet. Sam, dengan kamu percaya, maka keajaiban akan datang. Entah kini, esok atau di kemudian hari. Aku barangkali belum menjadi teman yang baik. Kamu barangkali berusaha lebih baik. Semua akan indah pada waktunya, Sam.


Dari temanmu

Rabu, 28 Agustus 2013

SUAKA SETIA



Kerasnya bebatuan, kerasnya mematahkan
Tulang-tulang remuk, juga rusuk, juga punuk
Wanita ini juga remuk
Mencari adamnya, pemilik dirinya, rusuknya, hidupnya, surga dan dunianya
Dalam sebercak sisa-sisa kemalangan
Sampah dari harapan, amukan-amukan, menjelma sekeji angkara dan kemunafikan
Wanita ini juga terkeruk
Mencari dirinya, dia, dia, dirinya, mencari apa-apa tentangnya
Yang tertatih memandang, tak mampu menatap malam terang
Hanya menjadi seorang tertua, dalam batas penantian
Tiada, sudah tiada, ketidakpastian, dan segala hal kerusakan
Wanita ini juga mencoba
Mencari yang ada, meninggalkan segala sia
Membakar hati, menguatkan jiwa, raga, di dekapan semesta, di pangkuan raya
Segala berdoa, ia tak terlupa