Selasa, 10 Maret 2015

Masih Lama ?


Kuliah Fiskom pagi ini, entah mengapa, menimbulkan semacam percik - percik api radikal dalam kepala gue. Dalam intermezzo awal, dosen gue itu menjelaskan mengenai sejarah fisika secara singkat. Dia membagi masa berdasarkan kemajuan ilmu fisika, khususnya mekanika (ilmu tentang gerak - gerak benda). Berikut ini gue buat skema penjelasan dari bapak dosen, ditambah dengan info dari mbah Google biar makin lengkap.

2400 SM - abad 16 > Batas antara dunia purba dengan lahirnya Fisika Klasik.
Abad 16 - Abad 17 > Masih jaman sesat penganut Geosentris.
Abad 17 - Abad 18 > Aktor : Galileo, Copernicus, Newton. Geng penganut heliosentris. Newton memformulasikan tiga hukum gerak paling termasyur (Meledaknya Fisika Klasik). Fisika klasik dianut para ilmuwan sampai akhirnya mereka menemukan bahwa fisika klasik tidak bisa diterapkan pada fenomena mikroskopik. Ketidakpuasan para ilmuwan terhadap pelayanan Fisika Klasik menyebabkan dirintisnya Fisika Modern.
Abad 18 - Abad 19 > Aktor : Einstein, Niels Bohr, Max Planck. Pelopor era Fisika Modern. Einstein dianggap sebagai ilmuwan terbesar Fisika dengan teori relativitasnya yang meramalkan adanya Theory of Everything yang lagi nge-hits di kalangan ilmuwan. Teori segalanya, ya menjelaskan segala-galanya semesta ini (lu bisa cari teori ini di internet. Hehe).



Nah, setelah belajar sejarah, seketika pikiran gue bergejolak.
Gue merasa ga setuju kalo Einstein adalah ilmuwan terbesar. Karena ternyata, sampai saat ini alam semesta masih hanya digambarkan dengan pendekatan - pendekatan yang ditentukan dari solusi analitik yang dibuat praktis. Bingung ye ? Contoh deh dari kuliah Fiskom pagi ini, saat dosennya jelasin tentang pendulum. Dia bilang kalo model matematis pendulum secara umumnya itu mengabaikan gesekan udara dan gaya luar sehingga persamaan yang diperoleh terbilang simpel. Kerumitan terjadi kalo lu masukin itu hambatan udara sama gaya eksternal. Belum lagi kalo lu iseng nambahin pengaruh ketinggian tempat dan suhu ruangan. Dalam hidup, lu ga bisa prediksi kapan ada gaya eksternal menghampiri lo, lu juga ga tau apakah gaya eksternal itu akan mendukung lo, atau melemahkan lo. Hidup itu ga simpel dan ga bisa lo prediksi. See ? Makanya, Fisika itu mudah kalo lu udah tahu rumitnya hidup. Sori2 jadi rada berfilosofi. Hehe

Gue tiba - tiba berpikir kalo mungkin saja Einstein adalah pembuka gerbang pendakiannya. Toh dia sebagai pelopor, maka penerus - penerusnya yang akan mendaki perjalanan selanjutnya. Gue yakin di masa depan akan lahir seorang ilmuwan terbesar (bener2 terbesar, forever ever after) yang dengan kejeniusannya dia akan mendekati puncak ilmu pengetahuan. (hanya mendekati, karena gue berpikir kalau Tuhan-lah yang ada di puncaknya)

Katanya, entah kata siapa, yang jelas gue pernah denger hal ini dari seseorang, semua ilmu pengetahuan di muka bumi ini akan mengerucut ke satu titik yang paling krusial, yaitu Tuhan.
Kayaknya bisa jadi iya. Yang gue yakini, semua fenomena alam di jagad raya ini merupakan rahasia Tuhan, karya Tuhan. Selama ini para ilmuwan berusaha memecahkan berbagai fenomena itu ke dalam persamaan matematis, pemodelan, simulasi, hanya untuk mengerti tentang ruang ini, asal muasal tempat mereka menjejak kaki, menghela nafas, dan akhirnya menuju ke satu tujuan, mengungkap Tuhan.

Terus, pikiran gue melayang ke pemikiran lain. Butuh waktu 18 Abad (itu pun sesudah masehi) untuk ilmuwan menemukan mekanika dalam atom, maka butuh berapa lama lagi untuk manusia berhasil menjelaskan semua fenomena alam ini dalam persamaan matematis yang real, sebenarnya, bukan pendekatan? Mungkinkah Tuhan membiarkan kiamat datang ketika manusia belum memahami alam ciptaanya? Mungkinkah Tuhan membiarkan kita semua binasa sedangkan rahasia - rahasianya masih mengerling meminta untuk diungkap? Mungkinkah kiamat masih lama?
Itu muara pemikiran saya. Mungkinkah kiamat masih lama?

Senin, 9 Maret 2015
204

Senin, 02 Maret 2015

Dari Sang Hiperbola

Sejak sebelum kita berada di jalan yang berbeda, aku selalu bersyukur.
Dan hingga kini kita ada di arah yang berseberangan, aku masih bersyukur. Akan selalu bersyukur terhadap haluan yang pernah kita tempuh, dengan arah tatap yang sama, dengan derap langkah yang serupa.
Aku tidak ingin menyesal atas apa yang belum kita lalui di waktu kemudian, karena aku terlalu bersyukur.
Aku tidak ingin nestapa atas apa yang sudah diperlakukan olehku padamu, karena aku terlalu bersyukur.
Aku tidak ingin menjadi harapan tak berujung atas kisah – kisah nafasmu, karena aku terlalu bersyukur.

Dan demi kata syukur yang tiada habisnya, dan ucapan terima kasih yang tiada lekangnya, semoga engkau dapat menghirup nafas dengan tenang, dapat hidup dengan penuh sayang, sumpahku demi Tuhan.




Kamis, 26 Februari 2015

Photoshop VS Python (tapi yang menang Python)

Hai, lama tak berkoar – koar.
Aih ini adalah postingan pertama saya di taun 2015. Jadi, selamat tahun baru semuaa #extremelatepost

Nah, berhubung ini taun baru, pastinya ingin suasana baru kan pas baca postingan saya. Jadi, saya mau ganti sudut pandang orang pertama yang biasanya pake ‘saya’, mau transisi ke arah yang lebih gahol-able yakni ‘gue’. Semoga terbiasa yaa hehehe
#GUEmodeON

Sekarang, gue udah memasuki kuliah semester 6 guys. Anjrit lah gak kerasa padahal berasa baru kemaren beres semester 5. Hehehe
Yah, setelah sebelum – sebelumnya gua cuma denger kisah horror tentang sebuah mata kuliah dari para senior, akhirnya di semester ini gue ngambil mata kuliah itu. Sebut saja namanya Fiskom. Bukan Fisi Misi Komunikasi, apalagi Fisiologi Komplotan. Tapi Fiskom itu adalah Fisika Komputasi. *mana jeritannya kawan –kawan ?*

Mata kuliah horror.
Seenggaknya buat spesies kayak gue. Karena dosen yang ngajar bilang kalau Fiskom yang terhormat ini dibutuhkan di segala bidang pekerjaan. Si dosen ini emang hiperbola banget. Gue sebagai orang yang bercita- cita sebagai ibu rumah tangga, seketika meragukan keharusan untuk menguasai Fiskom ini. Entar bukannya ngurusin anak, malah ngasuh Lepi dan Kompi.

Tapi karena ini mata kuliah wajib, yang berkat perjuangan luar biasa ibu gue untuk bayaran kuliah semester ini, sehingga gue bisa ambil itu matkul (Ibu, entah aku harus berterima kasih atau berhujat), maka gue bertekad untuk sanggup melalui matkul ini dengan nilai A. hehehe
Tapi, tekad yang kuat pasti dihadang rintangan berat juga.

Seriusan, baru pertemuan ke 4, tubuh serasa ga berjiwa. Kita dikasih tugas buat bikin coding dari 3 fenomena fisika dan dibuatnya di software programming kayak Matlab dan Python. Dan pas menuju hari – hari pengumpulan tugas, gue pengen install Matlab dan Python di Netbook gue. Maka, konflik batin pun dimulai.

Kenalkan, netbook mungil gue, yang udah 2 taun lebih jadi piaraan kesayangan gue. Warnanya biru sendu, layarnya udah pecah sekali, harddisknya gampang kegeser, dan kabel flexinya udah gereget banget minta diselamatkan (karena udah nongol2 dari badan si Netbook). Buat spesifikasinya, ga usah gue sebutin karena pasti ga ada yang berminat. Yang jelas, gue bertekad untuk jadi orang hebat dengan bantuan dari Tuhan, orang tua, kawan – kawan, dan netbook ini. Netbook ini dibelikan ibu gue sebagai pusaka yang akan menemani perjuangan gue selama kuliah. Jadi wasiat banget deh ini netbook.

Tapi, alih – alih digunakan untuk kepentingan kuliah, harddisknya sebagian besar malah diisi dengan film, poto2 alay, lagu – lagu jadul, dan lain – lain. Bahan kuliah mah, paling cuma sebagai pelengkap sandiwara doang. Hehehehe
*Kok malah jadi bahas netbook ya -_-*

Jadi intinya, netbook gue ini suka kejang – kejang kalo kebanyakan ngeinstall program. Apa ya istilahnya, nge-hang. Pokoknya kalau lagi nge-hang, ini netbook pasti bikin hang over. Pusing. Nah, berhubung gue mesti ngeinstall Matlab dan Python di netbook, maka gue harus uninstall software – software lain.

Sial.

Software di netbook gue, kebanyakan berupa software desain kayak photoshop, Corel Draw, Sketch Up, InDesign, dan sekarang malahan gue lagi nyari crack-an Lectra Kaledo. Hehehe, sengaja banyakin software macam begitu. Software – software inilah yang menemani di kala gue merasa terpuruk saat mengerjakan tugas kuliah (dan nyaris selalu terpuruk). Karena sejak gue memutuskan masuk Fisika demi Ibu gue, gue bertekad bakal jadi satu – satunya jebolan Fisika yang mengubah dunia (setidaknya dunia gue sendiri. Hehehe) karena kemampuan desainnya. Aminkan tolong.
Kebayang kan betapa berharganya software – software itu buat gue? Dan akhirnya Photoshop ama Sketch Up gue uninstall demi pindah ke lain hati. Aaaaaaaakkk

Tapi setelah gue install Matlab dan Python, dan menyadari bahwa kedua makhluk itu sama sekali tidak friendly sama gue, *atau gue yang ga bisa pedekate?* maka gue frustasi. Guys, bayangkan! Gue mengusir software kesayangan gue demi mendekati software – software yang begitu dingin dan gak bisa nge-blend sama kepribadian gueee! Mati aja udah, matilah kaaauuuu

Hingga akhirnya Judgement day tiba. Beruntung Fiskom hari ini Cuma 50 menit. Ivan dengan jumawanya maju ke depan mencas-cis-cuskan program dia yang buat gue ‘it’s so complicated’. Sukses, dia sukses bikin gue melongo, putus asa, dan jiwa serta pikiran gue udah ga berada pada tempatnya lagi, menerawang bahwa hidup ini terasa begitu sulit, hanya karena gue menginstall software yang ga gue banget.

Yang gue inget dari kuliah Fiskom hari ini cuma pas dosennya bilang,
“Kalian jangan anggap tugas ini sebagai kewajiban, kalian harus ngejar ‘bisa’ kalau mau maju.”
Hahaha.. iya pak, BISA kok, BISA MENUNAIKAN KEWAJIBAN. Huhuhuhuuu #SADbutTRUE

Yah inilah sekelumit dari kisah – kisah dramatis gue dalam dunia mahanya para siswa. Gue selalu bahagia dengan ke-frustasi-an ini. Mungkin ini letak dinamikanya ya. (Gue mencoba menghibur diri guuyyss, hiks). Tolong doakan saja temanmu ini, sedang merintis juang dalam remang yang tak nampak ujungnya.

-27 Februari 2015-


Selasa, 16 Desember 2014

Saya Ingin Menjadi Penulis

Iya.
Saya ingin menjadi penulis.
Bahkan walau saya sudah mencoba sejak usia 7 tahun, saya tidak bosan dan
Saya tetap ingin menjadi penulis.
Bahkan saat pencapaian saya di bidang lain sudah mulai terbit,
Saya tetap ingin menjadi penulis.
Bahkan ketika semangat inspirasi meredup,
Saya tetap ingin menjadi penulis.
Bahkan melihat ribuan penulis yang bukunya tidak laku di pasaran,
Saya tetap ingin menjadi penulis.
Bahkan saya mengingat banyak penulis yang dicekal dan dipenjarakan 
Saya tetap ingin menjadi penulis. 
Bahkan jika saya hanya berumur pendek, ijinkan saya Tuhan..

Saya ingin menjadi penulis. 

Rabu, 26 November 2014

Titik Kritis

22 September 2012, kami diberi penghargaan atas kekompakan kami dengan sebotol Fanta yang pertama kali kami beli dengan keringat dan kerja sama kami. Sampai saat ini, belum kami nikmati rasanya bahkan setetes pun Fanta pemberian mawar kami. Kami merasa belum pantas untuk menikmatinya. (sebenarnya, gak ada waktu untuk minum fanta rame-rame. hhehe)
11 Oktober 2012, kami diberi dua box es krim yang diberikan kepada kami atas usaha kami membuat mawar-mawar kami bahagia dan gembira. Eskrim belum juga kami nikmati karena kerendahan hati kami untuk merasa belum pantas menikmatinya. (gak sih, cuma anak cewe pada takut gemuk jadi ga jadi mulu deh)
16 Oktober 2012, hari ditamparnya kami sebagai keluarga, hari dibantainya kami sebagai mahasiswa, hari dibunuhnya teman kami oleh keadaan. pada hari ini, salah satu saudara terbaik kami, Tri Setyo Hidayat, menyatakan kepindahannya dari kampus ini ke sebuah kampus di suatu kota. Alasannya karena ia ingin menjaga ibunya dan tak ingin kehilangan ibunya. ia yang menyatakan kepindahannya dengan begitu tiba-tiba membuat kami semua merasa tertekan. Kami baru bersama-sama selama kurang lebih 2 bulan, tapi sudah ada yang merasa tidak nyaman dengan situasi ini. Tri selama ini selalu tampak tidak merespon terhadap apa-apa yang kami hadapi. Dia tidak pernah mengeluh dengan kerasnya suasana praktikum, dia jarang berkomentar atas bengisnya tugas dari dosen, Tri hanya diam. Hanya diam yang sesekali tersenyum. Dan akhirnya, dia mengungkapkan kelelahannya dengan cara yang paling tidak kami suka. Pergi meninggalkan kami. 
Hari itu dia akan dijemput oleh orangtuanya sekitar pukul 9. Setelah matkul PKN selesai, aku dan teman-teman segera menuju kosannya dan memprediksi akan masuk kelas Matdas pada pukul setengah sebelas. 
Tri benar-benar meninggalkan kami. sudah bulat tekadnya untuk membahagiakan ibunya. Tri semoga dimana pun kau berada, kau selalu sukses dan bahagia. jangan lupakan kami, saudaraku.. semoga kita bertemu lagi... 
karena kondisi terbawa suasana itulah, kami telat masuk kelas matdas. masalahnya, diantara kami tidak ada yang sama sekali ijin ke dosen untuk datang telat. Maka, ngamuklah dosen yang mengajar kami. Mawar-mawar kami juga kena imbasnya. mereka menyatakan kekecewaannya pada kami. Sungguh, tak ada niat sama sekali untuk mengecewakan mereka, dosen, dan bahkan orang tua kami. Aku sangat takut jika ibuku tahu kalau aku dan teman-temanku banyak ulahnya disini. Ya Allah, bukakan pintu hidayah kami... 
Setelah melobi dosennya, sang dosen bersedia masih mengajar kami. namun satu dosen lagi yang lebih senior merasa tersinggung dengan ucapan yang boleh dibilang aku punya andil besar di dalamnya. Aku pusing .... gundah, gelisah pula.. aku merasa terbantai sebagai mahasiswa, telah mengesampingkan amanah orang tua yang disampirkan di pundakku. Maafkan anakmu ini, bu...
Masa-masa pengembangan biasanya kami lalui dengan baik. tak kami ketahui bahwa salah seorang saudara kami, Hutapea, yang biasanya setiap pengembangan dia hanya duduk memperhatikan kami berlari mengelilingi lapangan, dalam hatinya ia juga ingin berlari. Hutapea punya kelemahan pada fisiknya yang tak bisa aku sebutkan. Nekat, dia berlari sprint dengan ditemani seorang senior. Nekatnya dia itu, tidak berakibat baik pada fisiknya. Maka sore itu juga dia langsung dibawa ke klinik karena tubuhnya kembali mengalami gangguan. dan saat kulihat gurat-gurat penderitaan di wajahnya, tak tahan aku membayangkan rasa sakit yang ia rasakan. Mengapa dia menjadi bodoh sore ini? mengabaikan kesakitan tubuhnya demi terlihat berlari bersama-sama kami? Inilah, Hari Titik Balik kami sebagai MAHASISWA. Kami telah menuai banyak masalah sebelum hari ini. semoga selanjutnya kami akan terus memperbaiki kesalahan kami dan menjadi yang terbaik. amin.  


Minggu, 09 November 2014

Karena Cinta

Karena orang – orang yang kita cintai, kita sering kali begini.




Karena orang – orang yang kita cintai, kita sering kali mengabaikan rasa lelah. Bahkan beberapa kali menyembunyikan patah hati. Hanya untuk memastikan agar dia tetap ada di samping kita. Agar kita tetap bisa menatap matanya, dan meyakinkan diri, inilah cinta.

Sering kali juga kita mengalah. Bukan untuk menerima kalau kita kalah, hanya untuk menjaga agar hubungan kita tetap indah. Kita menerima dia yang sedang kesal. Tak jarang dia malah marah – marah. Kita tetap saja mengalah. Ini bukan untuk menunjukkan kita lemah, tapi untuk mengajarkan beginilah cinta bersabar.

Mungkin benar begini. Bahkan saat kata – kata orang lain menyudutkan kita, kita sama sekali tidak peduli dengan semua itu. Bagiku, inilah cintaku. Inilah yang ingin ku perjuangkan. Peduli apa denganmu yang tidak pernah tahu bagaimana rasanya hati dan jantung terjerat rindu. Kita mengabaikan segala ejekan, celaan, juga nasihat – nasihat yang menggurui, seolah mereka orang – orang paling bahagia dalam hidupnya.

Begitulah cinta. Ia mengajarkan kita pelan – pelan untuk berjalan. Dengan  segala pedih yang pernah kita perjuangkan. Dengan segala pandangan orang yang tak pernah kita pedulikan. Setelah kita kuat berjalan, kita selalu tahu, apakah ingin meninggalkan atau tetap bertahan.

Kita selalu punya sisi bahagia. Bahkan pada cinta yang mungkin saja disebut orang – orang sebagai sebuah kesalahan.  Dan pada akhirnya, kita hanya perlu menarik nafas dalam – dalam, lalu melepaskannya. Kita berhasil melewati semuanya. Sendiri atau berdua. Patah hati atau saling mencintai. Semuanya akan jadi cerita yang kita kenang kala tua nanti. Dan kembali mengenang saat pahitnya berjuang hanya untuk merasakan, beginilah cinta.

26 Oktober 2014

Catatan Seorang Teman 

Katanya Sih 'the last'

Waaaah jarang lagi berbacot di blog, sibuk aku sibuk,

Sibuk nyari kesibukan, jadinya sibuk ga jelas. Tapi dari kesibukan – kesibukan itu, akhirnya menemukan kesibukan yang hakiki. *apasihmulaidehpenyakitnya

Tapi kemaren2 dapet kejadian amajing lagi, jadinya pengen ditulis buat diceritakan kepada pembaca sekalian, tentang kelakuan anak manusia yang perlu jadi perhatian para saintis; Pengaruh Masa Reses Organisasi terhadap Keyakinan Manusia
Judul penelitian yang keren kan ? hahaha

Nah, apa hubungannya dengan cerita yang akan saya ceriterakan?

Jadi, kemaren tanggal 5 November 2014 tuh ada Wisudaan Gelombang I tahun 2014 – 2015. Setiap ada wisudaan, HIFI punya program kerja (proker) andalan dari departemen Humas yang bernama GRADIENT (Graduation Achievement). Di Proker ini, kita sebagai Badan Pengurus HIFI ngasih apresiasi buat para Wisudawan/i dari Fisika Unpad dengan algoritma sebagai berikut:
Datang keroyokan pake jaket himpunan warna merah yang semarak -> Ngericuh di Dipati Ukur dengan teriak – teriak jargon HIFI -> Ngeberantakin halaman Graha Sanusi dengan ngelempar – lempar potongan kertas bekas ke para wisudawan Fisika yang datang ke ‘Gradient Area’ -> ngasih bunga dan sertifikat penghargaan kepada para wisudawan -> nyediain photo booth buat mereka foto – foto euforia baru lulus -> mempersilahkan salah seorang wisudawan untuk memimpin jargon kebanggaan, FISIKA! HIFI! HIFI! HIFI!

Pokoknya momen Gradient ini selalu menjadi pemicu buat kita yang masih mahasiswa ini, untuk pengen lulus secepat mungkin. Siapa sih yang nggak seneng pas lulus dapet apresiasi seanarkis itu dari adek – adek junior yang pernah kita mabim? Hahahahaha

Nah, sepanjang sejarah saya dalam ikut Gradient ini, momen yang terasa selalu menyenangkan. Iya lah, ikut menyaksikan kakak – kakak senior yang pernah ngebimbing kita ini lulus dan menuju gerbang kehidupan baru itu bener – bener sesuatu banget. Gradient ini juga ajang HIFI buat eksis di Dipati Ukur dengan kelakuan kita yang berisik banget, jadi bisa buat sekalian konsolidasi para anggota Badan Pengurus dan nunjukkin kekompakan kita di depan para senior yang datang. Intinya, Gradient ini salah satu proker favorit kita J

Nah, pas tanggal 5 November kemarin itu, Wisudaan di Gedung Graha Sanusi Unpad Dipati Ukur dimulai jam 1 siang buat wisudawan/i Fisika. Anak – anak dari pagi kebanyakan udah pada merencanakan buat datang. Awalnya udah mau berangkat rame – rame, tapi gatau gimana ceritanya malah jadi pada berpencar.

Saya ama Rara, yang entah kenapa hari itu dikondisikan selalu bersama, akhirnya memutuskan berangkat secara mandiri dengan Damri jurusan Jatinangor – Dipatiukur. Kita nyampe di Gerbang Lama Unpad jam setengah duaan siang. Kita udah prediksi bahwa dari Nangor pasti banyak banget mahasiswa yang memburu Damri buat ke wisudaan, dan kita ga bakal kebagian tempat duduk kalo nungguin di Shelter Gerbang Lama. Akhirnya saya dan Rara memutuskan buat meniti jalan ke Shelter Gerbang Baru yang emang posisinya lebih dulu untuk dilalui Damri. Eh ketemu sama Kanjengnya HIFI dan Parto-nya HIFI, Yun dan Ahdan. Terus kita jajan es potong dulu deh. Feeling masih enak soalnya semua nampak baek-baek aja. Kita berempat jalan bareng ke Shelter Gerbang Baru dan pas nyampe ketemu sama Pabos, Iman, dan Aldo yang udah nguncen duluan di shelter. Di kemudian waktu, kita tahu kalau 7 orang udah jadi tim perintis untuk berangkat duluan ke Dipati Ukur, yaitu Ivan, Yati, Baper, Afifah, Pipit, Depe, dan Mochan. Mereka kebanyakan emang tim inti Gradient makanya musti duluan ada di TKP.   

Bener – bener rame banget di shelter dengan seperangkat orang – orang yang mau datang ke wisudaan juga. Tiba – tiba semua orang jadi sangat sensitif terhadap benda bernama bus. Ngeliat bus di kejauhan, pada langsung posisi mau start lari dengan lubang hidung yang kembang kempis dan urat di kepala yang menegang. Pas tau kalau itu bukan bus ke dipati ukur, kepalnya yang menegang karena kecewa. Pokoknya berbahaya sekali persaingannya. Saya ngeri liat beberapa cewek udah nyiapin cakarnya buat berjuang di pintu masuk Bus. Haha 

Syahdan, jam 2an siang bus nya datang. Saya prediksi kalau bus bakal berhenti 4 meter di depan saya berdiri. Melihat orang – orang pada maju mendahului saya untuk mendekati bus, strategi saya adalah berjuang rebutan masuk lewat pintu depan, karena pintu belakang nampak udah dinantikan banyak orang jadi peluang buat bisa masuk bus kecil banget.

HEBATnya saya, prediksi saya benar sehingga saya berhasil masuk ke dalam bus lewat pintu depan. Bahkan sempat megang dua baris kursi buat teman – teman saya. Tapi Cuma sempat, karena…  

BEGOnya saya, saya ga bagi – bagi prediksi dan analisis saya ke temen – temen sehingga hanya saya yang berjuang lewat pintu depan, dan mereka semua lewat pintu belakang. Aaaak! Kalian! Tidakkah kalian melihat bahwa orang – orang yang memburu pintu belakang begitu mengerikan!!?? *garukgaruktembok

Akhirnya ? Saya berada di dalam bus sendiri, memandang cemas ke berbagai sudut. Ke temen – temen saya yang nampak kesulitan untuk naik, dan ke orang – orang yang berhasil masuk dan menatap buas ke arah kursi – kursi yang udah saya tandain. Saya perlahan – lahan menyerahkan kursi yang awalnya sudah saya kuasai satu persatu, sampai akhirnya menyisakan sepaket kursi yang terdiri dari dua kursi untuk saya, Rara dan Yun. Saya mukul – mukul jendela berharap mereka melihat saya, tapi mereka nampak tidak ada daya untuk berjuang. Pabos melihat saya dan malah menertawakan saya. Saya tak peduli. Saya tetap menyemangati mereka agar bisa naik karena dua kursi ini, Oh Tuhan betapa berharganya..

Tapi memang takdir berkata lain.

Bus sudah penuh, dan temen – temen saya mengambil langkah mundur.
Tidaaaak! Hellooooooo, duit dan hape saya ada di tas Rara, gimana ceritanya saya bisa bertahan ke Dipati Ukur sendirian tanpa dua elemen primer kehidupan neo liberal ini!?

Akhirnya dengan mendengus terlebih dahulu, saya memutuskan untuk TURUN LAGI. Oh my to the God, dan ketika saya turun, kalian semua tertawa kecewa karena saya turun lagi. Akkk dasar Kampretosss!

Rapat dadakan dimulai. Fakta saat itu adalah, pertama udah jam 2 lebih tapi kita belum berangkat, kedua perjalanan ke Dipati Ukur selalu tidak bisa diprediksi macet atau nggak, ketiga kalo wisudaan mulai jam 1 siang biasanya bakal beres jam 3. Kita bimbang mau berangkat atau kagak. Di satu sisi, kita pengen banget berangkat ke Gradient. Tapi di sisi lain, kita sangat nggak mau ngerasain rasanya ‘almost’ dimana pas udah capek – capek datang ke Dipati Ukur, eh wisudaan udah beres, photo booth gradient udah dilipat, dan kita pun masuk ke kondisi ‘krik krik’ yang menyesakkan dada. Saat itu, kita mikir kalo damri berikutnya bakal lama lagi datangnya. Akhirnya tanpa pikir panjang kita angkat kaki dari shelter dan fix ga jadi berangkat dengan pertimbangan bahwa kalau kita berangkat, wisudaannya bakal keburu beres. Kita jalan ke Gerbang Lama dan sesungguhnya pikiran kita bener-bener masih galau pengen berangkat atau nggak. Alasannya ?

Pertama, ini tahun terakhir angkatan saya megang di himpunan, Kedua Wisudaan ini wisudaan terakhir sebelum kita musyawarah anggota untuk mempertanggung jawabkan setahun kepengurusan ini. Jadi intinya, ini Gradient terakhir angkatan saya sebagai Badan Pengurus HIFI. Sebenarnya, besoknya tanggal 6 November masih ada Wisudaan Part 2 buat wisudawan/i Fisika. Tapi besok jadwalnya pas kita lagi kuliah dan ngaslab sehingga hari itu adalah kesempatan terakhir kita. Pokoknya gundah gulana bangeeet.

“Ayolaah, ini the last.. ” suara – suara berontak bergaung di kepala. Tapi sudahlah… kita lelah.  

Yang bikin ngeselin, pas kita nyampe di Gerbang Lama, di Shelter Gerbang Baru ternyata telah tiba sebuah bus damri ke Dipati Ukur. Aaaaaak ini baru ‘almost’ yang pertama. Karena ga mau ‘almost’ yang kedua pas nyampe disana, kita makin fix buat ga berangkat. Aldo, karena penanggung jawab Gradient, memastikan tanggung jawabnya dan dia ditemani Iman memilih naik travel buat tetep berangkat ke Dipati Ukur.

Tapi takdir kembali berkata lain.    
Bayangan di kepala kita semua sama.
Membayangkan bahwa ini adalah kesempatan terakhir kita untuk datang ke Gradient sebagai Badan Pengurus, membayangkan bahwa beberapa dari kita udah rela bolos kuliah, membayangkan bahwa Gradient adalah proker favorit kita semua, membayangkan bahwa Tim Perintis yang udah disana duluan bakal kerepotan buat ngendaliin wisudawannya, akhirnya kita memutuskan mengekor Aldo naik Travel. Saat itu, kita mikir kalo naik Damri bakal lama jadinya ga nungguin damri yang udah nangkring di shelter gerbang baru buat lewat. Travel biasanya tahu jalur sendiri jadi bisa lebih cepet. Saya, Yun, Rara, Ahdan, Pabos jalan setengah lari dengan rusuh buat nyusul Aldo yang udah ke Travel duluan. Si Yun tiba –tiba ngidam cimol dan di tengah – tengah kericuhan itu, kita semua juga pengen makan cimol. Akhirnya kita mampir bentar ke gerobak cimol di pinggir jalan untuk memuaskan nafsu kita semua. Hahaha

Nyampe di Pos Travelnya, ternyata kalau kita mesen, kita bakal kebagian mobil jam 4 karena banyak banget yang mau ke Dipati Ukur pake travel. Oh man…. !!
Oke fix ga jadi berangkat!! Udah bukan darah aja yang naik ke ubun – ubun, tapi urat – urat nadi kita semua kayaknya udah pada mau copot.

Terus tim perintis menghubungi kita dan ngasih tahu kalo prosesi wisuda baru mulai jam 2. Berarti kita bisa jadi masih ada kesempatan, KALAU ADA TRANSPORTASINYA! Walaupun merasa sayang, tapi ya sudah lah .. mungkin bukan kesempatan kita.

Tiba – tiba Aldo tereak kalau Bus Damri ke Dipati Ukur mau lewat. Demi apapun, kita yang saat itu lagi duduk cantik, langsung terbang buat ngejar bus. Nggak terbang sih, Cuma kita kayak ngejar bus udah kayak kesetanan banget.

Akhirnya, setelah melewati serangkaian rintangan,

Kita berada dalam Bus Damri,

dengan posisi berdiri.

Ahahaha. Coba kalau ga ke travel dan nungguin bus di gerbang lama, mungkin masih bisa duduk. Aaaah, emang kita ini tim ‘almost’.

Aku jadi penghubung antara tim ‘almost’ ini dengan tim perintis dan keep contact dengan mereka. Sepanjang Baper ngebales ‘belum keluar wisudawannya dil..’, kita para pejuang Gradient masih bernafas lega.  Tapi pas hape saya mati gara – gara habis batre, saya pengen ngelempar itu hape ke sopir saking gregetnya. Dan pas jam 4 kurang seperempat, ketika kita masih terjebak entah di sisi mananya Bandung, Baper ngesms kalo wisudawan udah pada keluar, aaaaaakk dada nyesek banget. Dan kalo ada penumpang yang minta turun sehingga Pak Supir memperlambat kecepatan busnya, bawaannya pengen tereak,

“Heh brengsek cepetan keluar gue mau GRADIENT PLIIISS!!”

Akhirnya kita nyampe di Dipati Ukur jam 4 lebih. Saya saking ricuhnya, turun dari Bus langsung jatuh soalnya kaki kesandung portal. BODO AMAT. Udah kagak ada malu lagi, kepala cuma fokus sama Gradient. Setelah melewati perjuangan yang membuat kita sangat mengelus dada, akhirnya…

“Aaaak, akaaang selamaaat udah luluuus.” Kepada kakak lelaki kita yang berjubah.

“Teteeeeh, selamat yaaa semoga udah lulus tambah sukses.” Kepada kakak perempuan kita yang bertoga.

“Kaaang, kapan lulus??” kepada kakak – kakak kita yang berharap.

Hehehehehehe….

Yaaah.. kita ternyata tidak terlalu terlambat. Euforia kelulusan lagi hot banget. Dan saya ama Rara ngerusuh dengan minta foto bareng dengan beberapa senior yang udah lulus dan yang belum lulus.














Puas puas puas! Kalo saya mah puas, gatau kalo yang lain. Pertama kalinya saya berhasil difoto dengan hampir semua wisudawan/i yang ada. Emang sih karena kebanyakan yang lulus itu akang teteh 2010 yang udah ngemabim dan ngaslabin kita jadi udah deket. Dan mengingat history-nya gimana saya bisa berada di Dipati Ukur sore itu, aaak luar biasa gembiraaaa, Hihihihi

Oh ya, teruntuk akang dan teteh wisudawan/i yang telah lulus, saya ucapkan selamat menempuh hidup baru. Gelar udah didapat, sekarang ada tujuan baru yang harus dikejar. Ingat terus yak sama almamater dan HIFI. Semoga akang dan teteh tetap semangat mengejar cita – cita, dan sukses selalu. Terima kasih untuk semuanya, dan Selamat Jalan.