Rabu, 20 Mei 2015

Derak dalam Desak

Selalu begitu, akhir – akhir ini kembali seperti itu lagi.
Dulu, ketika masih semester 3, sangat dahsyat berontak – berontak itu. Ya, hati bergejolak, kepala selalu bergolak. Ingin pindah kuliah. Merasa amat sangat tidak bernyawa untuk belajar mengenai hal – hal saintis ini. Kenapa gejolak itu bisa teredam? Yaaah.. terlalu kuat faktor redamannya. (Sial, jadi bawa-bawa bahasan gelombang).

Seseorang dengan inisial AA (Bukan artis short time ya), memberi saya pelajaran. Mengatakan hal – hal yang fluktuatif, tak bisa ditebak apakah ia mendukung atau melawan keputusan saya untuk pindah kuliah. Saya bingung, ini orang maksudnya apa. Tapi nasihatnya yang melawan keinginan saya untuk berontak, ternyata membuat saya lebih tenang. Hingga akhirnya teredam, tapi nampaknya tidak benar – benar menuju keadaan diam. (jadi bahas gelombang lagi -_- bangz)

Kemudian, dia pergi, entah pergi, entah apa. Yang jelas , saya awalnya tetap mampu mengikuti segala hal gila ini, mengikuti nasihatnya. Karena salah satu nasihat utamanya, ‘Pikirkan ibu kamu’
Sekarang sudah semester 6, sudah mau uas juga. Kuliah semakin sedikit, tapi semakin menekan. Dan usia juga sudah 20-an, plus satu bahkan. Kemudian. Saya belum menjadi apa –apa. Pelan – pelan, derak – derak mulai bermunculan, menyobek – nyobek pikiran. Mengatakan hal – hal angkuh yang menyudutkan diri sendiri. Mempertanyakan keberadaan saya. Dalam keadaan terdesak, di bawah tekanan dalam mengerjakan tugas yang jarang saya beri hati saat mengerjakannya, saya suka keadaan itu.


Kepala saya mau meledak. Jantung saya seakan pindah ke ubun –ubun, segalanya berdetak di kepala saya. Adrenalin meningkat, dan keputusan – keputusan ekstrim diciptakan. ‘Pikirkan ibu kamu’  hanya menenangkan sesaat. Kemudian gejolak nya semakin besar. Ada penguatan yang mengatakan ‘Sedang apa kamu disini? belum ada kata terlambat untuk sadar’
Seketika keberanian memuncak, kegilaan sedang gila-gilanya, dan saya ?

TERJEBAK. 

Selasa, 05 Mei 2015

Lagi Eling

Setelah saya pikir – pikir, ternyata sebenarnya saya tidak terlalu sibuk loh. Setelah dihitung-hitung, saya masih nyaris bisa memenuhi setiap sks kuliah yang saya ambil. (1 sks = 1 jam di kelas masih bisa lah, 1 jam mengerjakan tugas di rumah masih okelah, 1 jam belajar sendiri hmmm ya sepertinya perlu banyak toleransi. Hahaha)
Dan dengan saya mengurus Caldera dan PKM Kewirausahaan dari Dikti, ternyata saya masih bisa tidur cukup 5 jam tiap hari, dan masih ada waktu luang untuk menekuni hobi saya seperti SB (sleeping bingit) *loh?* dan menulis atau menggambar.

Lalu, kemarin-kemarin apa yang selalu menghabiskan waktu saya? Yang menyebabkan kekacauan dalam setiap aspek hidup saya (terutama dalam urusan bikin laporan praktikum – you know what I mean), kuliah, Caldera, PKM, bahkan orangtua? Aaaaa…. Actually, that’s f*cking euphoria of new smartphone!

Efek punya mainan baru, tiba – tiba dunia saya menjadi teralihkan. Jagad raya yang maha luas ini, jadi serasa hampa dibandingkan dengan hiruk pikuk dunia yang dengan mudahnya terpantau dalam genggaman tangan.  

22.02
“Dil, kerjain laporan.” Kata temen.
“Bentar ya, IG-an dulu.”
22.45
“Dil, kerjain laporan”
“Mau cek path dulu bentaaar”
23.39
“Dil… (udah males)”
“Ini lagi asik chat line” terus asik sendiri “anjir lah, gue di mention banget nih?” -_-
01.10
“Gua ngantuk, bangunin jam 3 ya.” kata si saya
Bablas time – 05.57
“Si kampret kagak bangunin. Yaudah ah, mau liat Wasap dulu.” Padahal praktikum 4 jam lagi.

Gila! Emang gila. Saya akui, kemarin2 itu saya terlalu berlebihan. Semoga Tuhan mengampuni saya yang dzalim terhadap waktu, dan ironisnya saya sangat pelit untuk menyediakan waktu mengaji. Hiks. Bener kata Einstein, “Akan datang masa dimana teknologi akan melampaui interaksi manusia. Akan muncul generasi yang idiot.”

Iya saya ngaku saya ngerasa idiot.  
Sekarang? Ga guna menyesali waktu yang telah terbuang percuma. Saya berusaha bangkit, menggunakan smartphone seperlunya, sebermanfaatnya. Ya mungkin karena udah mulai bosen juga dengan medsos semacam itu. Baguslah, biar proses moving forward nya lebih cepat. J

Malu lah.
Jadi, nonsense dong hasil penempaan organisasi selama bertahun – tahun mengenai manajemen waktu mahasiswa, kalau akhirnya KO oleh gemerlap dunia media sosial? Wkwkwkw.  

Oke, itu hanya intermezzo. Hahaha. Ambil pesan moralnya, abaikan alay amoralnya hahaha.  

Dan karena saya baru sadar kalau ternyata saya masih punya waktu luang, saya mencoba merenung. Memikirkan banyak hal, terutama mengenai Mamah saya.
Kemarin – kemarin, sebenarnya dari dulu – dulu sih, saya memang cukup sulit dihubungi melalui telepon. Hmm, bahasan kali ini merujuk ke Mamah sih. Jadi, beliau kalo nelpon saya, kasarnya baru di panggilan ke 7 saya baru angkat telepon saking susanya saya pegang hape. Soalnya, kalo hape nya ga di silent, ya saya asik ama laptop sendiri, asik ama pikiran sendiri. Hahahaha
Dampaknya? Mamah meneror (neror banget nih bahasanya?) teman – teman saya dengan menelpon mereka satu – satu buat nanyain keberadaan jasad saya dimana, apakah saya kuliah hari ini, apakah saya ada di sekre, atau di kosan, apakah saya sudah makan, dan lain – lain.

Dan kejadian itu cukup sering juga, dosisnya bisa lah 3 hari sekali. Jadinya saya sering kena protes dobel. Dari Mamah yang marah – marah karena saya jarang pegang telepon, dan dari teman – teman saya yang kesel sama saya karena saya super susah dihubungi orang tua (jadinya mereka yang sering kena semprot) hehehe mamaaah, peace eaa..
Saya awalnya berpikir skeptis.
Ih, mamah. Lebay amat.
Bete deh jadinya kena marah dari mana-mana.
Ga ngerti apa saya sibuk. (padahal seperti kata prolog diatas, saya tidak terlalu sibuk!)

Dan ketika adik saya ikut ngomelin saya juga, saya makin kesel. Seakan saya ini anak yang sangat tidak berbakti. Saya makin males ngangkat telepon dari Mamah (karena sebagian besar isinya nyeramahin saya yang susah dihubungi). Makin males balik ke rumah. Dan beneran jadi makin durhaka kayaknya. Naudzubillah. L

Dan itu udah berlangsung selama hampir satu tahun belakangan ini.
Udah 21 tahun saya hidup, dan baru berpisah atap selama hampir tiga tahun (ya karena kuliah maksudnya) dengan Mamah. Saya selalu tahu kalau Mamah berjuang membiayai saya kuliah. Saya berasumsi kalau Mamah adalah investor hidup saya, membiayai seluruh hidup saya (sejak Papah meninggal), menginvestasikan uangnya untuk menghasilkan saya yang berkualitas sehingga saya bisa membahagiakan beliau di masa depan. Brengsek ga sih saya? Dua tahun lebih saya membuat frame semacam itu pada Mamah saya. Pantas saja, saya selalu biasa saja bila beliau nelpon, biasa saja kalau pulang ke rumah, kadang malah tidak betah di rumah dan ingin secepatnya berada di Nangor lagi, dan jika tiba di hari ulang tahun beliau, malah timbul pikiran “Hmm, udah kepala empat mah ga perlu ucapan selamat lagi kali yaa… ” kemudian, yasudahlah.
Kadang merasa berdosa ketika tidak pulang – pulang, tapi perasaan itu segera terkubur oleh kehadiran adik saya yang selalu pulang tiap minggu ke rumah.  
Kadang merasa bersalah ketika Mamah begitu sulit menghubungi saya, tapi perasaan itu segera teralihkan oleh percik – percik kampret yang bergemuruh ‘yaudah lah maklum kan ya saya sibuk’ – sibuk sialan.
Kemudian tiga hari yang lalu, ketika menemukan waktu – waktu tenang tanpa smartphone, saya membayangkan kondisi dimana saya yang menjadi seorang ibu. Mencoba berdiri dari sudut pandang Mamah.

Aku adalah single parent yang berjuang sendirian, yang kesepian, yang tidak akan menikah lagi demi anak – anak saya yang berharga meski sebesar apapun aku menginginkannya.
Aku menantikan anakku pulang setiap minggu tapi ia sibuk di tanah padjadjaran.
Aku kebingungan, kehabisan akal bagaimana cara agar dapat mendengar suara anakku walaupun hanya melalui telepon, Aku kalap begitu ingin mengetahui kabarnya. Peduli amat harus menghubungi teman-temannya juga, mungkin akan malu karena aku akan mengganggu mereka, tapi aku harus tau dimana anakku berada.  
Aku rindu anakku. Biarlah tiap pulang ia selalu menyanyi keras-keras, tapi aku merindukannya.
Anakku, balas sms mamah…
Kumohon, jangan naik gunung lagi. Aku begitu khawatirnya sampai jantung ini seakan tak kuat untuk berdetak lagi.
Jadilah kuat, tetaplah semangat. Dan aku ingin menjadi bagian yang selalu kau ingat, nak.

Sumpah. Saya nangis. Ga kuat. Seakan saya ga sanggup menghadapi kenyataan kalau di masa depan, anak saya akan seperti itu. Ah, Mamah. Betapa saya banyak dosa pada Mamah. Sesak dada saya, seakan ada badai membuncah memaksa saya untuk pulang saat itu juga. Saya baru pertama kali memandang ibu saya bukan sebagai investor (selama saya kuliah), tapi benar – benar sebagai ibu. Dan, saya rindu sekali padanya. Maafkan saya Mah.. Tolong maafkan.. Saya sadar, saya benar – benar mencintai Mamah.

Dan ketika saya mengimplementasikan perasaan saya dengan mengirimi Mamah sms tiap pagi, ah betapa leganya hati ini entah kenapa. Bahagia juga, dan dada sesak oleh semangat bergelora untuk menjadi lebih baik lagi untuk Tuhan dan orang tua, dan juga diri sendiri.
Teringat pesan seorang Profesor ITB yang juga Ketua MUI Kota Bandung, “Untuk bahagia, cintailah orang tuamu. Untuk menjadi orang sukses, berbaktilah pada orangtuamu. Dosa – dosa lain bisa diberikan hukumannya di akhirat nanti. Tapi dosa pada orang tua tidak akan menunggu akhirat, akan dibalas langsung oleh Tuhan di dunia ini. Berupa apa?
Kenelangsaan.”


Semoga kita menjadi anak yang berbakti dan mencintai orang tua kita. J

Selasa, 07 April 2015

Tempat Sampah

Nyaman itu lebih berbahaya daripada cinta.
Kata temen gue kayak gitu.

What? Rasanya, tidak sependapat. 
Dan sepertinya konsep ini juga yang dipahami beberapa orang, yang menjadikan gue tempat sampah mereka, membuang keluh dan resah mereka. Tentang apalagi kalau bukan masalah hati.  

Mulanya, mereka bilang kalau orang yang mereka cintai itu berbeda dengan orang yang mereka rasa nyaman. Rasa sayangnya beda. Kalau ke orang yang lo cinta, elo rela lakuin apapun buat dia meski itu ga menguntungkan buat lo. Tapi kalo ke orang yang lo rasa nyaman, elo bisa jadi diri sendiri. Elo selalu merasa ingin sempurna ketika berhadapan dengan orang yang lo cintai, tapi di sisi berseberangan lo ga takut memperlihatkan kelemahan lo di depan orang yang lo rasa nyaman. Yah, intinya beda aja antara kedua perasaan itu. Oke. Gue menahan percik ingin membantah: Awas. Bisa saja menjebak.
Tapi gue ingin melihat babak selanjutnya.

Dan akhirnya?
Mereka jatuh cinta pada orang yang mereka rasa nyaman. Bahkan, rasanya lebih dalam.
Geeezzz.

Kata – kata menjadi sekedar prasasti, ketika perasaan akhirnya menjadi jawara. Gue terkesima dengan runtuhnya prinsip mereka, hanya karena sejumput rasa bagai dibuai yang disebut nyaman. Plis, guys. Karena itu kenapa tidak hati – hati sejak semula? Sejak semua berawal dari mengkotak – kotakkan seseorang ke dalam kasta ‘orang yang dicintai’ dan ‘orang yang membuat nyaman’? Kenapa?

Hingga akhirnya gue ragu dengan konsep ‘cinta’ yang mereka kobarkan. Kenapa bisa ada nyaman dan cinta? Kenapa tak bisa nyaman dengan orang yang dicintai? Mungkin itu bukan cinta. Hanya semu keterikatan. Entah gue bacot apa, tapi gue yakin kasta yang mereka maksud itu bukan ‘cinta’. 

Belum cinta kalau belum bisa nyaman sama dia. Itu namanya terikat.
Belum cinta kalau belum menerima dia apa adanya. Itu namanya nafsu.
Belum cinta kalau selalu berharap dia bisa bikin lo bahagia. Itu namanya ego.
Belum cinta kalau ada orang lain yang masih bisa mengisi ruang hati lo yang lain. Itu namanya khianat.

Cih. Gue ngomong apa. Hahaha yaudah lah yaa.. Gue doain, kita semua bertemu, bahagia, bersama, dengan cinta sejati kita. Jiaaahhhh..


8 April 2015. 11.28.
Lampu perpus mulai dimatiin, isyarat mengusir secara halus.


Senin, 16 Maret 2015

Lagi Ga Jelas

Dibalik kesulitan pasti ada kemudahan.

Gue mau nambahin poin dari quote diatas.
‘Dibalik kemudahan muncul kesulitan’

Hahaha. Udah nyebelin belum?
Iya. Bayangkan.

Jaman dulu, orang cuma punya kaki untuk berpindah tempat. Simpel. Kesulitan masih simpel. Paling kaki lecet doang kebanyakan jalan. Tapi banyakan dampak positifnya kan, seperti tubuh yang semakin bugar.

Nah, kemudian Nikola Tesla menemukan motor yang mengubah dunia. Karena dengan begitu, kita makin mudah berpindah tempat. Intinya, motor ini memberikan kemudahan pada kita untuk bergerak. Tapi kesulitan yang ditimbulkan? Macet, abis duit beli bensin, tabrakan(nah loh), kena tilang, global warming, obesitas(karena kurang gerak). Oalaaahhh..

Atau, contoh lain. Dulu orang kalo mau menghubungi seseorang nun jauh di seberang sana, susaah banget harus lewat surat, terus dikirim ke kantor pos, terus nungguin balesan berhari –hari. Nah, kemudian seseorang menemukan ponsel yang mencengangkan dunia lagi. Dengan ponsel, kita bisa menghubungi seseorang nun jauh disana dalam hitungan detik. Terus ponsel berkembang menjadi android, windows phone, dan bla bla bla, yang memberikan segudang aplikasi edan yang bikin ita makin cinta ama gadget-gadget ini. Wah, hidup serasa dimudahkan dengan kehadiran smartphone ini. 
Tapi, lu pasti jadi jarang kumpul langsung ketemu ama temen lo. Iya lah kan gampang udah ada LINE. Atau kalau lagi kumpul ama temen lo juga, malah sibuk di Wasaap buat chat ama gebetan. Lu tau gak kalo efek radiasi dari ponsel itu bisa bikin telor mentah jadi mateng. Kalo efeknya buat manusia, bisa bikin kanker. Terus smartphone juga bisa bikin degradasi kemanusiaan lo, alias lo lebih peduli ama hengpong daripada bertemu sama orang2 yang deket sama lo. Nah loh. Belum abis pulsa, hahahaha ini mah curhat.

Internet memberi kemudahan untuk mengakses berbagai informasi dari seluruh dunia dalam sekejap padahal lo Cuma ngetik keyword dikit. Mudah banget kan? Mudaaaah banget. Penemu internet pasti berharap internet dapat memberi manfaat buat segenap umat. Tapi apa kesulitan di balik kemudahan itu?

Penipuan onlen lebih dahsyat efeknya daripada penipuan langsung karena segala informasi di internet bisa dimanipulasi. Dan korban lo bisa dari seluruh dunia. Cyber-bully adalah salah satu penyebab bunuh diri terbesar di Jepang saat ini. Lo bisa maki – maki orang tanpa dia tahu elo siapa.

Yaaaahh disaat kita diberi kemudahan untuk berbuat baik, pasti ada kesempatan untuk berbuat jahat.

Dan dibalik kesulitan ada kemudahan, maka kemudahan pun akan memunculkan kesulitan.

Sekian intermezzo sore hari ini.
16 Maret 2015


Selasa, 10 Maret 2015

Masih Lama ?


Kuliah Fiskom pagi ini, entah mengapa, menimbulkan semacam percik - percik api radikal dalam kepala gue. Dalam intermezzo awal, dosen gue itu menjelaskan mengenai sejarah fisika secara singkat. Dia membagi masa berdasarkan kemajuan ilmu fisika, khususnya mekanika (ilmu tentang gerak - gerak benda). Berikut ini gue buat skema penjelasan dari bapak dosen, ditambah dengan info dari mbah Google biar makin lengkap.

2400 SM - abad 16 > Batas antara dunia purba dengan lahirnya Fisika Klasik.
Abad 16 - Abad 17 > Masih jaman sesat penganut Geosentris.
Abad 17 - Abad 18 > Aktor : Galileo, Copernicus, Newton. Geng penganut heliosentris. Newton memformulasikan tiga hukum gerak paling termasyur (Meledaknya Fisika Klasik). Fisika klasik dianut para ilmuwan sampai akhirnya mereka menemukan bahwa fisika klasik tidak bisa diterapkan pada fenomena mikroskopik. Ketidakpuasan para ilmuwan terhadap pelayanan Fisika Klasik menyebabkan dirintisnya Fisika Modern.
Abad 18 - Abad 19 > Aktor : Einstein, Niels Bohr, Max Planck. Pelopor era Fisika Modern. Einstein dianggap sebagai ilmuwan terbesar Fisika dengan teori relativitasnya yang meramalkan adanya Theory of Everything yang lagi nge-hits di kalangan ilmuwan. Teori segalanya, ya menjelaskan segala-galanya semesta ini (lu bisa cari teori ini di internet. Hehe).



Nah, setelah belajar sejarah, seketika pikiran gue bergejolak.
Gue merasa ga setuju kalo Einstein adalah ilmuwan terbesar. Karena ternyata, sampai saat ini alam semesta masih hanya digambarkan dengan pendekatan - pendekatan yang ditentukan dari solusi analitik yang dibuat praktis. Bingung ye ? Contoh deh dari kuliah Fiskom pagi ini, saat dosennya jelasin tentang pendulum. Dia bilang kalo model matematis pendulum secara umumnya itu mengabaikan gesekan udara dan gaya luar sehingga persamaan yang diperoleh terbilang simpel. Kerumitan terjadi kalo lu masukin itu hambatan udara sama gaya eksternal. Belum lagi kalo lu iseng nambahin pengaruh ketinggian tempat dan suhu ruangan. Dalam hidup, lu ga bisa prediksi kapan ada gaya eksternal menghampiri lo, lu juga ga tau apakah gaya eksternal itu akan mendukung lo, atau melemahkan lo. Hidup itu ga simpel dan ga bisa lo prediksi. See ? Makanya, Fisika itu mudah kalo lu udah tahu rumitnya hidup. Sori2 jadi rada berfilosofi. Hehe

Gue tiba - tiba berpikir kalo mungkin saja Einstein adalah pembuka gerbang pendakiannya. Toh dia sebagai pelopor, maka penerus - penerusnya yang akan mendaki perjalanan selanjutnya. Gue yakin di masa depan akan lahir seorang ilmuwan terbesar (bener2 terbesar, forever ever after) yang dengan kejeniusannya dia akan mendekati puncak ilmu pengetahuan. (hanya mendekati, karena gue berpikir kalau Tuhan-lah yang ada di puncaknya)

Katanya, entah kata siapa, yang jelas gue pernah denger hal ini dari seseorang, semua ilmu pengetahuan di muka bumi ini akan mengerucut ke satu titik yang paling krusial, yaitu Tuhan.
Kayaknya bisa jadi iya. Yang gue yakini, semua fenomena alam di jagad raya ini merupakan rahasia Tuhan, karya Tuhan. Selama ini para ilmuwan berusaha memecahkan berbagai fenomena itu ke dalam persamaan matematis, pemodelan, simulasi, hanya untuk mengerti tentang ruang ini, asal muasal tempat mereka menjejak kaki, menghela nafas, dan akhirnya menuju ke satu tujuan, mengungkap Tuhan.

Terus, pikiran gue melayang ke pemikiran lain. Butuh waktu 18 Abad (itu pun sesudah masehi) untuk ilmuwan menemukan mekanika dalam atom, maka butuh berapa lama lagi untuk manusia berhasil menjelaskan semua fenomena alam ini dalam persamaan matematis yang real, sebenarnya, bukan pendekatan? Mungkinkah Tuhan membiarkan kiamat datang ketika manusia belum memahami alam ciptaanya? Mungkinkah Tuhan membiarkan kita semua binasa sedangkan rahasia - rahasianya masih mengerling meminta untuk diungkap? Mungkinkah kiamat masih lama?
Itu muara pemikiran saya. Mungkinkah kiamat masih lama?

Senin, 9 Maret 2015
204

Senin, 02 Maret 2015

Dari Sang Hiperbola

Sejak sebelum kita berada di jalan yang berbeda, aku selalu bersyukur.
Dan hingga kini kita ada di arah yang berseberangan, aku masih bersyukur. Akan selalu bersyukur terhadap haluan yang pernah kita tempuh, dengan arah tatap yang sama, dengan derap langkah yang serupa.
Aku tidak ingin menyesal atas apa yang belum kita lalui di waktu kemudian, karena aku terlalu bersyukur.
Aku tidak ingin nestapa atas apa yang sudah diperlakukan olehku padamu, karena aku terlalu bersyukur.
Aku tidak ingin menjadi harapan tak berujung atas kisah – kisah nafasmu, karena aku terlalu bersyukur.

Dan demi kata syukur yang tiada habisnya, dan ucapan terima kasih yang tiada lekangnya, semoga engkau dapat menghirup nafas dengan tenang, dapat hidup dengan penuh sayang, sumpahku demi Tuhan.




Kamis, 26 Februari 2015

Photoshop VS Python (tapi yang menang Python)

Hai, lama tak berkoar – koar.
Aih ini adalah postingan pertama saya di taun 2015. Jadi, selamat tahun baru semuaa #extremelatepost

Nah, berhubung ini taun baru, pastinya ingin suasana baru kan pas baca postingan saya. Jadi, saya mau ganti sudut pandang orang pertama yang biasanya pake ‘saya’, mau transisi ke arah yang lebih gahol-able yakni ‘gue’. Semoga terbiasa yaa hehehe
#GUEmodeON

Sekarang, gue udah memasuki kuliah semester 6 guys. Anjrit lah gak kerasa padahal berasa baru kemaren beres semester 5. Hehehe
Yah, setelah sebelum – sebelumnya gua cuma denger kisah horror tentang sebuah mata kuliah dari para senior, akhirnya di semester ini gue ngambil mata kuliah itu. Sebut saja namanya Fiskom. Bukan Fisi Misi Komunikasi, apalagi Fisiologi Komplotan. Tapi Fiskom itu adalah Fisika Komputasi. *mana jeritannya kawan –kawan ?*

Mata kuliah horror.
Seenggaknya buat spesies kayak gue. Karena dosen yang ngajar bilang kalau Fiskom yang terhormat ini dibutuhkan di segala bidang pekerjaan. Si dosen ini emang hiperbola banget. Gue sebagai orang yang bercita- cita sebagai ibu rumah tangga, seketika meragukan keharusan untuk menguasai Fiskom ini. Entar bukannya ngurusin anak, malah ngasuh Lepi dan Kompi.

Tapi karena ini mata kuliah wajib, yang berkat perjuangan luar biasa ibu gue untuk bayaran kuliah semester ini, sehingga gue bisa ambil itu matkul (Ibu, entah aku harus berterima kasih atau berhujat), maka gue bertekad untuk sanggup melalui matkul ini dengan nilai A. hehehe
Tapi, tekad yang kuat pasti dihadang rintangan berat juga.

Seriusan, baru pertemuan ke 4, tubuh serasa ga berjiwa. Kita dikasih tugas buat bikin coding dari 3 fenomena fisika dan dibuatnya di software programming kayak Matlab dan Python. Dan pas menuju hari – hari pengumpulan tugas, gue pengen install Matlab dan Python di Netbook gue. Maka, konflik batin pun dimulai.

Kenalkan, netbook mungil gue, yang udah 2 taun lebih jadi piaraan kesayangan gue. Warnanya biru sendu, layarnya udah pecah sekali, harddisknya gampang kegeser, dan kabel flexinya udah gereget banget minta diselamatkan (karena udah nongol2 dari badan si Netbook). Buat spesifikasinya, ga usah gue sebutin karena pasti ga ada yang berminat. Yang jelas, gue bertekad untuk jadi orang hebat dengan bantuan dari Tuhan, orang tua, kawan – kawan, dan netbook ini. Netbook ini dibelikan ibu gue sebagai pusaka yang akan menemani perjuangan gue selama kuliah. Jadi wasiat banget deh ini netbook.

Tapi, alih – alih digunakan untuk kepentingan kuliah, harddisknya sebagian besar malah diisi dengan film, poto2 alay, lagu – lagu jadul, dan lain – lain. Bahan kuliah mah, paling cuma sebagai pelengkap sandiwara doang. Hehehehe
*Kok malah jadi bahas netbook ya -_-*

Jadi intinya, netbook gue ini suka kejang – kejang kalo kebanyakan ngeinstall program. Apa ya istilahnya, nge-hang. Pokoknya kalau lagi nge-hang, ini netbook pasti bikin hang over. Pusing. Nah, berhubung gue mesti ngeinstall Matlab dan Python di netbook, maka gue harus uninstall software – software lain.

Sial.

Software di netbook gue, kebanyakan berupa software desain kayak photoshop, Corel Draw, Sketch Up, InDesign, dan sekarang malahan gue lagi nyari crack-an Lectra Kaledo. Hehehe, sengaja banyakin software macam begitu. Software – software inilah yang menemani di kala gue merasa terpuruk saat mengerjakan tugas kuliah (dan nyaris selalu terpuruk). Karena sejak gue memutuskan masuk Fisika demi Ibu gue, gue bertekad bakal jadi satu – satunya jebolan Fisika yang mengubah dunia (setidaknya dunia gue sendiri. Hehehe) karena kemampuan desainnya. Aminkan tolong.
Kebayang kan betapa berharganya software – software itu buat gue? Dan akhirnya Photoshop ama Sketch Up gue uninstall demi pindah ke lain hati. Aaaaaaaakkk

Tapi setelah gue install Matlab dan Python, dan menyadari bahwa kedua makhluk itu sama sekali tidak friendly sama gue, *atau gue yang ga bisa pedekate?* maka gue frustasi. Guys, bayangkan! Gue mengusir software kesayangan gue demi mendekati software – software yang begitu dingin dan gak bisa nge-blend sama kepribadian gueee! Mati aja udah, matilah kaaauuuu

Hingga akhirnya Judgement day tiba. Beruntung Fiskom hari ini Cuma 50 menit. Ivan dengan jumawanya maju ke depan mencas-cis-cuskan program dia yang buat gue ‘it’s so complicated’. Sukses, dia sukses bikin gue melongo, putus asa, dan jiwa serta pikiran gue udah ga berada pada tempatnya lagi, menerawang bahwa hidup ini terasa begitu sulit, hanya karena gue menginstall software yang ga gue banget.

Yang gue inget dari kuliah Fiskom hari ini cuma pas dosennya bilang,
“Kalian jangan anggap tugas ini sebagai kewajiban, kalian harus ngejar ‘bisa’ kalau mau maju.”
Hahaha.. iya pak, BISA kok, BISA MENUNAIKAN KEWAJIBAN. Huhuhuhuuu #SADbutTRUE

Yah inilah sekelumit dari kisah – kisah dramatis gue dalam dunia mahanya para siswa. Gue selalu bahagia dengan ke-frustasi-an ini. Mungkin ini letak dinamikanya ya. (Gue mencoba menghibur diri guuyyss, hiks). Tolong doakan saja temanmu ini, sedang merintis juang dalam remang yang tak nampak ujungnya.

-27 Februari 2015-