Rabu, 12 Juni 2013

SAAT PARA PETINGGI MEMBICARAKAN KITA

Angin senja bertiup keras. Musim kemarau tengah melanda tapi suhu merosot rendah. Daun-daun dengan cepat merontokkan diri. Bukan akibat dari penguapan, tapi karena terhempas kejinya angin akhir-akhir ini.

Dua petinggi di Bumi Pertiwi, Tuan Gede dan Tuan Pangrango, bercengkrama di suatu senja. Mereka memperbincangkan satu kawan mereka, Tuan Guntur yang kini gundul. 

Tuan Gede           : Aku jadi memikirkan si Guntur. Tak patut sekali dia saat ini, gundul dan semakin panas.
Tuan Pangrango   : Mengapa malah kau cela? Kasihan dia. Kasihan pula kita, tak mampu berbuat apa- apa untuk membantunya. Kita hanya ‘Petinggi-yang-terdiam-di-tempat’.
Tuan Gede           : Gara-gara memikirkan si Gundul, betapa aku menjadi kesal dengan segala yang terjadi di semesta ini. Dia dahulu elok sekali dengan hutan yang lebat di kerajaannya.
Tuan Pangrango   : Apa yang kau kesalkan kawan?
Tuan Gede          : Sadarkah kau bahwa kita hanya menjadi batu? Si Guntur juga hanya batu.  Kita hanya menjulang tinggi, tapi tak dapat menjaga apa yang menjadi milik kita. Tak bisa layaknya mereka, ‘makhluk-yang-paling-sempurna’, yang bisa bergerak kesana kemari, menggunakan akalnya, memperjuangkan segala haknya, dan kadang merebut hak kita.
Tuan Pangrango   : Itu sudah takdir kita. Kita menjadi bagian semesta ini. Dimana semesta ini dikuasai oleh mereka, lebih tepatnya akal mereka. Kita adalah milik Tuhan yang dipersembahkan untuk mereka. Kita diciptakan untuk mereka. Apa yang menjadi milik kita, adalah untuk mereka.
Tuan Gede         : Aku terima jika itu takdir kita. Aku bersedia menjadi harta mereka. Namun jika kita adalah harta mereka, tak adakah rasa di hati mereka untuk menjaga kita? Apakah kita hanya budak-budak yang memberikan segala milik kita untuk mereka, tanpa mereka berusaha untuk menjaga kita?
Tuan Pangrango   : Sudah takdir kita, sudahlah.. Tuhan telah mempercayakan kita untuk menjadi milik mereka, maka percayalah pada mereka.
Tuan Gede              : Aku takut, kita tidak mampu menjadi harta yang mereka wariskan untuk keturunannya. Aku ingin pohon-pohon di kerajaanku terus hidup, terus memberikan kehidupan bagi mereka. Aku takut, kita akan tiada beberapa tahun lagi. Aku takut akan kehidupan yang akan datang. Kehidupan yang tanpa kita, tanpa udara.  Aku takut dengan rumah tanpa halaman, dengan jalan-jalan tanpa tumbuhan, dengan hutan-hutan pemukiman, dengan bumi tanpa hayati di dalamnya. Aku takut..   
Tuan Gede terbatuk-batuk. Sebab dia sudah tak memiliki bara lagi di hatinya, maka keluarlah mata air di di sebelah barat kerajaannya. Mata air penuh luka. Sebagai bentuk lelahnya para petinggi. Selama ini telah menyerahkan segala milik diri. Tapi seakan tidak mampu selamanya untuk berbakti. Tuan Pangrango tak merespon tingkah kawannya, dan kemudian membacakan sebuah syair,

Alam ini tidak hanya harta berharga
Kita juga tempat untuk menempa
Mental  dan akal mereka
Agar dapat bertahan untuk bernafas
Di antara kita yang sesungguhya kejam ini

Tidak seluruhnya begitu
Tidak seluruhnya dari mereka mengabaikan kamu
 Tidak seluruhnya dari mereka merusak atas kamu
Kita adalah harta permata
Dan dari mereka ada yang mencintai kita 
Waktu terus berlari
Dunia terus mencari
Orang-orang yang menghargai diri
Supaya semakin banyak yang menghargai kami

Di saat yang sama. Angin dari selatan pertiwi berhembus. Menghampiri tempat-tempat tertinggi di muka bumi. Menyebarkan segala cerita. Menghibur para Petinggi yang tengah gundah berduka. Dan dengan desaunya, angin menuturkan kata..

[Aku telah menjadi saksi atas banyak peristiwa. Dan kita bukan ciptaan yang hanya menjadi harta. Kita punya banyak tugas yang tak akan pernah lepas. ]


(photo by Arif Darmawan)

[Kita ditakdirkan menjadi  tempat menempa ‘makhluk-yang-paling-sempurna’, menguji mereka, menguji kekuatan hati mereka, membuktikan pencapaian mereka. Membuktikan bahwa mereka adalah makhluk berakal, mahluk yang berpikir. Ini adalah tugas yang amat terhormat]

m21_25762375.jpg (990×641)

[Kita adalah tempat Tuhan menyayangi mereka: dimana kita adalah salah satu bentuk kasih sayang Tuhan untuk mereka. ]
[Kita adalah tempat Tuhan menghancurkan mereka, tempat Tuhan mengeksekusi mereka, dan kita akan menghakimi mereka sesuai tingkah mereka di muka bumi. Ini adalah tugas yang teramat keramat. ]


(photo by Elvyra Aprilia)

[Kita ditakdirkan menjadi tempat mereka berpijak, bernafas, hidup, dan mati. Segalanya tergantung mereka, dan kita hanya mesti memberi respon yang setara]



(photo by: Muhammad Ardani Adia Masrura)

[Terutama, kita adalah harta paling berkilau yang akan mereka wariskan pada keturuannya. Kita adalah harta yang akan menguji mereka, akankah mereka menggunakan akalnya untuk memperlakukan kita dengan bijak, atau menanggalkan akalnya untuk memperlakukan kita dengan rusak. Kita adalah cara Tuhan menguji mereka. Dan ini adalah tugas yang teramat bermartabat]

[Maka sepatutnya engkau tak usah bersedih wahai para Petinggi. Tuhan tidak pernah ingkar, bahwa mereka adalah makhluk yang sempurna, bahwa mereka mengerti jalan menghargai kita. Waktu akan menjawab segala]