Jumat, 24 Juli 2015

Daun - Daun Berselimut Abu

Gue orangnnya keitung jarang bikin cerpen. Koar2 pengen jadi penulis cerpen, tapi kerjaannya malah nulis curhat mulu. Hehehehe. Cerpen itu, man, butuh inspirasi, dan inspirasi itu, man, dateng bagaikan wahyu yang diterima para nabi. Intinya, inspirasi itu akan datang pada saatnya. Nah, gue orang yang bermasalah sama 'timing', sering dapet inspirasi tapi di saat ga tepat. Misalnya, dapet inspirasi bikin cerita horor disaat lagi takut2nya ama kuntilanak, ya mau nulisnya gimana coba. Nanti takut gue ama tulisan sendiri. Hehehehe ampun saya jangan dijitak.

Tapi jarang nulis cerpen bukan berarti gue ga punya cerpen yang jadi ya. Ini gue mau ngasih liat cerpen gue yang pernah disertakan dalam lomba menulis cerpen Faber-Castell tahun 2014 kalo ga salah ya benar. Ini versi extended-nya soalnya kalau yang diikutin ke lomba itu dibatasi 1200 kata aja. Padahal pas awal-awal ngebikin cerpen ini, belum nyampe ending aja udah 2000 kata. Bisa kebayang kan susahnya gue ngedit ulang ceritanya biar jadi pas 1200 kata. Emang peraturan lomba itu kadang - kadang membatasi imajinasi kita ya para pemirsah. Dan ternyata cerpennya ... yah belom beruntung untung menyabet juara. Hehehe.

Cerpen ini terinspirasi dari kisah Pendakian Soe Hok Gie ke Semeru yang berakhir tragis karena ber-ending kematian dari aktivis itu sendiri. Gue sampe nonton filmnya yang diperanin kang Nicholas Saputra yang ganteng masya Allah, sama baca buku dia yang berjudul 'Zaman Peralihan'. Gue suka banget ama doi abis keren amat ya. Cerdas, berani, tegas, tak gentar membela yang benar. Semoga beliau tetap dikenang dan ditiru sikap dan kecerdasannya oleh muda mudi bangsa kita. Amin.

Well, meski terinsipirasi dari Soe Hok Gie, toh cerita ini dikiiit banget yang ada hubungannya ama dia *spoiler*, yaaa mendalami kehidupan beliau hanya untuk membantu agar gue dapet sense tertentu saat nulis cerpen ini, biar serasa kayak lagi di jaman beliau gitu. Tapi ceritanya mah dari imajinasi gue sendiri lah. hehehehe
Akhirul kalam, selamat menikmati cerpennya. :)

_______________________________________

Udara malam dingin menusuk tulang. Angin gunung menyapu padang rumput ini. Bulan dengan jumawa menampakkan dirinya secara keseluruhan. Oro – oro Ombo terang benderang. Laki – laki itu, merobek kesunyian malam, melintasi padang rumput Oro – Oro Ombo dengan kecemasan yang sesekali tidak sanggup ia kendalikan. Di belakangnya seorang gadis berusaha mengikuti langkahnya meski terseok – seok karena beratnya tas keril. Cahaya bulan menyorot kepanikan yang kentara di wajahnya. Rendahnya suhu di Semeru tidak mampu mendinginkan pikiran lelaki itu. Sebuah tas keril besar dan berat di punggungnya, posisinya miring, sehingga makin menambah pikiran saja. Kemeja lapangannya sebagian telah berwarna merah, andil dari seorang gadis mungil yang berada dalam pangkuan tangannya. Senter yang ia pegang kadang terjatuh. Setiap lelaki itu merunduk untuk mengambil senternya yang terjatuh, gadis di pangkuannya terbangun, lalu batuk darah, dan kemudian pingsan lagi tak tahan dengan udara malam yang dingin.

Selamat Ulang Tahun, Ning.. Maaf tak bisa kita rayakan di Puncak Mahameru sana, seperti yang kau inginkan. Teguh memelas dalam hatinya. Sebilah golok yang di sampirkan Teguh di pinggangnya, berkilat – kilat ditempa sinar bulan yang anggun. Suara binatang malam yang bergaung, menjadi ancaman dalam kegelapan. Teguh tak peduli. Di hadapannya, adiknya tengah dikejar ajal.   

“Nining ulang tahun tanggal 16? Wah kita mau naik Gunung Semeru hari itu, Ning. Nining mau ikut? Sekalian merayakan ulang tahun di atas puncak?” ajak Kasta yang seketika membuat mata Nining berbinar senang.

Baru sekali itu, Teguh begitu ingin meninju Kasta. Selama ini susah payah ia menyembunyikan aktivitas naik gunungnya dari Nining. Teguh tahu, sangat tahu, bahwa Nining sangat menyukai alam bebas. Tapi dengan vonis dokter itu, Teguh tak tega mengajak Nining naik gunung. Kasta tahu penyakit Nining, tapi berani – beraninya Kasta mengajak Nining!

“Kau tidak boleh ikut!” kata Teguh menyentak. Nining melawan. Ia ingin naik gunung, titik. “Selama ini aku tak minta apa-apa pada abang! Tapi kumohon sekali ini aku ingin naik gunung! Sekali ini saja, bang!”
Teguh tak mendengarkan dan berlalu meninggalkan Nining. Nining tak menyerah. Namun Teguh tak mau kalah pendirian. Hingga akhirnya keluar kata – kata itu. Abang takut Ning mati?

***

Jika Ranu Kumbolo bisa bicara, tentulah ia akan memaki Teguh. Wajah lelaki itu begitu suram. Padahal di hadapannya terbentang pemandangan surgawi yang luar biasa. Padang rumput hijau yang menyejukkan di tepian danau Ranu Kumbolo yang tenang dan luas. Matahari yang mulai terik terhalang oleh lembutnya gumpalan awan, pagi yang sejuk tapi begitu terang. Bayangan matahari yang menyembul dari balik awan sesekali muncul di permukaan danau yang seketika beriak – Kasta melempar batu ke permukaan danau. Perjalanan ini seharusnya menyenangkan. Namun tidak bagi Teguh. Dipandanginya sang adik yang tengah bermain air bersama Kasta dan Maria. Jofar tampak sedang jadi objek ‘penganiayaan’ ketiga orang itu. Nining terlihat begitu senang. Teguh nyaris akan tersenyum memandangi kebahagiaan Nining seperti itu. Tapi ada yang menghalangi senyumnya.

Di depan sana, hujan abu vulkanik di Kalimati, potensi longsor di Recopodo, gas beracun Jonggring Seloko. Oh Ning.. bantulah abang.. 

“Ayo lanjutkan perjalanan. Kita akan tiba di puncak sebelum matahari terbenam.” Teguh berseru, mengundang keluhan dari Nining.

“Bang aku ingin liat matahari terbit daripada ia terbenam!” teriak Nining memaki, tidak digubris oleh Teguh.

“Baaang, aku juga ingin melihat terbitnya matahari di matamu..” Kasta berseloroh. Semua tertawa geli, kecuali Teguh yang melotot pada Kasta. Kasta hanya cekikikan. 

Pendakian kembali dimulai. Cuaca cerah, kondisi tubuh yang baik, maka perjalanan terasa berlangsung cepat. Teguh, Maria, Kasta dan Jofar sebelumnya sudah mendaki Semeru, Teguh bahkan sudah tiga kali. Hanya Nining yang baru sekali itu naik gunung. Namun, kecepatan jalannya nyaris melampaui kecepatan jalan empat orang lainnya. Berkali – kali ia berada di barisan terdepan. Tentu saja, di saat punggungnya hanya memanggul tas kecil, empat kakaknya memanggul keril besar dan berat.

“Ning jangan terlalu cepat, nanti kau kelelahan.” Kata Teguh cemas. Nining tertawa.

Burung berkicau menghasilkan harmoni yang indah. Lichen tumbuh di setiap pohon. Embun sisa pagi ini masih menggantung di dedaunan, menetes jatuh membasahi kemeja dan tas keril mereka. Nining bernyanyi terus menerus sepanjang perjalanan. Kasta menimpali nyanyian Nining dengan selorohan. Semuanya tertawa, sambil menghirup udara perawan pegunungan yang menyegarkan. Inilah mungkin keindahan tak ternilai yang diperoleh saat naik gunung. Membawa tas keril yang berat memang harga yang harus dibayar, namun tidak sebanding dengan keindahan alam yang memanjakan mata dan jiwa.

Dua puluh menit kemudian, mereka tiba di Oro – Oro Ombo. Nining berteriak saking senangnya melihat pemandangan yang terhampar di hadapannya. Sabana terbuka yang luas dan indah, dikelilingi oleh Gunung dan bukit – bukit, beratapkan langit biru berawan yang sangat membuai mata. Keagungan puncak Mahameru terlihat menakjubkan dari Oro – oro ombo. Angin bertiup kencang mengibarkan rambut Nining yang panjang. Teguh memperhatikan dengan cemas adiknya yang berlari dengan Kasta menyusuri padang rumput. Maria dan Jofar tertawa – tawa melihat Nining terjatuh karena tersandung. Teguh tersentak melihat adiknya terjatuh. Ia yang berada di urutan belakang barisan langsung berlari mendekati Nining. Teguh tak menarik nafas hingga dilihatnya Nining tengah berguling di rumput sambil menertawai kebodohannya sendiri.

Barangkali di tim itu, hanya Teguh yang tidak menikmati perjalanan. Kekhawatirannya pada Nining yang berlebihan membuatnya tidak fokus. Teringat pesan ibunya untuk menjaga Nining baik – baik. Perasaan Teguh semakin menderita. Terutama karena ia pemimpin dalam perjalanan ini. Ia tak ingin jika sesuatu terjadi pada Nining, teman – temannya pun ikut kerepotan.

Abang takut Ning mati? Kematian hanya Tuhan yang tahu, Bang. Teguh terhenyak. Ia teringat kata - kata Nining seminggu yang lalu, saat gadis itu memaksanya untuk membawa gadis itu turut mendaki Gunung Semeru hari ini. Teguh menghela nafas. Hari ini, 16 Desember 1969, Nining genap berusia 18 tahun.

“Ning, kalau kau tidak berhenti bertingkah, kita pulang sekarang.” Kata Teguh. Ekspresinya dingin tidak menunjukkan emosi. Semua orang seketika berhenti tertawa. Nining diam mendengar ucapan kakaknya. Secara teratur semuanya kembali berjalan di jalur. Teguh jarang sekali marah. Maka dari itu, jika ia sudah marah, berarti ia memang sedang sangat marah. Teguh menahan tangan Kasta.

“Kasta, kau dari tadi yang paling menjengkelkan. Kumohon padamu, jangan memancing Nining untuk bertindak terlalu berlebihan! Ia sakit, kau tahu itu!” kata Teguh pelan. Ia tak mau ucapannya didengar Nining.

“Hei, santai saja .. hari ini ulang tahun Nining kan? Kau jangan mengecewakannya. Kakak macam apa kau ini? Kalau aku jadi kakaknya, akan kuajak dia mendaki semua gunung di tanah Jawa ini! Tidak akan seperti kau, yang mengurungnya di rumah seperti peliharaan.” Kasta membalas dengan tenang. Kemudian ia menepis cengkraman Teguh dan mengejar Nining. Teguh terdiam. Giginya bergemeletuk. Dipandanginya Nining yang tertawa karena ulah Kasta yang melucu. Mungkinkah aku memang terlalu keterlaluan?

Pukul dua belas lebih akhirnya mereka tiba di Kalimati. Teguh bersyukur setengah mati ketika di sana tidak sedang terjadi hujan abu, meskipun langit secara tiba – tiba berubah mendung. Mereka bergegas mencari lahan luas untuk istirahat. Nining begitu duduk langsung mengeluarkan sebuah lontong dari tas nya.

“Mari makan..” seru Ning. Semua orang tertawa melihat Nining yang menghabiskan lontong itu dalam sekejap.

“Kau ini.. kalau di rumah susah makan, tapi di gunung gembul setengah mati!” Teguh mencemooh adiknya. Nining mendelik genit pada Kakaknya sambil mengeluarkan lontong yang kedua dari tasnya. Teguh tertawa melihat adiknya yang tiba – tiba menjadi kebo kelaparan. Teguh bersyukur, hingga saat ini Nining masih baik – baik saja. Teguh memandangi langit yang mulai mendung. Hatinya cemas. Firasat buruknya muncul, entah kenapa.

“Bang Kasta mana?” tanya Nining.

“Dia katanya mau mencari kayu.” sahut Maria. Nining manggut – manggut, kemudian ia memperhatikan Teguh.

“Bang Teguh gak makan?” katanya. Teguh menatap adiknya, kemudian menggeleng dan tersenyum.

“Abang gak lapar. Kau makanlah yang banyak.”   

Nining sadar bahwa Teguh begitu mencemaskannya. Karena itu, ia berusaha keras tidak mengeluh selama perjalanan. Ia tidak memedulikan kakinya yang sudah terasa pegal, atau dadanya yang tiba – tiba terasa sesak. Nining tidak mau Teguh menyesal telah membawanya. Nining tak mau merepotkan Mbak Maria, Bang Jofar, Bang Kasta, dan abangnya sendiri. Berjam - jam mereka berjalan sejak pukul 5 pagi tadi berangkat dari Ranu Pane, Nining sebenarnya ingin menjerit!

Sudah dua jam mereka beristirahat, Kasta belum kembali. Jofar dan Maria panik. Teguh berusaha tetap tenang, tapi pikirannya berkecamuk. Ia geram pada Kasta. Bisa – bisanya Kasta menghilang saat seperti ini. Mengganggu perjalanan! Maki Teguh dalam hati. Mereka tidak boleh muncak pagi hari! Ia tidak akan membiarkan tim nya kali itu pergi melihat puncak dini hari. Jika Nining ingin melihat matahari terbit, mereka harus berangkat pukul dua pagi. Dalam udara yang tipis, Nining yang memiliki ashma.. Teguh tak sanggup membayangkan itu semua. Mereka harus muncak sore ini! 

“Aku akan mencari Kasta. Jofar, kau tunggu disini jaga Maria dan Nining.” Kata Teguh.

Teguh sekilas menatap adiknya. Wajah lembut itu nampak tabah, namun matanya menyiratkan kekhawatiran. Teguh tahu, Nining mencemaskannya. Teguh segera pergi mencari Kasta. Secepat kilat ia menghilang di balik rimba Gunung Semeru.  Bersamaan dengan kepergian Teguh, Maria memperhatikan kemeja Jofar yang diselimuti abu tipis. Hujan abu perlahan turun di Kalimati. Maria dan Jofar saling berpandangan, panik. Mereka tahu penyakit ashma Nining yang akut. Maria segera mengeluarkan tenda dari tas keril Teguh. Jofar segera mengambil patok dan batu. Mereka harus mendirikan tenda secepat mungkin. 

“Ning, pakai masker mu.” pinta Jofar. Terlambat. Dilihatnya raut muka Nining yang pucat, mulutnya terbuka seperti kehabisan udara.

“KASTA!” Teguh masih meneriaki Kasta. Sudah 20 menit Teguh mencari, sahabatnya masih belum ditemukan. Kasta seolah-olah hilang di telan rimba. Ya Tuhan, dimana anak itu? Teguh mencoba mengingat pakaian yang digunakan Kasta. Tapi ia tak bisa mengingat. Pikirannya kacau. Bayangan Nining selalu memenuhi kepalanya. Teguh terhenyak. Matanya menangkap sesuatu yang tergeletak di tanah. Jam tangan Kasta. Teguh memungutnya. Matanya memanas. Seketika ia meneriaki Kasta. Tangannya dengan buas menepis daun – daun pohon dan nekat dia mencari Kasta bahkan hingga keluar dari jalur pendakian. Langit semakin mendung. Teguh panik, hingga ia terpeleset. Untunglah ia masih berada di dataran, bukan di punggungan yang curam, yang dikelilingi jurang. Teguh menahan nafas, matanya terbelalak. Diperhatikannya tumbuhan di sekitarnya.

Sejak kapan abu menyelimuti daun ini?

Seingat Teguh, sepanjang dia berputar – putar di daerah itu, tidak ada abu yang menyelimuti tumbuhan disana. Teguh memandangi lengan kaosnya, dilapisi abu tipis. Hujan abu! Teguh terkejut. Ia menyesali keterlambatannya untuk menyadari hal itu. Ia langsung teringat Nining. Teguh sangat mengkhawatirkan Nining, penyakit gadis itu bisa kambuh. Tapi Kasta harus ia temukan. Kakinya ingin ia langkahkan ke Kalimati, tapi hatinya yakin jika sesuatu terjadi pada Kasta. Segala sesuatunya muncul di pikiran Teguh.

Tiba – tiba bayangan mendiang ibunya muncul. Jaga adikmu. Pesan ibunya begitu mencekik Teguh. Namun sesaat kemudian, wajah Kasta yang masih ingusan, dengan berani mengajaknya naik gunung. Kasta adalah sahabatnya sejak kecil. Dan sejak mereka dekat itulah, Kasta yang mengenalkannya pertama kali pada gunung. Aku tidak pernah seberani kau, Kasta. Nining yang sakit – sakitan. Abang takut Ning mati?

Teguh meremas kepalanya, bulir air mata perlahan membasahi pipinya. Tanggung jawab sebagai seorang ketua, sebagai seorang anak, sebagai seorang kakak, dan sebagai seorang sahabat, sekali ini begitu menekannya. Teguh berteriak lagi, suaranya menggema di tengah hutan, diantara lereng yang curam, dibawah langit mendung yang berduka. Adakah orang lain di dunia ini yang tersiksa seperti dirinya sekarang? Tanyanya dalam hati. Alam sedang menempanya. Teguh tahu itu. Tapi ia tidak tahu apakah ia akan berhasil, atau tidak. Kematian hanya Tuhan yang tahu, Bang. Kematian hanya Tuhan yang tahu.

Kasta, maafkan aku. Teguh menarik nafasnya, kemudian ia berbalik dengan cepat.

***

Teguh dan Maria tiba di Ranu Pane sekitar pukul 10 malam. Punggung dirasakan mereka sudah mati rasa. Teguh turun dari Kalimati sambil menggendong Nining yang sudah tak sadarkan diri. Kondisi Nining sudah tidak dapat diperkirakan lagi. Teguh benar – benar takut, tubuhnya tak berhenti menggigil. Atas bantuan beberapa penduduk, Nining dilarikan ke rumah sakit terdekat. Maria ikut ke Rumah Sakit. Sedangkan Teguh tetap di Ranu Pane, hendak mencari dua kawannya. Jofar bertahan di Kalimati menunggui Kasta.

Siang ini Ranu Pane terguncang. Semeru kembali menelan korban jiwa. Dua orang meninggal di Puncak karena menghirup gas beracun dari Jonggring Seloko. Sekejap Teguh teringat dua orang karibnya. Namun, ia yakin Kasta tidak akan mungkin menghilang sampai puncak, dan Jofar juga tidak akan mungkin mencarinya karena ketika Teguh meninggalkan Kalimati, hujan abu sangat deras. Tapi tetap saja, hal - hal buruk menggelayuti pikiran Teguh. Meskipun akhirnya diberitahu bahwa yang meninggal adalah aktivis mahasiswa terkenal Soe Hok Gie dan kawannya, Idhan, namun tetap saja nasib Jofar dan Kasta masih belum jelas. Mungkinkah Semeru tidak hanya meminta dua korban, tetapi empat korban?

Pikirannya runtuh seketika saat melihat Jofar berjalan perlahan mendekati pos pendaftaran. Demi melihat sahabatnya berjalan tertatih seperti itu, Teguh langsung mendekati Jofar dan membantunya membawakan keril.

“Kenapa kau tidak menungguku menyusul!? Kau meninggalkan Kasta?” Teguh langsung memaki.

“Soe Hok Gie tewas.” Jofar malah tak menjawab. Ia menjatuhkan tubuhnya ke tanah.

“Kau meninggalkan Kasta?” Teguh masih menyerang. Jofar, yang kelelahan, seketika naik pitam. Ia kembali berdiri dan menantang Teguh.

“Kau yang meninggalkan Kasta!” hardik Jofar.

“Kau tentunya tahu kalau aku mengevakuasi Nining!”

“Sejak semula sudah salahmu karena mengajak Nining!”

Teguh merasakan darahnya mendidih. Tubuhnya menggigil. 

“Soe Hok Gie tewas. Kondisi semakin buruk dan aku tidak mau gegabah sehingga mencari Kasta sendirian.  Kau pergi tanpa berpesan apa – apa hanya memintaku untuk tetap bertahan sedangkan aku tak tahu kapan kau akan kembali. Kalau kau jadi aku, apa yang akan kau lakukan?” hardik Jofar lagi.

Teguh terpaku. Jofar benar. Tidak, Jofar tidak begitu benar. Nining ikut pendakian bukanlah salahnya. Ini salah Kasta yang memberitahu Nining perihal perjalanan ini. Ya, salah Kasta. Iya ini semua salah Kasta. Kasta yang semula merencanakan perjalanan ini, Kasta yang mengajak Nining, Kasta - dan bukan dirinya - yang menyenangkan Nining selama perjalanan, Kasta yang tiba – tiba hilang. Semua salah Kasta.

Teguh memejamkan mata. Pikirannya kembali ke Kalimati. Jika Kasta tidak menghilang, perjalanan akan dilanjutkan. Sesuai rencana, mereka berlima akan tiba di puncak menjelang petang, kemudian menghirup uap Jonggring Seloko, yang di waktu sama telah membunuh Soe Hok Gie. Dada Teguh merasa sesak. Tak sanggup ia membayangkan jika ia mati, Nining mati, semua orang mati dalam pendakian yang ia pimpin. Tubuh Teguh gemetaran, merasakan dirinya berubah menjadi Kasta, yang dalam kesendiriannya di tengah dingin dan sesaknya rimba, berteriak minta tolong padanya. Tapi Teguh malah membalik langkah. Kemudian menyalahkannya.

Matahari mulai meninggalkan siang, menjemput sore dengan jingganya di cakrawala. Jofar beranjak meninggalkan Teguh yang masih termangu, dan ia langsung melapor ke pos pendakian untuk memberitahu perihal kecelakaan kemarin. Teguh merasa bahwa ia bersalah karena telah meneriaki Jofar. Ia mengerti kondisi Jofar. Jika ia dalam kondisi seperti itu pun, Teguh akan melakukan hal yang sama. Maka, Teguh menghampiri Jofar dan menepuk lembut bahu sahabatnya itu. Begitu Jofar berbalik dan menampakkan wajahnya, Teguh terbelalak. Itu Kasta! Jofar telah berubah menjadi Kasta! Pakaian itu, tetap pakaian Jofar, tapi senyum itu, mata itu, hidung itu, semua milik Kasta! 

Teguh tiba-tiba lemah lunglai. Ia menjatuhkan dirinya ke tanah. Keningya dibanjiri oleh keringat dingin. Tubuhnya menggigil hebat. Pandangannya gelap seketika. 

_______________________________________



Senin, 06 Juli 2015

Hari Ayah #3

Then, what about me?

Pah, semester ini aku dapet IP yang keren sumpah. Setidaknya buatku yang selalu dapet IP dibawah 3. Hehehee..

The best IP ever lah pokonya, evernya sampe semester ini lah. Terus aku congkak ke Mamah.

“Nih, IP terbaik di saat menjabat di Caldera.”

Mamah diem. Ga diem amat sih, ya ngedumel dikit,

“Tetep aja harus tetep fokus kuliah biar cepet lulus, terus kerja, terus nikah.”

Duileee~ macam mana hidup macam tu ? Lurus amat. Ga kebayang kalau Mamah tau rencana aku lulus kuliah mau ngapain. Hahahaha. Hanya aku dan Tuhan yang tau. Pffftt

Tapi walaupun sumpah serapahnya tetap ada, aku yakin sih Pah si Mamah pasti seneng amet IP aku bagus. Aku minta hadiah, ga muluk2 Cuma minta Baso Yamin, eh malah dikutuk lagi. ‘Pikiran teh kana dahar wae! Pikiran kuliah!’ -____- kalo ga ngerti bahasa Sunda, ya artiin ajalah sesukanya ;)

Pah, aku niatnya sih kuliah setahun lagi baru lulus. Terus? Masih terombang – ambing karena kebanyakan mimpi. Pengennya sih udah lulus kerja di penerbitan atau di Rumah Busana. Ga nyambung ya ? Ya itu karena antara menjadi pelukis atau penulis masih menjadi pilihan yang membingungkan. Aku belum nemu, apa yang sebenarnya mendominasi diantara pilihan-pilihan itu. Akhirnya dijalani dua-duanya dulu. Hahahaha. Tapi aku selalu ingin lebih dari Papah. Dari dulu ingin doang, kagak ada aksinya. Wkwkwkw.. Masih belajar kok ini. Hehehehe..Semoga tercapai apa yang orang bilang 'work until your heroes become your rivals'. Wkwkwkwk

Masalah cinta ya, wah. Hahaha malu bahasnya. Ga sejago Mila aku mah da polos. Hahahaha… tapi tenang aja, fans aku di kampus bejibun kok. Fans cewe tapi -_- yang cowo ada juga sih, yah hanya segelintir tapi, yang punya mata batin jadi bisa melihat inner beauty dari diriku. Hahahahaha. Doa mamah kuat kok Pah aku yakin. Allah pasti ngasih yang terbaik buat aku, asal aku juga bisa jadi yang terbaik. Uwa Pipik udah mau jadi wali nikah aku katanya nanti jadi tenang aja. Hahahaha.

Hari ini tanggal 6 Juli 2015, benar? Berapa tahun ini sejak Papah lahir? 51 Tahun ya? Aku gak tau gimana disana. Gimana Papah disana.  Apakah ada dimensi ruang dan waktu? Wallahu alam.
Pah, jika kau tak bisa dengar kata hatiku, mungkin Tuhan bisa sampaikan kalau Dia bersedia.
Dunia ini memang sementara, memang sebentar, Pah. Tapi 1 dasawarsa toh bukan waktu yang sebentar. Aku tak tahu pada Dasawarsa ke berapa akhirnya aku bisa dipertemukan lagi denganmu. Tak apa. Prasangka ku baik, Tuhan masih memberikan kesempatan, agar aku bertemu denganmu di tempat yang indah nanti. Tak apa. Aku akan tetap mencintamu.  

Selamat Ulang Tahun, Papah.   

Hari Ayah #2

‘Gamau, ah. Kasian Papah.’

Kasian Papah?

Kasian Mamah mungkin lebih tepatnya. Mobil ini penuh dengan kenangan. Aku juga, kalau duduk di kursi depan, siapapun yang mengemudikan mobilnya, aku merasakan kalau yang nyetir itu Papah. Mungkin mobil ini peninggalan Papah yang paling bisa memberikan kenangan buat Mamah. Yah, kalau Mamah masih mau pake mobil itu sampe nanti juga gapapa. Semoga nanti aku bisa biayain terus kelangsungan hidup mobil carry kita, Pah. Hehehehe

Mamah, dia beberapa hari lalu ulang tahun, Pah. Berapa usianya sekarang? 44 Tahun. Aku gak tau apa yang sebenernya ada di pikiran mamah. Dengan kondisi dimana dua anak perempuannya sok soan menyibukkan diri di tanah rantau, dan mungkin, dia selalu merindukan dirimu, Pah? Tapi yang jelas, aku ga melihat dia tambah menua. Mamah justru nampak semakin muda, lebih kuat, lebih tegar, lebih cantik suer. Aku kagum sama Mamah. Papah juga pasti jatuh cinta lagi, kok. Hahaha. Jangan bilang – bilang ke Mamah yah, Mamah suka kecentilan.

Si Mila, ckckckck. Sekarang dia jadi Seleb, pah. Selebgram, seleb di Instagram. Hahaha..ngepost foto apapun, berapa likers? Ratusaaannn.. Aku pernah menyelidiki sih para likersnya yang ga aku mengerti kenapa bisa nge like foto pose alay yang ganti-ganti tiap hari kayak gitu. Kebanyakan sih likersnya orang – orang bule yang ga jelas gitu. Mungkin hijabers kayak dia populer banget di belahan dunia sana. Au ah gelap. Aku sirik ? Nggak sih. Da aku mah apa atuh.

Tau ga, Pah? Udah ada bank Syariah yang nawarin si Mila jadi Teller loh. Yah, aku mengakui sih kecantikan adikku ini yang sebenarnya cuma menang putih doang dari aku, hahahaha. Tapi untung ga dia ambil tawaran itu. Iya lah! Kemampuan si Mila kan pasti lebih dari sekedar Teller. Katanya sih pengen jadi Pramugari. Iya sok lah didoakeun sing tercapai cita – citanya.

Terus sekarang dia lagi pacaran ama anak seangkatan dia di jurusannya. Sebutlah namanya Panji. Hahahaha. Aku pernah disogok lah pake eskrim Magnum. Biar dikasih restu kali ya. Anaknya emang baik sih kayaknya. Yah, semoga perjalanan asmara mereka aman dan lancar – lancar aja. Meski si Mila sering banget ngedumel gara-gara Panji baper banget orangnya, yah aku sih seneng Pah, lucu liatnya kayak bocah padahal udah mau jadi mahasiswa tingkat 3!


Anyway, Mila yang sekarang jauh berbeda kok dengan Mila yang 10 tahun lalu. Dia lebih dewasa secara keseluruhan. Spesifiknya sih dalam urusan mengurusi kosan. Hahahahaha. Masalah kosan sih justru aku yang harus belajar ama dia. Mila masih tetep apik kayak dulu. Suaranya ga berubah kok. Masih kayak rombeng. Heheehe. Tapi, dengan muka bocah dan polos itu dia berharap nikah di usia 22 cobaaa. Waaahhh…. 

Hari Ayah #1

Hari ini tanggal 6 Juli 2015, benar? Yes. Selamat hari Ayah.
Bukan Hari Ayah Sedunia yeeee, tapi Hari Ayahnya saya yeeee. Mwehehehe  

Yah, setelah melewati banyak hal selama lebih dari satu dasawarsa ini, bagaimana aku harus menyapamu?
How are  you, dude?
Hehehe, I’m sorry. I mean, how are you, dad?
How about there? Is there fun ? hahahaha

Hari ini Mamah lucu banget, Pah. Kan aku nganterin dia ke kota, (Oke, aku orang desa.). Setelah narik uang di bank yang antrinya sampe ngelewatin 3 kali lebaran (oke ini emang lebay), terus anterin aku ke dokter gigi dulu untuk memastikan bahwa aku akan kehilangan satu gigi geraham belakang yang sebenarnya merupakan aset tak ternilai untuk seorang yang makan nasi sekepal langsung huap kunyah tiga kali telen, terus aku nganterin mamah belanja ke pasar.

Pas nganterin belanja ini aku udah males banget sebenarnya, udah pengen pulang ke rumah. Tapi aku harus ikutin mamah, mengawasi dan mencegah dia melakukan banyak penyimpangan.

Huaw! Penyimpangan seperti apakah itu ? Ya, seperti ini.

‘Mamah sekarang mau ngapain aja di pasar?’ Tanya ku menyelidik
‘Ngobras baju, sama beli plastik.’
‘Terus?’ aku masih yakin pasti ada lanjutannya.
‘Udah kok, terus kita pulang.’

Hmm.. menarik. Aku ga percaya ama Mamah. Begitu memasuki pasar,

‘Kamu mau beli Pindang ga?’
‘Mamah mau beli cemilan dulu yah’
‘Itu beli kelapa sekalian,’
‘Nyari obat makota dewa dimana ya?’
‘Masya Allah, kesel pisan ama tukang obras’ *Loh? Ini out of topic -___-*

Hmm.. sudah kuduga akan begini. Setelah semua itu tidak jadi terbeli karena aku cegah (bukan nyegah, lebih tepatnya ngomel – ngomel), akhirnya aku nanya,

‘Sekarang kemana lagi, Ratuku?’
‘Kita pulang.’
‘Loh, ga beli Plastik?’ aku mencoba menjadi reminder atas tujuan utama ibuku ke pasar.
‘Entar aja, kamu udah ngomel mulu kan males’

Ngahahahahaha ngambekan. Lagian ibu – ibu banget dah. Tujuan ke pasar semula Cuma ini dan ini, kenapa pas nyampe pasar jadi ini dan itu dan disini dan disitu? Pantesan kalau nungguin Mamah pulang belanja lama banget. Ini rahasianya!

‘Aku kalau udah jadi Ibu Rumah Tangga, kalau main ke pasar akan selalu ingat tujuan semula  aku pergi ke pasar. Biar ga nyimpang2 mulu kayak mamah.’ Tanpa sadar aku ngomong gitu, Pah. Hmmm.. naluri emak2 ku mulai muncul.

Balik dari pasar, mobil di servis lagi. Iya, mobil biru Suzuki Carry minibus Futura 1.3 legendaris itu. Mobil kebanggaan, karena mobil ini membuat Papah menjadi menantu pertama yang punya mobil di keluarga besar Mamah. Hahahaha.

Sekarang uwa dan mamang yang lain udah pada punya mobil bagus. Dan sebenernya aku juga udah menyarankan Mamah untuk beli mobil lagi aja yang lebih bagus. Toh, Mamah pasti mampu beli sebenernya, yang bekas juga gapapa. Bukan untuk mentingin ego aku sendiri, toh aku juga jarang pulang ke rumah jadi jarang menikmati mobil sendiri -__-. Tapi untuk kenyamanan Mamah aja. Lagian, mobil carry kita sering banget diservis dan makan uang banyak, mungkin karena udah tua kali ya. Kan kasian mamah, jebol mulu. Tapi, kalau aku saranin ganti mobil, Mamah Cuma bilang, 

Rabu, 01 Juli 2015

Afgan

Wkwkwkwk, apa ekspektasi kalian saat baca judul tulisan ini? 
Nggak kok, saya gak akan ngomongin si Afgan. Saya mau ngomongin 'Jodoh pasti Bertemu'. hahahaha

Jadi gini gan, 
Saya masih belum dapat membayangkan sebenarnya. Apa benar, kita bisa mengusahakan jodoh kita?

Kan, jodoh sudah ada yang ngatur. Inilah yang selama ini saya yakini. Yang selama ini telah menyebabkan saya menjadi begini. Begitu malas memperhatikan diri. Malas mengurus diri. Ya karena itu. Jodoh juga udah ada yang ngatur. Kita mau ngapain-ngapain juga, nyantai aja lah kan udah ada jodoh mah.

Awalnya semuanya lancar-lancar saja. Sampai menjelang usia kepala dua, protes dari berbagai arah 
mulai terdengar. Komplain terhadap sikap saya yang acuh tak acuh pada diri sendiri, bagaikan guyuran air hujan. Begitu deras. Hmm.. saya masih tak peduli.    

Lalu seiring waktu, ada banyak orang bilang, bahwa jodoh akan sepadan dengan kita sendiri. Kalau kita baik, maka jodoh akan baik. Kalau kita nakal, ya jodoh kita sebelas dua belas ama kita. Kemudian cibiran makin keras saja.

‘Si Adil kan ke-laki2-an banget yah, suaminya pasti ke-cewe2-an.’
‘Kamu teh jangan gini terus atuh, mau dapet suami yang kelakuannya kayak kamu juga?’

Wah. Apa iya begitu? Kan semua sudah ada Tuhan yang ngatur. Tapi perlahan, saya memang mulai ragu. Ya secara logika bener juga sih. Ibaratnya nih, kalo saya bertahan di rumah (zona nyaman), dan ga kemana-mana, yaa kemungkinan besar jodohnya orang sekitaran rumah. Tapi kalau saya berkembang, melanglang buana  ke mana-mana, yaa kemungkinan besar juga jodoh saya bisa ada dimana-mana. Hahahaha

Terganggu dengan logika seperti itu, saya mulai agak memperhatikan diri sendiri. Mencoba lebih baik, mengasah kekurangan menjadi kelebihan, dan memdalami kelebihan agar menjadi kekuatan. Tapi tetep lah, orang-orang sekitar masih berucap hingga telinga saya berdengung. Kadang, orang Indonesia, saking pedulinya pada orang lain, jadi tidak peduli pada diri sendiri. -_-

Kemudian ada lagi yang terbaru, seseorang berkata, bahwa dia harus memperjuangkan seseorang untuk menjadi jodoh dia. Hmm, wah ini tahap selanjutnya man. Kalau tahap yang saya jalani kan, masih memperjuangkan diri sendiri untuk dapat jodoh yang sepadan siapapun itu. Nah kalo orang ini, sebut dia SR, udah memilih orang, dan memperjuangkan seseorang itu. Dia bilang, ‘cewe itu hanya tentang menunggu, makanya bisa aja ngomong ‘semua udah ada jodohnya’. Tapi cowo itu yang ngejar, jadi kita yang perjuangin jodoh kita.’

Hmmm.. sudah kuduga. -_-
saya ngerti sih logika dia. Tapi ga kebayang aja, apa konsep dia bisa nge-blend sama konsep ‘setiap orang sudah ada jodohnya masing-masing’. Tapi, mengingat jodoh atau teman hidup, adalah sesuatu yang amat krusial bagi kehidupan tiap manusia, yang akan hidup bersama kita dan melalui kefanaan dunia ini bersama – sama, mungkin benar kalau kita harus perjuangkan seseorang yang kita inginkan untuk menjalani kehidupan bersama.

Jadi, gimana?
Gak gimana – gimana.
Ternyata usia semakin bertambah, pilihan semakin banyak. Maka pusinglah kita. Hahahaha
Ga jelas kan? Lah wong ga jelas juga adalah pilihan. 


Pukul 06.25  

Minggu, 24 Mei 2015

Peredam Amarah

Pada saat marah, seringkali pikiran buruk menguasai kepala. Refleks yang ingin  kita lakukan adalah mencaci maki, menghujat, bahkan menyakiti orang lain di sekitar kita. Semua itu untuk melampiaskan kemarahan.

Tapi, cobalah melampiaskan kemarahan ke dalam bentuk sebuah doa. Doa yang baik, doa yang tulus, untuk hal – hal yang membuat kita marah. Sulit? Relatif sih sebenernya.

Saya mau sharing tentang pengalaman saya saat kemarin melalui perjalanan yang melelahkan dari Padalarang ke Jatinangor. Jadi, hari Jumat kemarin, 22 Mei 2015, saya dan Ima berangkat ke Padalarang, berniat berkunjung ke Tebing Citatah untuk booking jalur pemanjatan buat minggu ini. Nah, saya hari itu tidak sarapan, dan karena terburu-buru, akhirnya melewatkan makan siang juga.

Perjalanan ke Padalarang kami lalui menggunakan kereta api, dan tiba di Tebing Citatah sekitar pukul setengah 4 sore. Karena mengejar kereta api maghrib, kami melewatkan makan lagi dan langsung melakukan pendaftaran di Markas Pengelola tebingnya. Setelah itu kami melakukan survey jalur dan saya tergiur untuk naik ke atas tebing lewat jalur belakang.

Karena Ima setuju, maka kami pun naik ke atas tebing. Jalurnya cukup curam, dan di beberapa bagian, kita sedikit memanjat batu-batu di sepanjang jalur. Kami berdua berada di atas tidak terlalu lama karena Ima belum solat Ashar. Akhirnya kami turun lagi dan tiba di bawah sekitar pukul 5 kurang. Karena turun dari tebingnya cukup ngebut, energi saya cukup terkuras. Perut saya sakit karena belum makan dari pagi.

Ternyata di sekitar tebing tidak ditemukan mesjid, kami langsung berangkat ke stasiun untuk memesan tiket, dan saya menyarankan agar Ima solat di mushola stasiun.
Pada pukul 17.30 kami tiba di stasiun. Ima langsung mencari mushola, dan saya memesan tiket. Berdasarkan jadwal yang saya pegang, kami memesan kereta yang berangkat pukul 18.18. Tapi menurut petugasnya, ternyata kereta akan berangkat pukul 17.45, dan kereta selanjutnya akan berangkat pukul 19.30. Saya ga sanggup membayangkan kita nungguin kereta ampe jam 19.30 karena nanti ketika tiba di Nangor, tidak ada yang bisa menjemput kami dari stasiun. Jadi, kami tidak mau terlalu malam tiba di Stasiun Rancaekek. Akhirnya saya memesan dua tiket kereta yang berangkat 15 menit lagi, dan seketika langsung berlari mengejar Ima yang mencari Mushola di luar stasiun. Ternyata mushola nya ditutup dan Ima panik karena belum solat Ashar. Saya menyuruh dia solat di dalam kereta, dan kami berlarian lagi untuk masuk ke kereta.

Untung di dalam kereta kosong sehingga kami memilih tempat duduk dengan bebas. Ima langsung solat setelah berwudhu dengan tayamum (saking paniknya karena telat solat, dia ga sadar kalau di kereta ada toilet). Beberapa menit kemudian, kereta berangkat dan saya tidak bisa tidur karena terlalu lelah. Perut juga rasanya sudah mati rasa.

Tiba di stasiun Rancaekek sekitar pukul 7 malam. Saya ngajak Ima makan dulu di tempat deket stasiun. Tapi Ima lebih suka makan di Jatinangor. Saya menurut dan kami naik angkot Gede bage, lalu turun di Cileunyi. Selanjutnya, kami naik angkot Sumedang – Cileunyi untuk mencapai Jatinangor. Angkot yang kami naiki ini, merupakan angkot di barisan paling depan dari sederetan angkot – angkot yang sedang ngetem di depan Rumah Sakit AMC Cileunyi. Begitu saya dan Ima naik Angkot, ternyata kami berdua adalah dua penumpang pertama angkot itu. Sial. Ngetemnya pasti lama banget. Dan kepala saya sakit karena terlalu lapar mungkin? Hahaha.

Dan benar. Setengah jam kemudian, angkot belum beranjak juga. Kursi yang kosong tinggal untuk 2-3 orang lagi, tapi angkot juga belum berangkat. Ima sudah uring-uringan sejak belasan menit yang lalu. Kami berdua saat itu sedang lelah, lapar, dan kesal. Semua itu memicu marah, dan dalam pikiran saya, terancang puluhan kata kasar yang hendak saya luncurkan dari mulut saya untuk supir angkot ini. Saya ga ngerti, jalanan udah kosong, dan penumpang mana lagi yang dia tunggu ?

Tapi saya coba menahan diri, agar kata-kata gila itu tidak keluar bahkan dalam hati saya sekalipun. Saya beristighfar mencoba menahan marah. Mengeluarkan pikiran – pikiran baik bahwa supir ini sedang mencari nafkah untuk keluarganya. Namun, ketika beberapa saat kemudian, terdengar caci maki si supir yang ekstra kasar karena kesal pada para Calo yang gabut padahal sudah dibayar, darah saya bergejolak nampaknya terpengaruh oleh aura buruk dari si supir.

Ya Tuhan, jangan biarkan hamba meledak. Akhirnya, saya coba berdoa. Mendoakan si Supir, yang baik – baik. Sambil memejamkan mata, mencoba ikhlas. Ajaibnya, setelah berdoa, saya merasa lebih tenang.

Tidak lama kemudian setelah saya berdoa, 3 orang muncul dari gerbang rumah sakit dan langsung naik angkot yang kami naiki. Karena angkot sudah penuh, maka si Supir pun tancap gas.

Saya takjub. Seketika memuji-muji Allah dalam hati. Tidak mungkin kebetulan. Mungkin berkah doa dari seseorang yang marah. Cuma mau sharing aja, kalau marah itu bisa diredam dengan istighfar dan doa. Karena doa itu bagai embun penyelamat saat berada di padang pasir. Bagai penghangat kala hujan badai. Doa selalu dikabulkan oleh Allah. Masalah dikabulkannya kapan, itu urusan-Nya. Tetaplah berdoa saja. Karena doa, dapat menenangkan hati.  

Kamis, 21 Mei 2015

Segenap Doa #2

................
Sekarang atau esok lusa
Kini atau selamanya
Engkau boleh berbuat sesuka
Tapi biarkan cinta menjadi segala

Secarik kertas penuh takdir meretas
Seusai aku, ada mereka di hatimu
Selaksa suka, semakna duka, segala angkara
Seluruh sukma, seuntai cinta, serangkai pelita
Sekepal karunia, segenggam percaya
Sediam aku, aku, aku
Sejaya engkau, engkau di hatiku

Remang malam tiada bintang
Aku berdiri satu kali
Berdoa berkali – kali
Menjadi bagian pada dirimu
Adalah inginku di semesta usia


Untuk engkau yang lahir tanggal 21 Agustus 2001