Minggu, 24 Mei 2015

Peredam Amarah

Pada saat marah, seringkali pikiran buruk menguasai kepala. Refleks yang ingin  kita lakukan adalah mencaci maki, menghujat, bahkan menyakiti orang lain di sekitar kita. Semua itu untuk melampiaskan kemarahan.

Tapi, cobalah melampiaskan kemarahan ke dalam bentuk sebuah doa. Doa yang baik, doa yang tulus, untuk hal – hal yang membuat kita marah. Sulit? Relatif sih sebenernya.

Saya mau sharing tentang pengalaman saya saat kemarin melalui perjalanan yang melelahkan dari Padalarang ke Jatinangor. Jadi, hari Jumat kemarin, 22 Mei 2015, saya dan Ima berangkat ke Padalarang, berniat berkunjung ke Tebing Citatah untuk booking jalur pemanjatan buat minggu ini. Nah, saya hari itu tidak sarapan, dan karena terburu-buru, akhirnya melewatkan makan siang juga.

Perjalanan ke Padalarang kami lalui menggunakan kereta api, dan tiba di Tebing Citatah sekitar pukul setengah 4 sore. Karena mengejar kereta api maghrib, kami melewatkan makan lagi dan langsung melakukan pendaftaran di Markas Pengelola tebingnya. Setelah itu kami melakukan survey jalur dan saya tergiur untuk naik ke atas tebing lewat jalur belakang.

Karena Ima setuju, maka kami pun naik ke atas tebing. Jalurnya cukup curam, dan di beberapa bagian, kita sedikit memanjat batu-batu di sepanjang jalur. Kami berdua berada di atas tidak terlalu lama karena Ima belum solat Ashar. Akhirnya kami turun lagi dan tiba di bawah sekitar pukul 5 kurang. Karena turun dari tebingnya cukup ngebut, energi saya cukup terkuras. Perut saya sakit karena belum makan dari pagi.

Ternyata di sekitar tebing tidak ditemukan mesjid, kami langsung berangkat ke stasiun untuk memesan tiket, dan saya menyarankan agar Ima solat di mushola stasiun.
Pada pukul 17.30 kami tiba di stasiun. Ima langsung mencari mushola, dan saya memesan tiket. Berdasarkan jadwal yang saya pegang, kami memesan kereta yang berangkat pukul 18.18. Tapi menurut petugasnya, ternyata kereta akan berangkat pukul 17.45, dan kereta selanjutnya akan berangkat pukul 19.30. Saya ga sanggup membayangkan kita nungguin kereta ampe jam 19.30 karena nanti ketika tiba di Nangor, tidak ada yang bisa menjemput kami dari stasiun. Jadi, kami tidak mau terlalu malam tiba di Stasiun Rancaekek. Akhirnya saya memesan dua tiket kereta yang berangkat 15 menit lagi, dan seketika langsung berlari mengejar Ima yang mencari Mushola di luar stasiun. Ternyata mushola nya ditutup dan Ima panik karena belum solat Ashar. Saya menyuruh dia solat di dalam kereta, dan kami berlarian lagi untuk masuk ke kereta.

Untung di dalam kereta kosong sehingga kami memilih tempat duduk dengan bebas. Ima langsung solat setelah berwudhu dengan tayamum (saking paniknya karena telat solat, dia ga sadar kalau di kereta ada toilet). Beberapa menit kemudian, kereta berangkat dan saya tidak bisa tidur karena terlalu lelah. Perut juga rasanya sudah mati rasa.

Tiba di stasiun Rancaekek sekitar pukul 7 malam. Saya ngajak Ima makan dulu di tempat deket stasiun. Tapi Ima lebih suka makan di Jatinangor. Saya menurut dan kami naik angkot Gede bage, lalu turun di Cileunyi. Selanjutnya, kami naik angkot Sumedang – Cileunyi untuk mencapai Jatinangor. Angkot yang kami naiki ini, merupakan angkot di barisan paling depan dari sederetan angkot – angkot yang sedang ngetem di depan Rumah Sakit AMC Cileunyi. Begitu saya dan Ima naik Angkot, ternyata kami berdua adalah dua penumpang pertama angkot itu. Sial. Ngetemnya pasti lama banget. Dan kepala saya sakit karena terlalu lapar mungkin? Hahaha.

Dan benar. Setengah jam kemudian, angkot belum beranjak juga. Kursi yang kosong tinggal untuk 2-3 orang lagi, tapi angkot juga belum berangkat. Ima sudah uring-uringan sejak belasan menit yang lalu. Kami berdua saat itu sedang lelah, lapar, dan kesal. Semua itu memicu marah, dan dalam pikiran saya, terancang puluhan kata kasar yang hendak saya luncurkan dari mulut saya untuk supir angkot ini. Saya ga ngerti, jalanan udah kosong, dan penumpang mana lagi yang dia tunggu ?

Tapi saya coba menahan diri, agar kata-kata gila itu tidak keluar bahkan dalam hati saya sekalipun. Saya beristighfar mencoba menahan marah. Mengeluarkan pikiran – pikiran baik bahwa supir ini sedang mencari nafkah untuk keluarganya. Namun, ketika beberapa saat kemudian, terdengar caci maki si supir yang ekstra kasar karena kesal pada para Calo yang gabut padahal sudah dibayar, darah saya bergejolak nampaknya terpengaruh oleh aura buruk dari si supir.

Ya Tuhan, jangan biarkan hamba meledak. Akhirnya, saya coba berdoa. Mendoakan si Supir, yang baik – baik. Sambil memejamkan mata, mencoba ikhlas. Ajaibnya, setelah berdoa, saya merasa lebih tenang.

Tidak lama kemudian setelah saya berdoa, 3 orang muncul dari gerbang rumah sakit dan langsung naik angkot yang kami naiki. Karena angkot sudah penuh, maka si Supir pun tancap gas.

Saya takjub. Seketika memuji-muji Allah dalam hati. Tidak mungkin kebetulan. Mungkin berkah doa dari seseorang yang marah. Cuma mau sharing aja, kalau marah itu bisa diredam dengan istighfar dan doa. Karena doa itu bagai embun penyelamat saat berada di padang pasir. Bagai penghangat kala hujan badai. Doa selalu dikabulkan oleh Allah. Masalah dikabulkannya kapan, itu urusan-Nya. Tetaplah berdoa saja. Karena doa, dapat menenangkan hati.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar