Selasa, 05 Mei 2015

Lagi Eling

Setelah saya pikir – pikir, ternyata sebenarnya saya tidak terlalu sibuk loh. Setelah dihitung-hitung, saya masih nyaris bisa memenuhi setiap sks kuliah yang saya ambil. (1 sks = 1 jam di kelas masih bisa lah, 1 jam mengerjakan tugas di rumah masih okelah, 1 jam belajar sendiri hmmm ya sepertinya perlu banyak toleransi. Hahaha)
Dan dengan saya mengurus Caldera dan PKM Kewirausahaan dari Dikti, ternyata saya masih bisa tidur cukup 5 jam tiap hari, dan masih ada waktu luang untuk menekuni hobi saya seperti SB (sleeping bingit) *loh?* dan menulis atau menggambar.

Lalu, kemarin-kemarin apa yang selalu menghabiskan waktu saya? Yang menyebabkan kekacauan dalam setiap aspek hidup saya (terutama dalam urusan bikin laporan praktikum – you know what I mean), kuliah, Caldera, PKM, bahkan orangtua? Aaaaa…. Actually, that’s f*cking euphoria of new smartphone!

Efek punya mainan baru, tiba – tiba dunia saya menjadi teralihkan. Jagad raya yang maha luas ini, jadi serasa hampa dibandingkan dengan hiruk pikuk dunia yang dengan mudahnya terpantau dalam genggaman tangan.  

22.02
“Dil, kerjain laporan.” Kata temen.
“Bentar ya, IG-an dulu.”
22.45
“Dil, kerjain laporan”
“Mau cek path dulu bentaaar”
23.39
“Dil… (udah males)”
“Ini lagi asik chat line” terus asik sendiri “anjir lah, gue di mention banget nih?” -_-
01.10
“Gua ngantuk, bangunin jam 3 ya.” kata si saya
Bablas time – 05.57
“Si kampret kagak bangunin. Yaudah ah, mau liat Wasap dulu.” Padahal praktikum 4 jam lagi.

Gila! Emang gila. Saya akui, kemarin2 itu saya terlalu berlebihan. Semoga Tuhan mengampuni saya yang dzalim terhadap waktu, dan ironisnya saya sangat pelit untuk menyediakan waktu mengaji. Hiks. Bener kata Einstein, “Akan datang masa dimana teknologi akan melampaui interaksi manusia. Akan muncul generasi yang idiot.”

Iya saya ngaku saya ngerasa idiot.  
Sekarang? Ga guna menyesali waktu yang telah terbuang percuma. Saya berusaha bangkit, menggunakan smartphone seperlunya, sebermanfaatnya. Ya mungkin karena udah mulai bosen juga dengan medsos semacam itu. Baguslah, biar proses moving forward nya lebih cepat. J

Malu lah.
Jadi, nonsense dong hasil penempaan organisasi selama bertahun – tahun mengenai manajemen waktu mahasiswa, kalau akhirnya KO oleh gemerlap dunia media sosial? Wkwkwkw.  

Oke, itu hanya intermezzo. Hahaha. Ambil pesan moralnya, abaikan alay amoralnya hahaha.  

Dan karena saya baru sadar kalau ternyata saya masih punya waktu luang, saya mencoba merenung. Memikirkan banyak hal, terutama mengenai Mamah saya.
Kemarin – kemarin, sebenarnya dari dulu – dulu sih, saya memang cukup sulit dihubungi melalui telepon. Hmm, bahasan kali ini merujuk ke Mamah sih. Jadi, beliau kalo nelpon saya, kasarnya baru di panggilan ke 7 saya baru angkat telepon saking susanya saya pegang hape. Soalnya, kalo hape nya ga di silent, ya saya asik ama laptop sendiri, asik ama pikiran sendiri. Hahahaha
Dampaknya? Mamah meneror (neror banget nih bahasanya?) teman – teman saya dengan menelpon mereka satu – satu buat nanyain keberadaan jasad saya dimana, apakah saya kuliah hari ini, apakah saya ada di sekre, atau di kosan, apakah saya sudah makan, dan lain – lain.

Dan kejadian itu cukup sering juga, dosisnya bisa lah 3 hari sekali. Jadinya saya sering kena protes dobel. Dari Mamah yang marah – marah karena saya jarang pegang telepon, dan dari teman – teman saya yang kesel sama saya karena saya super susah dihubungi orang tua (jadinya mereka yang sering kena semprot) hehehe mamaaah, peace eaa..
Saya awalnya berpikir skeptis.
Ih, mamah. Lebay amat.
Bete deh jadinya kena marah dari mana-mana.
Ga ngerti apa saya sibuk. (padahal seperti kata prolog diatas, saya tidak terlalu sibuk!)

Dan ketika adik saya ikut ngomelin saya juga, saya makin kesel. Seakan saya ini anak yang sangat tidak berbakti. Saya makin males ngangkat telepon dari Mamah (karena sebagian besar isinya nyeramahin saya yang susah dihubungi). Makin males balik ke rumah. Dan beneran jadi makin durhaka kayaknya. Naudzubillah. L

Dan itu udah berlangsung selama hampir satu tahun belakangan ini.
Udah 21 tahun saya hidup, dan baru berpisah atap selama hampir tiga tahun (ya karena kuliah maksudnya) dengan Mamah. Saya selalu tahu kalau Mamah berjuang membiayai saya kuliah. Saya berasumsi kalau Mamah adalah investor hidup saya, membiayai seluruh hidup saya (sejak Papah meninggal), menginvestasikan uangnya untuk menghasilkan saya yang berkualitas sehingga saya bisa membahagiakan beliau di masa depan. Brengsek ga sih saya? Dua tahun lebih saya membuat frame semacam itu pada Mamah saya. Pantas saja, saya selalu biasa saja bila beliau nelpon, biasa saja kalau pulang ke rumah, kadang malah tidak betah di rumah dan ingin secepatnya berada di Nangor lagi, dan jika tiba di hari ulang tahun beliau, malah timbul pikiran “Hmm, udah kepala empat mah ga perlu ucapan selamat lagi kali yaa… ” kemudian, yasudahlah.
Kadang merasa berdosa ketika tidak pulang – pulang, tapi perasaan itu segera terkubur oleh kehadiran adik saya yang selalu pulang tiap minggu ke rumah.  
Kadang merasa bersalah ketika Mamah begitu sulit menghubungi saya, tapi perasaan itu segera teralihkan oleh percik – percik kampret yang bergemuruh ‘yaudah lah maklum kan ya saya sibuk’ – sibuk sialan.
Kemudian tiga hari yang lalu, ketika menemukan waktu – waktu tenang tanpa smartphone, saya membayangkan kondisi dimana saya yang menjadi seorang ibu. Mencoba berdiri dari sudut pandang Mamah.

Aku adalah single parent yang berjuang sendirian, yang kesepian, yang tidak akan menikah lagi demi anak – anak saya yang berharga meski sebesar apapun aku menginginkannya.
Aku menantikan anakku pulang setiap minggu tapi ia sibuk di tanah padjadjaran.
Aku kebingungan, kehabisan akal bagaimana cara agar dapat mendengar suara anakku walaupun hanya melalui telepon, Aku kalap begitu ingin mengetahui kabarnya. Peduli amat harus menghubungi teman-temannya juga, mungkin akan malu karena aku akan mengganggu mereka, tapi aku harus tau dimana anakku berada.  
Aku rindu anakku. Biarlah tiap pulang ia selalu menyanyi keras-keras, tapi aku merindukannya.
Anakku, balas sms mamah…
Kumohon, jangan naik gunung lagi. Aku begitu khawatirnya sampai jantung ini seakan tak kuat untuk berdetak lagi.
Jadilah kuat, tetaplah semangat. Dan aku ingin menjadi bagian yang selalu kau ingat, nak.

Sumpah. Saya nangis. Ga kuat. Seakan saya ga sanggup menghadapi kenyataan kalau di masa depan, anak saya akan seperti itu. Ah, Mamah. Betapa saya banyak dosa pada Mamah. Sesak dada saya, seakan ada badai membuncah memaksa saya untuk pulang saat itu juga. Saya baru pertama kali memandang ibu saya bukan sebagai investor (selama saya kuliah), tapi benar – benar sebagai ibu. Dan, saya rindu sekali padanya. Maafkan saya Mah.. Tolong maafkan.. Saya sadar, saya benar – benar mencintai Mamah.

Dan ketika saya mengimplementasikan perasaan saya dengan mengirimi Mamah sms tiap pagi, ah betapa leganya hati ini entah kenapa. Bahagia juga, dan dada sesak oleh semangat bergelora untuk menjadi lebih baik lagi untuk Tuhan dan orang tua, dan juga diri sendiri.
Teringat pesan seorang Profesor ITB yang juga Ketua MUI Kota Bandung, “Untuk bahagia, cintailah orang tuamu. Untuk menjadi orang sukses, berbaktilah pada orangtuamu. Dosa – dosa lain bisa diberikan hukumannya di akhirat nanti. Tapi dosa pada orang tua tidak akan menunggu akhirat, akan dibalas langsung oleh Tuhan di dunia ini. Berupa apa?
Kenelangsaan.”


Semoga kita menjadi anak yang berbakti dan mencintai orang tua kita. J

Tidak ada komentar:

Posting Komentar