Buat yang belum baca bagian pertama-nya, bisa dibaca di
Saat kami tiba, di Pengalap sudah ramai oleh PA-PA lain yang mendirikan tenda. Kira-kira ada 3 buah tenda yang sudah didirikan. Kami awalnya mau mengisi salah satu area kosong di lahan luas itu. Tapi Kang Antono nyuruh kita pindah ke lahan sebelah yang ternyata lebih luas dan masih kosong. Maka dengan sukacita kami pindah ke lahan sebelah dan segera bagi job desk. Aku sendiri kebagian masak. Nah disini kembali keliatan kinerja persiapan logistik kita yang amburadul. Aku terus-menerus nanyain logistik ke anak-anak karena kurang tahu keberadaan benda-benda tesebut.
OUTDOOR GEAR #Part 1 :D
Saat kami tiba, di Pengalap sudah ramai oleh PA-PA lain yang mendirikan tenda. Kira-kira ada 3 buah tenda yang sudah didirikan. Kami awalnya mau mengisi salah satu area kosong di lahan luas itu. Tapi Kang Antono nyuruh kita pindah ke lahan sebelah yang ternyata lebih luas dan masih kosong. Maka dengan sukacita kami pindah ke lahan sebelah dan segera bagi job desk. Aku sendiri kebagian masak. Nah disini kembali keliatan kinerja persiapan logistik kita yang amburadul. Aku terus-menerus nanyain logistik ke anak-anak karena kurang tahu keberadaan benda-benda tesebut.
“Wortel
dimana woy?” “Di tas Anton”
“Panci
dimana?” “Di tas Arli”
“Hei
ada yang tahu dimana bumbu sop ?” “Di tas kamu dil” “Oh iya? Kok aku lupa ya?”
“zzzz”
“Pisau
pisau ?” “Di tas aku dil”
Aksi
tanya-jawab yang berlangsung intens ini bikin aku gereget buat nanya,
“Hei
aku dimana?”
Kali
aja ada yang jawab, “Di hatiku”
Tapi
ga jadi ah, hehehehe.
Jadi
koki di tengah hutan ? It’s simply hard.
Di rumah aja aku jarang masak, lah ini aku harus masak untuk enam orang cowok
yang porsi makannya nggak lazim. Sempet depresi juga. Mau curhat ke wortel juga
ga mungkin. Untung kang Swach inisiatif bantuin aku masak. Malah dia jadi
sejenis ‘cooking guide’ gitu.
“Dil,
ini nasinya kurang air.” He said.
“Dil,
kalau masak sop tuh jangan langsung semuanya dimasukin. Apa dulu coba?” He
asked.
“Hehe,
menurut akang mending apa dulu?” I JOKED.
“….”
He downed. Hehehe
Sebagai
wanita, aku merasa tertohok LAGI oleh kang Swach ini. Kok dia lebih apik dari
aku ya? Gara-gara punya pacar kali ya? Makanya dil.. itu cowo yang ngantre
jangan diabaikan. Iya ngantre minta nabok. *hahaha miris*
Kang
Antono sama Arli duet bikin api. Kayu-kayunya basah karena hujan sore tadi.
Duet anggota muda dan anggota penuh ini menghasilkan api yang labil.
Mati-hidup-mati-hidup. Berarti Arli harus jadi anggota penuh, kali aja apinya
jadi makin labil *loh*. Rivo lagi beres-beres tenda, Hafizh dan Anton lagi
nyerut kayu. Aku masak nasi, telor orak-arik dan sop sayur buanyak banget. Aku
udah janji ke Anton mau bikinin makan enak. Dan aku emang bikinin sop yang enak
banget, meskipun persentase enaknya 50.1 % dipegang kang Swach lah yaa..
hehehee
Pas
persiapan camp craft ini, kita kedatangan tamu. PA dari UPI yang baru Attack from the Summit (istilah apa pula
ini). Mereka singgah di camp kita sekitar Maghrib dan berniat langsung turun
malam itu juga. Gila, keren banget.
Batinku. Kayak ga ada capeknya gitu. Meskipun kita kasih mereka suguhan
seadanya, Alhamdulillah mereka menikmati sekali nampaknya. J
Selesai
semuanya. Makan udah. Api jadi. Dan tenda tinggal dimasuki. Eh DP ngajak curhat.
“Logistik
kalian gimana? Masih cukup sampai Senin?” selidik kang Antono. Sejenak hening.
Suara binatang malam mulai mewarnai suasana hutan. Angin dingin menusuk
tulang. Kami terhanyut oleh pikiran
masing-masing.
“Saya
mau jujur kang.” Arli memulai. Semua tegang menunggu apa yang akan Arli
katakan.
“Sebenarnya
saya ini penyanyi dangdut.”
GUBRAK.
Oke ini bercanda.
“Sebenarnya
kita ada miss. Saya bikin susunan
konsumsi untuk 3 hari sedangkan logistik konsumsi yang kita bawa untuk 2 hari.
Saya kira disamain aja dengan Tim Slamet yang hanya dua hari.” Kata Arli pelan
dengan tatapan nanar memandangi api yang berkobar.
*krik
krik* hening menyelimuti. Aku mendesah pelan. Tuhan lindungilah kami.
“Kalau
kita summit hari senin, jam berapa berangkat dari camp terakhir?” Tanya kang
Swach.
“Kurang
lebih jam 4 atau 5 kang.” kata Hafizh.
“Gimana
kalau kita summit besok? Kalau mau dapat sunrise, kita berangkat jam 1.”
*krik
krik* hening makin menyelimuti.
“Tapi
Anton lagi gak fit kang,”
“Yaudah
sekarang Anton istirahat aja dan besok bangun paling terakhir. Biar kita aja
yang siapin logistik.”
Hmm,
kita di ketinggian 1625 mdpl dan puncak 3078 mdpl. Berarti kurang lebih kita
harus mendaki 1400 mdpl. Ahahahahahikshikshiks *bengek langsung*
Tapi
karena pertimbangan logistik, akhirnya kita bulatkan tekad bahwa kita summit attack besok jam 1. Aku merasa senang bisa summit besok dengan harapan akan bertemu dengan Tim Slamet di puncak. Sebelum
persiapan tidur, aku bikin agar-agar dulu buat jadi bekal ke puncak. Setelah beres-beres,
kita semua pergi tidur. Semoga besok bisa tepat waktu dan memperoleh sunrise di
puncak Ciremai.
***
“Dil
bangun..” seseorang berambut keriting dengan sarung di bahunya membangunkan
aku. Aku langsung terjaga untuk antisipasi bahwa itu orang jahat. Oh. Ternyata
Arli. Hehe.
Takjub
juga, Arli yang pas di kampus biasanya susaaaaaaah banget disuruh bangun, ini
di hutan kenapa jadi yang paling pagi bangunnya ? Entahlah, hanya Tuhan yang
tahu.
Aku
langsung masak mie instan buat sarapan. Dua bungkus mie dimasak untuk 7 orang,
sebagai energi untuk mendaki puncak yang masih 1400-an lagi. *kuat kuat kamu
kuat*. Camp PA lain sepi banget. Belum pada bangun kayaknya karena di camp kita
doang yang terdengar grasak-grusuk.
Setelah
semuanya bangun dan ganti baju tempur, kita membentuk jongkok melingkar untuk
sarapan bersama-sama. Enak banget indomie rendang di pagi yang dingin itu,
meskipun tidak mengenyangkan. Hahaha.
Ketika
akan berangkat, tiba-tiba terdengar suara binatang yang melenguh – seperti babi
hutan. Kami semua terpaku.
“Danlapnya
pegang golok!” kata kang Swach. Aku semakin khawatir mendengar komando itu. Apa
yang akan kita hadapi di depan sana? Aku mengkhawatirkan itu ‘si cantik’.
Astaghfirullah.
Maka
setelah berdoa memohon keselamatan, kita memulai perjalanan ke puncak. Kita
ngaret lagi dan jadinya berangkat jam setengah tiga pagi. Aku bawa head carrier
yang isinya obat-obatan dan sedikit makanan ringan. Kita juga bawa dua carrier
yang dibawa secara bergantian. Aku bawa senter dengan kekuatan lumayan namun
dengan jeniusnya aku ga bawa batre cadangan. Berhubung senternya baru dipake,
aku masih tenang-tenang aja karena sinarnya masih cukup kuat.
Langit
pagi ini terang benderang dengan taburan bintang-bintang yang luar biasa
banyak. Aku membayangkan bahwa nanti di puncak kita akan mendapatkan cuaca yang
bagus sekali. Maka dari itu aku semangat sekali berjalan. Anton masih kurang
fit ternyata. Tapi karena saat itu gelap dan jika kita berjarak cukup jauh dari
danlap maka akan cukup mengerikan juga, Anton nampak berusaha untuk menjaga
jaraknya dengan Arli. Aku terus menerus menanyakan waktu pada Rivo. Bener-bener
takut untuk ketinggalan sunrise. Namun ketika langit perlahan-lahan membiru,
aku gigit jari. Itu sekitar pukul lima lebih.
Di ketinggian ±2300 mdpl, aku
melihat cakrawala yang mulai menguning. Sang surya akan segera bangkit dari
peraduannya, dan kita tak mungkin mendapatkannya di puncak Ciremai. Sialnya,
kita masih di hutan dengan vegetasi yang masih amat lebat sehingga untuk
menyaksikan sunrise dari ketinggian kita saat itu pun sulit sekali. Dalam hati
aku ingin menjerit. Berharap Tuhan menahan pergerakan jarum jam, berharap aku
bisa terbang, berharap bahwa koordinat di GPS menyatakan bahwa sebenarnya kita
sudah di ketinggian 3000 mdpl. Tapi gak mungkin, dan Anton juga masih kurang
fit. Ya sudahlah. Aku menahan perasaan yang bergolak ini. Jangan egois, jangan
egois.
Akhirnya
aku pasrah dan terus berjalan. Kita solat shubuh di ketinggian 2400 mdpl. Itu
sekitar pukul setengah enam pagi. Langit sudah cukup terang.
Saking
tidak proporsionalnya area ini untuk dijadikan tempat solat, kang Antono nyaris
terguling pada saat duduk takhiyat akhir. Dan aku malah menertawainya. Hahaha.
Astaghfirullah.
Kita
melanjutkan perjalanan. DP menyalib kita dan mereka melesat jauh kedepan. Arli
ingin aku merasakan apa yang dari tadi anak cowok rasakan, yaitu bawa carier
yang – ugh – berisi nesting isi agar-agar dan kompan. Oke aku coba dan ternyata
– Aih. Berat banget dibandingkan head carrier yang isinya ecek-ecek. Hahaha
Dan
aku bawa carier di medan yang permukaannya batu semua. Ini menuju Pos Sangga
Buana 2. Menyesali kenapa aku ga bawa carier ini pas di awal perjalanan aja,
disaat medannya masih aman. Oke jangan menyerah!
Aku
mensugesti pikiranku bahwa puncak sebentar lagi. Maka dengan semangat ingin
melihat sun-hot di puncak, aku melompati semua batu-batu yang menghadang –
hehehe – dengan susah payah. Karena fokus penuh pada pijakan kaki dan terus
melangkah, tahu-tahu aku udah jauh ninggalin mereka dan bahkan ketemu DP yang
lagi istirahat. Akhirnya aku istirahat juga. Menuju pos terakhir, Pengasinan
(±2700 mdpl), aku jadi danlap *wahahaha* bener-bener kebelet pengen makan
karena kita Cuma bisa makan kalau udah nyampe puncak. This is the power of hungry.
Entah
di ketinggian berapa, aku sempet ambil view langit berawan yang luar biasa.
Dan
saat tiba di Pos Pengasinan, disana ada PA yang lagi camp dan kayaknya baru
balik muncak. Disini ambisi kita untuk makan di puncak goyah, dan akhinya
membuka cemilan biskuit coklat dari kang Antono.
Pos
Pengasinan
Baru
pada ‘buka puasa’ dengan biskuit sedekah dari kang Antono
Puncak
Ciremai dari Pengasinan
Matahari
udah mulai hot. Tapi yang ke puncak malah makin rame. Kita melanjutkan
perjalanan sekitar pukul setengah sepuluh. Aku udah galau aja karena di atas
jam 9 biasanya dari gunung berapi akan muncul gas belerang yang beracun. Tapi
lihat yang lain masih semangat untuk melanjutkan perjalanan, ya sudah kita
lanjuuuut..
Padang
edelweiss di perjalanan ke puncak
Anton
yang lagi galau dan berkunang-kunang
Medan
ke puncak Ciremai
Setelah
lama bertarung dengan kemiringan medan, akhirnya! Kita nyampe di puncak
Ciremai! Dengan berbinar-binar aku bersyukur bahwa aku berhasil sampai puncak
dengan selamat. Allahu Akbar! Indah banget dari atas sini. Namun karena kita terlalu siang tiba di puncak, maka yang kita dapatkan adalah matahari yang serasa di ubun-ubun dan diterpa angin yang bersuhu rendah. Suhu ekstrim braaay. Pemandangan paling umum adalah samudra awan cumulus yang keren banget. :)
Setelah
istirahat sebentar kita langsung makan bareng agar-agar yang luar biasanya
masih tetap dingin. Agar-agarnya aku siram pake susu kental manis. Demi apapun,
makan agar-agar rasa jambu yang dingin dengan saus susu kental manis yang
lembut di atas puncak setelah mendaki dari pukul setengah tiga pagi itu
bener-bener AMAT SANGAT SESUATU BANGET! Luar biasa nikmat. :D. menu selanjutnya
adalah dua bungkus mie instan yang diremuk terus dimakan bareng-bareng.
Wahahaha
Selanjutnya,
bisa ditebak dong? Foto-foto….
Kawah
Ciremai
Kami berharap bertemu dengan Tim Slamet disini karena di tekdet, mereka muncak pagi ini. Maka aku teriakin nama Bima, Faris dan Lisa. Banyak yang menyahut tapi itu ternyata PA lain. (Setelah kembali ke Jatinangor, baru tahu ternyata Tim Slamet ngaret sehari karena mau muncak bareng-bareng sama kita. -_-)
Aku
juga melakukan sesuatu untuk ibuku disini. Karena beliau ulang tahun di tanggal 28
Juni kemarin, maka aku sekalian ucapkan disini saja secara tertulis.
Dalam
juang aku bertingkah
Pola
hidup yang tak kau mau
Aku
bukan dalam pikiranmu Ibu
Karena
aku ingin lebih dari apa yang kau pikirkan
Wahai bunda permata hatiku
Selalu dalam doa-doamu
adalah pintaku seumur hidup
Tidak ada komentar:
Posting Komentar