Selasa, 30 Juli 2013

OUTDOOR GEAR #Part 2



Buat yang belum baca bagian pertama-nya, bisa dibaca di

OUTDOOR GEAR #Part 1 :D


Saat kami tiba, di Pengalap sudah ramai oleh PA-PA lain yang mendirikan tenda. Kira-kira ada 3 buah tenda yang sudah didirikan. Kami awalnya mau mengisi salah satu area kosong di lahan luas itu. Tapi Kang Antono nyuruh kita pindah ke lahan sebelah yang ternyata lebih luas dan masih kosong. Maka dengan sukacita kami pindah ke lahan sebelah dan segera bagi job desk. Aku sendiri kebagian masak. Nah disini kembali keliatan kinerja persiapan logistik kita yang amburadul. Aku terus-menerus nanyain logistik ke anak-anak karena kurang tahu keberadaan benda-benda tesebut.

“Wortel dimana woy?” “Di tas Anton”
“Panci dimana?” “Di tas Arli”
“Hei ada yang tahu dimana bumbu sop ?” “Di tas kamu dil” “Oh iya? Kok aku lupa ya?” “zzzz”
“Pisau pisau ?” “Di tas aku dil”
Aksi tanya-jawab yang berlangsung intens ini bikin aku gereget buat nanya,
“Hei aku dimana?”
Kali aja ada yang jawab, “Di hatiku”
Tapi ga jadi ah, hehehehe.

Jadi koki di tengah hutan ? It’s simply hard. Di rumah aja aku jarang masak, lah ini aku harus masak untuk enam orang cowok yang porsi makannya nggak lazim. Sempet depresi juga. Mau curhat ke wortel juga ga mungkin. Untung kang Swach inisiatif bantuin aku masak. Malah dia jadi sejenis ‘cooking guide’ gitu.

“Dil, ini nasinya kurang air.” He said.
“Dil, kalau masak sop tuh jangan langsung semuanya dimasukin. Apa dulu coba?” He asked.
“Hehe, menurut akang mending apa dulu?” I JOKED.
“….” He downed. Hehehe

Sebagai wanita, aku merasa tertohok LAGI oleh kang Swach ini. Kok dia lebih apik dari aku ya? Gara-gara punya pacar kali ya? Makanya dil.. itu cowo yang ngantre jangan diabaikan. Iya ngantre minta nabok. *hahaha miris*

Kang Antono sama Arli duet bikin api. Kayu-kayunya basah karena hujan sore tadi. Duet anggota muda dan anggota penuh ini menghasilkan api yang labil. Mati-hidup-mati-hidup. Berarti Arli harus jadi anggota penuh, kali aja apinya jadi makin labil *loh*. Rivo lagi beres-beres tenda, Hafizh dan Anton lagi nyerut kayu. Aku masak nasi, telor orak-arik dan sop sayur buanyak banget. Aku udah janji ke Anton mau bikinin makan enak. Dan aku emang bikinin sop yang enak banget, meskipun persentase enaknya 50.1 % dipegang kang Swach lah yaa.. hehehee

Pas persiapan camp craft ini, kita kedatangan tamu. PA dari UPI yang baru Attack from the Summit (istilah apa pula ini). Mereka singgah di camp kita sekitar Maghrib dan berniat langsung turun malam itu juga. Gila, keren banget. Batinku. Kayak ga ada capeknya gitu. Meskipun kita kasih mereka suguhan seadanya, Alhamdulillah mereka menikmati sekali nampaknya. J

Selesai semuanya. Makan udah. Api jadi. Dan tenda tinggal dimasuki. Eh DP ngajak curhat.

“Logistik kalian gimana? Masih cukup sampai Senin?” selidik kang Antono. Sejenak hening. Suara binatang malam mulai mewarnai suasana hutan. Angin dingin menusuk tulang.  Kami terhanyut oleh pikiran masing-masing.
“Saya mau jujur kang.” Arli memulai. Semua tegang menunggu apa yang akan Arli katakan.
“Sebenarnya saya ini penyanyi dangdut.” 
GUBRAK. Oke ini bercanda.
“Sebenarnya kita ada miss. Saya bikin susunan konsumsi untuk 3 hari sedangkan logistik konsumsi yang kita bawa untuk 2 hari. Saya kira disamain aja dengan Tim Slamet yang hanya dua hari.” Kata Arli pelan dengan tatapan nanar memandangi api yang berkobar.
*krik krik* hening menyelimuti. Aku mendesah pelan. Tuhan lindungilah kami.
“Kalau kita summit hari senin, jam berapa berangkat dari camp terakhir?” Tanya kang Swach.
“Kurang lebih jam 4 atau 5 kang.” kata Hafizh.
“Gimana kalau kita summit besok? Kalau mau dapat sunrise, kita berangkat jam 1.”
*krik krik* hening makin menyelimuti.
“Tapi Anton lagi gak fit kang,”
“Yaudah sekarang Anton istirahat aja dan besok bangun paling terakhir. Biar kita aja yang siapin logistik.”

Hmm, kita di ketinggian 1625 mdpl dan puncak 3078 mdpl. Berarti kurang lebih kita harus mendaki 1400 mdpl. Ahahahahahikshikshiks *bengek langsung*
Tapi karena pertimbangan logistik, akhirnya kita bulatkan tekad bahwa kita summit attack besok jam 1. Aku merasa senang bisa summit besok dengan harapan akan bertemu dengan Tim Slamet di puncak. Sebelum persiapan tidur, aku bikin agar-agar dulu buat jadi bekal ke puncak. Setelah beres-beres, kita semua pergi tidur. Semoga besok bisa tepat waktu dan memperoleh sunrise di puncak Ciremai.
***
“Dil bangun..” seseorang berambut keriting dengan sarung di bahunya membangunkan aku. Aku langsung terjaga untuk antisipasi bahwa itu orang jahat. Oh. Ternyata Arli. Hehe.
Takjub juga, Arli yang pas di kampus biasanya susaaaaaaah banget disuruh bangun, ini di hutan kenapa jadi yang paling pagi bangunnya ? Entahlah, hanya Tuhan yang tahu.

Aku langsung masak mie instan buat sarapan. Dua bungkus mie dimasak untuk 7 orang, sebagai energi untuk mendaki puncak yang masih 1400-an lagi. *kuat kuat kamu kuat*. Camp PA lain sepi banget. Belum pada bangun kayaknya karena di camp kita doang yang terdengar grasak-grusuk.
Setelah semuanya bangun dan ganti baju tempur, kita membentuk jongkok melingkar untuk sarapan bersama-sama. Enak banget indomie rendang di pagi yang dingin itu, meskipun tidak mengenyangkan. Hahaha.
Ketika akan berangkat, tiba-tiba terdengar suara binatang yang melenguh – seperti babi hutan. Kami semua terpaku.

“Danlapnya pegang golok!” kata kang Swach. Aku semakin khawatir mendengar komando itu. Apa yang akan kita hadapi di depan sana? Aku mengkhawatirkan itu ‘si cantik’. Astaghfirullah.

Maka setelah berdoa memohon keselamatan, kita memulai perjalanan ke puncak. Kita ngaret lagi dan jadinya berangkat jam setengah tiga pagi. Aku bawa head carrier yang isinya obat-obatan dan sedikit makanan ringan. Kita juga bawa dua carrier yang dibawa secara bergantian. Aku bawa senter dengan kekuatan lumayan namun dengan jeniusnya aku ga bawa batre cadangan. Berhubung senternya baru dipake, aku masih tenang-tenang aja karena sinarnya masih cukup kuat.

Langit pagi ini terang benderang dengan taburan bintang-bintang yang luar biasa banyak. Aku membayangkan bahwa nanti di puncak kita akan mendapatkan cuaca yang bagus sekali. Maka dari itu aku semangat sekali berjalan. Anton masih kurang fit ternyata. Tapi karena saat itu gelap dan jika kita berjarak cukup jauh dari danlap maka akan cukup mengerikan juga, Anton nampak berusaha untuk menjaga jaraknya dengan Arli. Aku terus menerus menanyakan waktu pada Rivo. Bener-bener takut untuk ketinggalan sunrise. Namun ketika langit perlahan-lahan membiru, aku gigit jari. Itu sekitar pukul lima lebih. 

Di ketinggian ±2300 mdpl, aku melihat cakrawala yang mulai menguning. Sang surya akan segera bangkit dari peraduannya, dan kita tak mungkin mendapatkannya di puncak Ciremai. Sialnya, kita masih di hutan dengan vegetasi yang masih amat lebat sehingga untuk menyaksikan sunrise dari ketinggian kita saat itu pun sulit sekali. Dalam hati aku ingin menjerit. Berharap Tuhan menahan pergerakan jarum jam, berharap aku bisa terbang, berharap bahwa koordinat di GPS menyatakan bahwa sebenarnya kita sudah di ketinggian 3000 mdpl. Tapi gak mungkin, dan Anton juga masih kurang fit. Ya sudahlah. Aku menahan perasaan yang bergolak ini. Jangan egois, jangan egois. 
 Akhirnya aku pasrah dan terus berjalan. Kita solat shubuh di ketinggian 2400 mdpl. Itu sekitar pukul setengah enam pagi. Langit sudah cukup terang.
Saking tidak proporsionalnya area ini untuk dijadikan tempat solat, kang Antono nyaris terguling pada saat duduk takhiyat akhir. Dan aku malah menertawainya. Hahaha. Astaghfirullah.

Kita melanjutkan perjalanan. DP menyalib kita dan mereka melesat jauh kedepan. Arli ingin aku merasakan apa yang dari tadi anak cowok rasakan, yaitu bawa carier yang – ugh – berisi nesting isi agar-agar dan kompan. Oke aku coba dan ternyata – Aih. Berat banget dibandingkan head carrier yang isinya ecek-ecek. Hahaha
Dan aku bawa carier di medan yang permukaannya batu semua. Ini menuju Pos Sangga Buana 2. Menyesali kenapa aku ga bawa carier ini pas di awal perjalanan aja, disaat medannya masih aman. Oke jangan menyerah!

Aku mensugesti pikiranku bahwa puncak sebentar lagi. Maka dengan semangat ingin melihat sun-hot di puncak, aku melompati semua batu-batu yang menghadang – hehehe – dengan susah payah. Karena fokus penuh pada pijakan kaki dan terus melangkah, tahu-tahu aku udah jauh ninggalin mereka dan bahkan ketemu DP yang lagi istirahat. Akhirnya aku istirahat juga. Menuju pos terakhir, Pengasinan (±2700 mdpl), aku jadi danlap *wahahaha* bener-bener kebelet pengen makan karena kita Cuma bisa makan kalau udah nyampe puncak. This is the power of hungry.
Entah di ketinggian berapa, aku sempet ambil view langit berawan yang luar biasa. 




        
Dan saat tiba di Pos Pengasinan, disana ada PA yang lagi camp dan kayaknya baru balik muncak. Disini ambisi kita untuk makan di puncak goyah, dan akhinya membuka cemilan biskuit coklat dari kang Antono. 
 Pos Pengasinan 

 Baru pada ‘buka puasa’ dengan biskuit sedekah dari kang Antono


 Puncak Ciremai dari Pengasinan

Matahari udah mulai hot. Tapi yang ke puncak malah makin rame. Kita melanjutkan perjalanan sekitar pukul setengah sepuluh. Aku udah galau aja karena di atas jam 9 biasanya dari gunung berapi akan muncul gas belerang yang beracun. Tapi lihat yang lain masih semangat untuk melanjutkan perjalanan, ya sudah kita lanjuuuut.. 
 Padang edelweiss di perjalanan ke puncak

 Anton yang lagi galau dan berkunang-kunang

 Medan ke puncak Ciremai

Setelah lama bertarung dengan kemiringan medan, akhirnya! Kita nyampe di puncak Ciremai! Dengan berbinar-binar aku bersyukur bahwa aku berhasil sampai puncak dengan selamat. Allahu Akbar! Indah banget dari atas sini. Namun karena kita terlalu siang tiba di puncak, maka yang kita dapatkan adalah matahari yang serasa di ubun-ubun dan diterpa angin yang bersuhu rendah. Suhu ekstrim braaay. Pemandangan paling umum adalah samudra awan cumulus yang keren banget. :)

Setelah istirahat sebentar kita langsung makan bareng agar-agar yang luar biasanya masih tetap dingin. Agar-agarnya aku siram pake susu kental manis. Demi apapun, makan agar-agar rasa jambu yang dingin dengan saus susu kental manis yang lembut di atas puncak setelah mendaki dari pukul setengah tiga pagi itu bener-bener AMAT SANGAT SESUATU BANGET! Luar biasa nikmat. :D. menu selanjutnya adalah dua bungkus mie instan yang diremuk terus dimakan bareng-bareng. Wahahaha
Selanjutnya, bisa ditebak dong? Foto-foto…. 


 Kawah Ciremai








Kami berharap bertemu dengan Tim Slamet disini karena di tekdet, mereka muncak pagi ini. Maka aku teriakin nama Bima, Faris dan Lisa. Banyak yang menyahut tapi itu ternyata PA lain. (Setelah kembali ke Jatinangor, baru tahu ternyata Tim Slamet ngaret sehari karena mau muncak bareng-bareng sama kita. -_-)
Aku juga melakukan sesuatu untuk ibuku disini. Karena beliau ulang tahun di tanggal 28 Juni kemarin, maka aku sekalian ucapkan disini saja secara tertulis. 

Dalam juang aku bertingkah

Pola hidup yang tak kau mau

Aku bukan dalam pikiranmu Ibu

Karena aku ingin lebih dari apa yang kau pikirkan 
Wahai bunda permata hatiku
Selalu dalam doa-doamu 
adalah pintaku seumur hidup




Tidak ada komentar:

Posting Komentar