Gue orangnnya keitung jarang bikin cerpen. Koar2 pengen jadi
penulis cerpen, tapi kerjaannya malah nulis curhat mulu. Hehehehe. Cerpen itu,
man, butuh inspirasi, dan inspirasi itu, man, dateng bagaikan wahyu yang
diterima para nabi. Intinya, inspirasi itu akan datang pada saatnya. Nah, gue
orang yang bermasalah sama 'timing', sering dapet inspirasi tapi di saat ga
tepat. Misalnya, dapet inspirasi bikin cerita horor disaat lagi takut2nya ama
kuntilanak, ya mau nulisnya gimana coba. Nanti takut gue ama tulisan sendiri.
Hehehehe ampun saya jangan dijitak.
Tapi jarang nulis cerpen bukan berarti gue ga punya cerpen
yang jadi ya. Ini gue mau ngasih liat cerpen gue yang pernah disertakan dalam
lomba menulis cerpen Faber-Castell tahun 2014 kalo ga salah ya benar. Ini versi
extended-nya soalnya kalau yang diikutin ke lomba itu dibatasi 1200 kata aja.
Padahal pas awal-awal ngebikin cerpen ini, belum nyampe ending aja udah 2000
kata. Bisa kebayang kan susahnya gue ngedit ulang ceritanya biar jadi pas 1200
kata. Emang peraturan lomba itu kadang - kadang membatasi imajinasi kita ya
para pemirsah. Dan ternyata cerpennya ... yah belom beruntung untung menyabet
juara. Hehehe.
Cerpen ini terinspirasi dari kisah Pendakian Soe Hok Gie ke
Semeru yang berakhir tragis karena ber-ending kematian dari aktivis itu
sendiri. Gue sampe nonton filmnya yang diperanin kang Nicholas Saputra yang
ganteng masya Allah, sama baca buku dia yang berjudul 'Zaman Peralihan'. Gue
suka banget ama doi abis keren amat ya. Cerdas, berani, tegas, tak gentar
membela yang benar. Semoga beliau tetap dikenang dan ditiru sikap dan
kecerdasannya oleh muda mudi bangsa kita. Amin.
Well, meski terinsipirasi dari Soe Hok Gie, toh cerita ini
dikiiit banget yang ada hubungannya ama dia *spoiler*, yaaa mendalami kehidupan
beliau hanya untuk membantu agar gue dapet sense tertentu saat nulis cerpen
ini, biar serasa kayak lagi di jaman beliau gitu. Tapi ceritanya mah dari
imajinasi gue sendiri lah. hehehehe
Akhirul kalam, selamat menikmati cerpennya. :)
_______________________________________
Udara malam dingin menusuk tulang. Angin gunung menyapu
padang rumput ini. Bulan dengan jumawa menampakkan dirinya secara keseluruhan.
Oro – oro Ombo terang benderang. Laki – laki itu, merobek kesunyian malam,
melintasi padang rumput Oro – Oro Ombo dengan kecemasan yang sesekali tidak
sanggup ia kendalikan. Di belakangnya seorang gadis berusaha mengikuti
langkahnya meski terseok – seok karena beratnya tas keril. Cahaya bulan
menyorot kepanikan yang kentara di wajahnya. Rendahnya suhu di Semeru tidak
mampu mendinginkan pikiran lelaki itu. Sebuah tas keril besar dan berat di
punggungnya, posisinya miring, sehingga makin menambah pikiran saja. Kemeja
lapangannya sebagian telah berwarna merah, andil dari seorang gadis mungil yang
berada dalam pangkuan tangannya. Senter yang ia pegang kadang terjatuh. Setiap
lelaki itu merunduk untuk mengambil senternya yang terjatuh, gadis di
pangkuannya terbangun, lalu batuk darah, dan kemudian pingsan lagi tak tahan
dengan udara malam yang dingin.
Selamat Ulang Tahun, Ning.. Maaf tak bisa kita rayakan di
Puncak Mahameru sana, seperti yang kau inginkan. Teguh memelas dalam hatinya.
Sebilah golok yang di sampirkan Teguh di pinggangnya, berkilat – kilat ditempa
sinar bulan yang anggun. Suara binatang malam yang bergaung, menjadi ancaman
dalam kegelapan. Teguh tak peduli. Di hadapannya, adiknya tengah dikejar
ajal.
“Nining ulang tahun tanggal 16? Wah kita mau naik Gunung
Semeru hari itu, Ning. Nining mau ikut? Sekalian merayakan ulang tahun di atas
puncak?” ajak Kasta yang seketika membuat mata Nining berbinar senang.
Baru sekali itu, Teguh begitu ingin meninju Kasta. Selama ini
susah payah ia menyembunyikan aktivitas naik gunungnya dari Nining. Teguh tahu,
sangat tahu, bahwa Nining sangat menyukai alam bebas. Tapi dengan vonis dokter
itu, Teguh tak tega mengajak Nining naik gunung. Kasta tahu penyakit Nining,
tapi berani – beraninya Kasta mengajak Nining!
“Kau tidak boleh ikut!” kata Teguh menyentak. Nining melawan.
Ia ingin naik gunung, titik. “Selama ini aku tak minta apa-apa pada abang! Tapi
kumohon sekali ini aku ingin naik gunung! Sekali ini saja, bang!”
Teguh tak mendengarkan dan berlalu meninggalkan Nining.
Nining tak menyerah. Namun Teguh tak mau kalah pendirian. Hingga akhirnya
keluar kata – kata itu. Abang takut Ning mati?
***
Jika Ranu Kumbolo bisa bicara, tentulah ia akan memaki Teguh.
Wajah lelaki itu begitu suram. Padahal di hadapannya terbentang pemandangan
surgawi yang luar biasa. Padang rumput hijau yang menyejukkan di tepian danau
Ranu Kumbolo yang tenang dan luas. Matahari yang mulai terik terhalang oleh
lembutnya gumpalan awan, pagi yang sejuk tapi begitu terang. Bayangan matahari
yang menyembul dari balik awan sesekali muncul di permukaan danau yang seketika
beriak – Kasta melempar batu ke permukaan danau. Perjalanan ini seharusnya
menyenangkan. Namun tidak bagi Teguh. Dipandanginya sang adik yang tengah
bermain air bersama Kasta dan Maria. Jofar tampak sedang jadi objek
‘penganiayaan’ ketiga orang itu. Nining terlihat begitu senang. Teguh nyaris
akan tersenyum memandangi kebahagiaan Nining seperti itu. Tapi ada yang
menghalangi senyumnya.
Di depan sana, hujan abu vulkanik di Kalimati, potensi
longsor di Recopodo, gas beracun Jonggring Seloko. Oh Ning.. bantulah
abang..
“Ayo lanjutkan perjalanan. Kita akan tiba di puncak sebelum
matahari terbenam.” Teguh berseru, mengundang keluhan dari Nining.
“Bang aku ingin liat matahari terbit daripada ia terbenam!”
teriak Nining memaki, tidak digubris oleh Teguh.
“Baaang, aku juga ingin melihat terbitnya matahari di
matamu..” Kasta berseloroh. Semua tertawa geli, kecuali Teguh yang melotot pada
Kasta. Kasta hanya cekikikan.
Pendakian kembali dimulai. Cuaca cerah, kondisi tubuh yang
baik, maka perjalanan terasa berlangsung cepat. Teguh, Maria, Kasta dan Jofar
sebelumnya sudah mendaki Semeru, Teguh bahkan sudah tiga kali. Hanya Nining
yang baru sekali itu naik gunung. Namun, kecepatan jalannya nyaris melampaui
kecepatan jalan empat orang lainnya. Berkali – kali ia berada di barisan
terdepan. Tentu saja, di saat punggungnya hanya memanggul tas kecil, empat
kakaknya memanggul keril besar dan berat.
“Ning jangan terlalu cepat, nanti kau kelelahan.” Kata Teguh
cemas. Nining tertawa.
Burung berkicau menghasilkan harmoni yang indah. Lichen
tumbuh di setiap pohon. Embun sisa pagi ini masih menggantung di dedaunan,
menetes jatuh membasahi kemeja dan tas keril mereka. Nining bernyanyi terus
menerus sepanjang perjalanan. Kasta menimpali nyanyian Nining dengan selorohan.
Semuanya tertawa, sambil menghirup udara perawan pegunungan yang menyegarkan.
Inilah mungkin keindahan tak ternilai yang diperoleh saat naik gunung. Membawa
tas keril yang berat memang harga yang harus dibayar, namun tidak sebanding
dengan keindahan alam yang memanjakan mata dan jiwa.
Dua puluh menit kemudian, mereka tiba di Oro – Oro Ombo.
Nining berteriak saking senangnya melihat pemandangan yang terhampar di
hadapannya. Sabana terbuka yang luas dan indah, dikelilingi oleh Gunung dan
bukit – bukit, beratapkan langit biru berawan yang sangat membuai mata.
Keagungan puncak Mahameru terlihat menakjubkan dari Oro – oro ombo. Angin
bertiup kencang mengibarkan rambut Nining yang panjang. Teguh memperhatikan
dengan cemas adiknya yang berlari dengan Kasta menyusuri padang rumput. Maria
dan Jofar tertawa – tawa melihat Nining terjatuh karena tersandung. Teguh
tersentak melihat adiknya terjatuh. Ia yang berada di urutan belakang barisan
langsung berlari mendekati Nining. Teguh tak menarik nafas hingga dilihatnya
Nining tengah berguling di rumput sambil menertawai kebodohannya sendiri.
Barangkali di tim itu, hanya Teguh yang tidak menikmati
perjalanan. Kekhawatirannya pada Nining yang berlebihan membuatnya tidak fokus.
Teringat pesan ibunya untuk menjaga Nining baik – baik. Perasaan Teguh semakin
menderita. Terutama karena ia pemimpin dalam perjalanan ini. Ia tak ingin jika
sesuatu terjadi pada Nining, teman – temannya pun ikut kerepotan.
Abang takut Ning mati? Kematian hanya Tuhan yang tahu, Bang.
Teguh terhenyak. Ia teringat kata - kata Nining seminggu yang lalu, saat gadis
itu memaksanya untuk membawa gadis itu turut mendaki Gunung Semeru hari ini.
Teguh menghela nafas. Hari ini, 16 Desember 1969, Nining genap berusia 18
tahun.
“Ning, kalau kau tidak berhenti bertingkah, kita pulang
sekarang.” Kata Teguh. Ekspresinya dingin tidak menunjukkan emosi. Semua orang
seketika berhenti tertawa. Nining diam mendengar ucapan kakaknya. Secara
teratur semuanya kembali berjalan di jalur. Teguh jarang sekali marah. Maka
dari itu, jika ia sudah marah, berarti ia memang sedang sangat marah. Teguh
menahan tangan Kasta.
“Kasta, kau dari tadi yang paling menjengkelkan. Kumohon
padamu, jangan memancing Nining untuk bertindak terlalu berlebihan! Ia sakit,
kau tahu itu!” kata Teguh pelan. Ia tak mau ucapannya didengar Nining.
“Hei, santai saja .. hari ini ulang tahun Nining kan? Kau
jangan mengecewakannya. Kakak macam apa kau ini? Kalau aku jadi kakaknya, akan
kuajak dia mendaki semua gunung di tanah Jawa ini! Tidak akan seperti kau, yang
mengurungnya di rumah seperti peliharaan.” Kasta membalas dengan tenang.
Kemudian ia menepis cengkraman Teguh dan mengejar Nining. Teguh terdiam.
Giginya bergemeletuk. Dipandanginya Nining yang tertawa karena ulah Kasta yang
melucu. Mungkinkah aku memang terlalu keterlaluan?
Pukul dua belas lebih akhirnya mereka tiba di Kalimati. Teguh
bersyukur setengah mati ketika di sana tidak sedang terjadi hujan abu, meskipun
langit secara tiba – tiba berubah mendung. Mereka bergegas mencari lahan luas
untuk istirahat. Nining begitu duduk langsung mengeluarkan sebuah lontong dari
tas nya.
“Mari makan..” seru Ning. Semua orang tertawa melihat Nining
yang menghabiskan lontong itu dalam sekejap.
“Kau ini.. kalau di rumah susah makan, tapi di gunung gembul
setengah mati!” Teguh mencemooh adiknya. Nining mendelik genit pada Kakaknya
sambil mengeluarkan lontong yang kedua dari tasnya. Teguh tertawa melihat
adiknya yang tiba – tiba menjadi kebo kelaparan. Teguh bersyukur, hingga saat
ini Nining masih baik – baik saja. Teguh memandangi langit yang mulai mendung.
Hatinya cemas. Firasat buruknya muncul, entah kenapa.
“Bang Kasta mana?” tanya Nining.
“Dia katanya mau mencari kayu.” sahut Maria. Nining manggut –
manggut, kemudian ia memperhatikan Teguh.
“Bang Teguh gak makan?” katanya. Teguh menatap adiknya,
kemudian menggeleng dan tersenyum.
“Abang gak lapar. Kau makanlah yang banyak.”
Nining sadar bahwa Teguh begitu mencemaskannya. Karena itu,
ia berusaha keras tidak mengeluh selama perjalanan. Ia tidak memedulikan
kakinya yang sudah terasa pegal, atau dadanya yang tiba – tiba terasa sesak.
Nining tidak mau Teguh menyesal telah membawanya. Nining tak mau merepotkan
Mbak Maria, Bang Jofar, Bang Kasta, dan abangnya sendiri. Berjam - jam mereka
berjalan sejak pukul 5 pagi tadi berangkat dari Ranu Pane, Nining sebenarnya
ingin menjerit!
Sudah dua jam mereka beristirahat, Kasta belum kembali. Jofar
dan Maria panik. Teguh berusaha tetap tenang, tapi pikirannya berkecamuk. Ia
geram pada Kasta. Bisa – bisanya Kasta menghilang saat seperti ini. Mengganggu
perjalanan! Maki Teguh dalam hati. Mereka tidak boleh muncak pagi hari! Ia
tidak akan membiarkan tim nya kali itu pergi melihat puncak dini hari. Jika
Nining ingin melihat matahari terbit, mereka harus berangkat pukul dua pagi.
Dalam udara yang tipis, Nining yang memiliki ashma.. Teguh tak sanggup
membayangkan itu semua. Mereka harus muncak sore ini!
“Aku akan mencari Kasta. Jofar, kau tunggu disini jaga Maria
dan Nining.” Kata Teguh.
Teguh sekilas menatap adiknya. Wajah lembut itu nampak tabah,
namun matanya menyiratkan kekhawatiran. Teguh tahu, Nining mencemaskannya.
Teguh segera pergi mencari Kasta. Secepat kilat ia menghilang di balik rimba
Gunung Semeru. Bersamaan dengan
kepergian Teguh, Maria memperhatikan kemeja Jofar yang diselimuti abu tipis.
Hujan abu perlahan turun di Kalimati. Maria dan Jofar saling berpandangan,
panik. Mereka tahu penyakit ashma Nining yang akut. Maria segera mengeluarkan
tenda dari tas keril Teguh. Jofar segera mengambil patok dan batu. Mereka harus
mendirikan tenda secepat mungkin.
“Ning, pakai masker mu.” pinta Jofar. Terlambat. Dilihatnya
raut muka Nining yang pucat, mulutnya terbuka seperti kehabisan udara.
“KASTA!” Teguh masih meneriaki Kasta. Sudah 20 menit Teguh mencari,
sahabatnya masih belum ditemukan. Kasta seolah-olah hilang di telan rimba. Ya
Tuhan, dimana anak itu? Teguh mencoba mengingat pakaian yang digunakan Kasta.
Tapi ia tak bisa mengingat. Pikirannya kacau. Bayangan Nining selalu memenuhi
kepalanya. Teguh terhenyak. Matanya menangkap sesuatu yang tergeletak di tanah.
Jam tangan Kasta. Teguh memungutnya. Matanya memanas. Seketika ia meneriaki
Kasta. Tangannya dengan buas menepis daun – daun pohon dan nekat dia mencari
Kasta bahkan hingga keluar dari jalur pendakian. Langit semakin mendung. Teguh
panik, hingga ia terpeleset. Untunglah ia masih berada di dataran, bukan di
punggungan yang curam, yang dikelilingi jurang. Teguh menahan nafas, matanya
terbelalak. Diperhatikannya tumbuhan di sekitarnya.
Sejak kapan abu menyelimuti daun ini?
Seingat Teguh, sepanjang dia berputar – putar di daerah itu,
tidak ada abu yang menyelimuti tumbuhan disana. Teguh memandangi lengan
kaosnya, dilapisi abu tipis. Hujan abu! Teguh terkejut. Ia menyesali
keterlambatannya untuk menyadari hal itu. Ia langsung teringat Nining. Teguh
sangat mengkhawatirkan Nining, penyakit gadis itu bisa kambuh. Tapi Kasta harus
ia temukan. Kakinya ingin ia langkahkan ke Kalimati, tapi hatinya yakin jika
sesuatu terjadi pada Kasta. Segala sesuatunya muncul di pikiran Teguh.
Tiba – tiba bayangan mendiang ibunya muncul. Jaga adikmu.
Pesan ibunya begitu mencekik Teguh. Namun sesaat kemudian, wajah Kasta yang
masih ingusan, dengan berani mengajaknya naik gunung. Kasta adalah sahabatnya
sejak kecil. Dan sejak mereka dekat itulah, Kasta yang mengenalkannya pertama
kali pada gunung. Aku tidak pernah seberani kau, Kasta. Nining yang sakit –
sakitan. Abang takut Ning mati?
Teguh meremas kepalanya, bulir air mata perlahan membasahi
pipinya. Tanggung jawab sebagai seorang ketua, sebagai seorang anak, sebagai
seorang kakak, dan sebagai seorang sahabat, sekali ini begitu menekannya. Teguh
berteriak lagi, suaranya menggema di tengah hutan, diantara lereng yang curam,
dibawah langit mendung yang berduka. Adakah orang lain di dunia ini yang
tersiksa seperti dirinya sekarang? Tanyanya dalam hati. Alam sedang menempanya.
Teguh tahu itu. Tapi ia tidak tahu apakah ia akan berhasil, atau tidak.
Kematian hanya Tuhan yang tahu, Bang. Kematian hanya Tuhan yang tahu.
Kasta, maafkan aku. Teguh menarik nafasnya, kemudian ia
berbalik dengan cepat.
***
Teguh dan Maria tiba di Ranu Pane sekitar pukul 10 malam.
Punggung dirasakan mereka sudah mati rasa. Teguh turun dari Kalimati sambil
menggendong Nining yang sudah tak sadarkan diri. Kondisi Nining sudah tidak
dapat diperkirakan lagi. Teguh benar – benar takut, tubuhnya tak berhenti
menggigil. Atas bantuan beberapa penduduk, Nining dilarikan ke rumah sakit
terdekat. Maria ikut ke Rumah Sakit. Sedangkan Teguh tetap di Ranu Pane, hendak
mencari dua kawannya. Jofar bertahan di Kalimati menunggui Kasta.
Siang ini Ranu Pane terguncang. Semeru kembali menelan korban
jiwa. Dua orang meninggal di Puncak karena menghirup gas beracun dari Jonggring
Seloko. Sekejap Teguh teringat dua orang karibnya. Namun, ia yakin Kasta tidak
akan mungkin menghilang sampai puncak, dan Jofar juga tidak akan mungkin
mencarinya karena ketika Teguh meninggalkan Kalimati, hujan abu sangat deras.
Tapi tetap saja, hal - hal buruk menggelayuti pikiran Teguh. Meskipun akhirnya
diberitahu bahwa yang meninggal adalah aktivis mahasiswa terkenal Soe Hok Gie
dan kawannya, Idhan, namun tetap saja nasib Jofar dan Kasta masih belum jelas.
Mungkinkah Semeru tidak hanya meminta dua korban, tetapi empat korban?
Pikirannya runtuh seketika saat melihat Jofar berjalan
perlahan mendekati pos pendaftaran. Demi melihat sahabatnya berjalan tertatih
seperti itu, Teguh langsung mendekati Jofar dan membantunya membawakan keril.
“Kenapa kau tidak menungguku menyusul!? Kau meninggalkan
Kasta?” Teguh langsung memaki.
“Soe Hok Gie tewas.” Jofar malah tak menjawab. Ia menjatuhkan
tubuhnya ke tanah.
“Kau meninggalkan Kasta?” Teguh masih menyerang. Jofar, yang
kelelahan, seketika naik pitam. Ia kembali berdiri dan menantang Teguh.
“Kau yang meninggalkan Kasta!” hardik Jofar.
“Kau tentunya tahu kalau aku mengevakuasi Nining!”
“Sejak semula sudah salahmu karena mengajak Nining!”
Teguh merasakan darahnya mendidih. Tubuhnya menggigil.
“Soe Hok Gie tewas. Kondisi semakin buruk dan aku tidak mau
gegabah sehingga mencari Kasta sendirian.
Kau pergi tanpa berpesan apa – apa hanya memintaku untuk tetap bertahan
sedangkan aku tak tahu kapan kau akan kembali. Kalau kau jadi aku, apa yang
akan kau lakukan?” hardik Jofar lagi.
Teguh terpaku. Jofar benar. Tidak, Jofar tidak begitu benar.
Nining ikut pendakian bukanlah salahnya. Ini salah Kasta yang memberitahu
Nining perihal perjalanan ini. Ya, salah Kasta. Iya ini semua salah Kasta.
Kasta yang semula merencanakan perjalanan ini, Kasta yang mengajak Nining,
Kasta - dan bukan dirinya - yang menyenangkan Nining selama perjalanan, Kasta
yang tiba – tiba hilang. Semua salah Kasta.
Teguh memejamkan mata. Pikirannya kembali ke Kalimati. Jika
Kasta tidak menghilang, perjalanan akan dilanjutkan. Sesuai rencana, mereka
berlima akan tiba di puncak menjelang petang, kemudian menghirup uap Jonggring
Seloko, yang di waktu sama telah membunuh Soe Hok Gie. Dada Teguh merasa sesak.
Tak sanggup ia membayangkan jika ia mati, Nining mati, semua orang mati dalam
pendakian yang ia pimpin. Tubuh Teguh gemetaran, merasakan dirinya berubah
menjadi Kasta, yang dalam kesendiriannya di tengah dingin dan sesaknya rimba,
berteriak minta tolong padanya. Tapi Teguh malah membalik langkah. Kemudian
menyalahkannya.
Matahari mulai meninggalkan siang, menjemput sore dengan
jingganya di cakrawala. Jofar beranjak meninggalkan Teguh yang masih termangu,
dan ia langsung melapor ke pos pendakian untuk memberitahu perihal kecelakaan
kemarin. Teguh merasa bahwa ia bersalah karena telah meneriaki Jofar. Ia mengerti kondisi Jofar. Jika ia dalam kondisi seperti itu pun, Teguh akan melakukan hal yang sama. Maka, Teguh menghampiri Jofar dan menepuk lembut bahu sahabatnya itu. Begitu Jofar berbalik dan menampakkan wajahnya, Teguh terbelalak. Itu Kasta! Jofar telah berubah menjadi Kasta! Pakaian itu, tetap pakaian Jofar, tapi senyum itu, mata itu, hidung itu, semua milik Kasta!
Teguh tiba-tiba lemah lunglai. Ia menjatuhkan dirinya ke tanah. Keningya dibanjiri oleh keringat dingin. Tubuhnya menggigil hebat. Pandangannya gelap seketika.
Teguh tiba-tiba lemah lunglai. Ia menjatuhkan dirinya ke tanah. Keningya dibanjiri oleh keringat dingin. Tubuhnya menggigil hebat. Pandangannya gelap seketika.
_______________________________________