Judul
catatan ini mirip slogan sebuah produk peralatan lapangan ya? Iya emang
sengaja. Soalnya produk tersebut amat mendominasi perjalananku kali ini.
*berasa promosi*
Pada
tanggal 28 Juni 2013, aku dan kawan-kawan sedang bersiap-siap untuk melakukan
simulasi ekspedisi ke Gunung Ciremai di Kuningan, Jawa Barat. Dari seluruh
anggota di angkatan kami yang berjumlah 10 orang, dua orang yaitu Winna dan Ogi
belum bisa ikut karena Ogi sakit dan Winna harus menjaga adiknya yang baru
dikhitan. Kami waktu itu belum bisa berbuat banyak dan hanya terus mendoakan
Ogi agar senantiasa diberi kesehatan. Dan Winna semoga diberikan ijin untuk
ikut ekspedisi pasca lebaran nanti.
Ceritanya
8 orang yang akhirnya akan berangkat ini dibagi dua tim. Aku, Arli, Hafizh,
Anton dan Rivo ditemani oleh DP yaitu Kang Swach dan Kang Antono akan mendaki
Ciremai lewat jalur Linggarjati. Tim kedua adalah Faris, Lisa dan Bima ditemani
Kang Imbar dan Kang Windo akan mendaki lewat jalur Palutungan. Yah .. satu tim
satu cewe. Winna dan Ogi harusnya masuk ke tim kedua. Lisa yang sejak semula
sudah merasa tenang karena menyangka Winna akan ikut dan di perjalanan dia gak
bakal jadi cewe sendirian, mulai gundah membayangkan bahwa ia akan menjadi
satu-satunya yang berjenis lain di tim kedua. Apalagi membayangkan bahwa Faris
dan Bima adalah lelaki-lelaki macam begitu (maksudnya apa nih?), ditambah Kang
Imbar dan Kang Windo yang bahkan lebih begini-begitu, waduh makin galau. (hehe
becanda)
Singkat
cerita, Lisa sempat meminta aku untuk pindah ke tim kedua dengan alasan agar
kedua tim seimbang secara jumlah. Tapi aku nggak yakin DP bakal ngijinin karena
tim aku udah komplit dan kalau diubah, takut pas ekspedisi entar aku gak mampu
membiasakan diri untuk menjadi cewe sendirian. Akhirnya Lisa pasrah menerima
nasib, dan kami berangkat.
Sebelum
berangkat, kang Wahyu berpesan.
“Selama
perjalanan kalian, anggap aja DP nggak ada. Abaikan saja. Tapi kalau pas makan,
mereka perlu dianggap..”
Waaah
nggak konsisten itu namanya. Abaikan ya abaikan, anggap ya anggap. Hahahaha
*abaikan*
Oh
ya mengenai persiapan pendakian ini, kita bener-bener dadakan. Apalagi aku baru
mulai packing ba’da maghrib karena harus mengurus keperluan lain dulu. Anak
yang lain juga sama dadakan semua. Alhasil, rencana semula yang bakal berangkat
jam 8 malam, molor jadi jam setengah 11an. Aku pada saat itu lagi pake sepatu
gunung baru yang aku beli dengan hasil menabung selama satu semester terakhir
(bangga banget ya ?). Karena itu, waktu jalan dari sekre menuju shelter Damri,
aku hati-hati banget jalannya. Hati-hati dalam melangkah, takut solnya kegesek,
takut talinya gampang lepas, atau alasan-alasan alay lainnya. Pergerakan
langkahku yang kaku ini agaknya diketahui Lisa dan akhirnya dengan mulut
embernya, bocor deh rahasia sepatu baru ini. Faris menatap dengan buas sepatuku
seakan ingin menginjak sepuas mungkin. Hal ini memaksaku untuk bersikap ansos –
anti-sosial – menjauh dari kawan-kawan, demi keamanan sepatu baru.
Kami
menunggu di shelter Damri yang gelap gulita, dan Alhamdulillah kami kelewatan
bis ke Cirebon sampe dua kali. Kesal, akhirnya kami bikin halte sendiri di
depan pos polisi di perempatan Bungamas. Disini lumayan terang jadi kami
berharap para supir bis itu mau melirik kami. Bis yang lewat sepanjang 15 menit
pertama kami menunggu adalah bis pariwisata. 15 menit selanjutnya adalah bis ke
entah kemana. Makin malam aku makin ngantuk, makin gak fokus. Sampai tiba-tiba
datang mobil alphard menghampiri kami dengan pangeran berwajah kenek angkot
tiba-tiba keluar dari dalam mobil hedon tersebut. Lho kok wajahnya kayak tukang
kenek gitu ya? Oh bukan alphard, ternyata sebuah elf bro, ELF. *efek ngantuk*
Aku
punya sedikit cerita dengan spesies bernama ELF ini. Ceritanya dulu pas kelas
dua SMA, aku dkk mau ke Cikajang. Karena saat itu kocek kita lagi gak tebel
(dan jaman SMA emang gak pernah tebel), maka kita memilih Elf demi keamanan
pengeluaran uang. Singkat cerita, aku and the gank yang saat itu udah keren
banget setelannya (setelan biasa anak sekolah : Kemeja lusuh dan jins belel
serta tas punggung yang diisi penuh dengan buku gak jelas), masuk ke dalam elf
yang….ternyata ramai oleh berbagai ras. Ada sekarung ubi, kardus-kardus tomat,
alpukat, bahkan ayam yang nampak menderita karena dikekang dalam sebuah
kantong. Kami terperanjat melihat elf yang rasial ini. Aku menelan ludah.
Temanku yang bernama Syifa bahkan terlihat menahan muntah. Kita, dengan kompaknya,
udah niat mundur dan nyari elf lain, tapi karena waktu udah siangdan kita gak
mau kemaleman, akhirnya dengan pasrah kita menaiki Elf ini. Pas banget pas kita
naik, elfnya berangkat. Demi apapun, belum lama elf ini berjalan,
‘spesies-spesies’ lain itu seakan bersekongkol untuk menekan kami. Tomat-tomat
di kardus berjatuhan ke lantai elf. Pemiliknya heboh minta bantu mungutin.
Temanku si Tari menginjak satu tomat yang aduhai warnanya. Pemiliknya jadi
heboh minta ganti rugi. Si ayam yang terkungkung itu tampak ingin berontak,
petok-petok berisik banget minta ditabok. Aku duduk di sebelah lelaki setengah
baya yang badannya basah oleh keringat – dan baunya begitu menyesakkan dada.
Belum lagi sopirnya bener-bener kampret. Nyalib semua kendaraan di depan dan belakang
elf dia (belakang?). ini sopir minta disalib beneran. Harga emang gak bohong.
Iya nggak bohong, tapi MENOHOK, MENUSUK, dan *speechless*. Sampai puncaknya, si
Syifa muntah beneran di sebelah aku. Saat itu aku berasa sekarat menghirup
berbagai macam gas beracun baik dari ‘parfumnya’ bapak-bapak atau dari
‘bubur’nya Syifa. Aku ragu apakah aku bisa bertahan hingga akhir. Nyawa serasa
udah di kerongkongan dan..
Yeah!
Dan berkat kang Windo yang pedekate ke pangeran kenek alphard itu, aku diberi
kesempatan untuk naik Elf lagi. -______-
Aku
masuk Elf agak awal dan langsung ngambil posisi yang lumayan di kursi paling
belakang, diapit Lisa dan Hafizh. Dan karena diserang rasa kantuk yang masuk
stadium delapan, maka aku langsung tergeletak tidur. Aku gak tahu apa yang
terjadi di perjalanan. Aku gak mau menikmati perjalanan dalam elf. Masih
trauma. Sampai akhirnya aku dibangunkan karena harus ganti Elf di daerah yang
aku juga gak tahu namanya. Sampai di elf baru, maka aku langsung tidur lagi.
*parah banget ya kebo nya*
Aku dibangunkan (lagi) pas kami nyampe di gerbang pendakian untuk jalur Palutungan. Tim Kedua turun dari Elf. Wah pas aku melambaikan tangan ke Tim Kedua, aku sedih banget. Pengennya mendaki bareng-bareng, apalagi sama Lisa. Tapi, ya sudahlah. Semoga kami semua selamat sampai kembali lagi ke Jatinangor. Oh ya, dan semoga aku pulang dengan wajah normal tanpa sengatan serangga lagi. AMIN YA ALLAH.
Tim pertama terus di dalam Elf dan melanjutkan perjalanan. Disini aku baru mulai merasa sendiri. Mungkin karena gak ada Lisa atau Winna. Aku merhatiin satu persatu tim pertama ini. Anton > dia danlap Tatib mabim. Tuhan semoga aku nggak ditatibin sama dia di gunung entar. Arli > Punya kepribadian gak jelas yang kadang baik dan seringnya nyebelin. Mesti hati-hati menindak orang yang berjenis Arli ini. Hafizh > wah, aku udah kebanyakan di mabim bareng sama dia, udah percaya lah sama koordinator yang satu ini mah. Tapi karena terlalu baik, jadi gak tega mau nge-bully juga. Rivo > Kalem tapi kadang berbahaya. Kalau ada temen, ini orang pasti bisa ngebully orang sampe skakmat. Kang Antono > ini orang yang ngatain aku egois pas PLDC, harus jaga jarak dengan subjek satu ini. Kang Swach > orang ini yang narik-narik dan ngajak lari aku pas Long march. Wah kalau nanti aku mulai lelet di perjalanan, berarti harus jauh-jauh dari pak ketua.
Aku memejamkan mata, niat mau tidur lagi. Tapi malah teringat Ibu, teringat suara dia yang terdengar cemas di telepon kemarin sore.
“Nisa,
Gunung Ciremai kan gunung aktif!”
*waduh
bener juga* #panik
“Nanti
kalau meletus gimana?”
*Waduh
iya ya gimana* #makin panik
“Nanti
kalau disengat serangga lagi gimana?”
*WADUH WADUH WADUH* #garuk-garuk muka berasa dejavu
Tapi
dasar emang udah tekad, yaudah aku lakonin aja. Semoga semuanya baik-baik saja.
Amin.
Akhirnya kami diturunin di depan Graha Linggasana pada pukul 04.30. Disamping gedung itu ada sebuah masjid yang cukup besar dan kami istirahat serta sholat disana. Ada PA lain yang juga istirahat di masjid itu. Waktu itu mereka lagi pada tidur jadi kami gak bisa say hello (bahasa lain dari nge-modus). Terdengar alunan suara mengaji dari Imam masjid, dan suaranya sangat menyejukkan hati. Aku begitu menyentuh lantai masjid langsung menggeletakkan carrier dan menggeletakkan diri. Kan harus charge tenaga buat pendakian. Hehe
Aku dibangunin (lagi dan lagi) sama Anton. Jam udah menunjukkan pukul 5 pagi. Aku membersihkan diri sekadarnya. Cuma cuci muka dan sikat gigi karena liat anak yang lain juga pada begitu. Hafizh dan Rivo pergi beli sarapan dan aku udah niat menggeletakkan diri lagi. Tapi ternyata kami harus mengurus administrasi pendakian Gunung Ciremai. Orang yang ngurus administrasinya lagi briefing sama PA yang pertama kali kami lihat di Masjid. Ternyata mereka kelompok pramuka dari Jakarta. Sambil nunggu si bapak-bapak admin (karena sampai hari ini aku nggak tahu namanya) selesai briefing sama kelompok pramuka itu, Aku ngisi beberapa form data ketua tim dan nomor-nomor yang bisa dihubungi. Salah satu persyaratan form adalah menyertakan fotokopi KTP yang masih berlaku. Aku menelan ludah. Glek. Semua KTP kelompok udah aku fotokopi kemarin malam. Pinternya aku, adalah bahwa aku titipkan fotokopinya ke Lisa dan lupa misahin fotokopian KTP tim pertama. Nyaris saja aku gundah dan berniat ngasih KTP asli aja. Tapi sebuah warung yang terletak di samping Graha Linggasana, yang hebatnya udah buka di pukul 6 pagi, ternyata menyediakan jasa fotokopi. Aku merasakan pencerahan yang benar-benar luar biasa disana, terharu seakan warung itu dikirim oleh Tuhan untuk menyelesaikan masalah per-katepe-an ini. Maka aku dengan kerennya menyita semua KTP tim pertama dan dengan pede dan gesitnya langsung menghampiri warung tersebut.
“Pak
saya mau fotokopi 7 KTP masing-masing 3 lembar. Gak pake lama.” Kataku mantap.
“Maaf
neng, mesinnya belum nyala. Harus nunggu dulu. Baru bangun.”
Prat
Pret Dezigh! Penonton kecewa. Alhasil aku menunggu mesin tersebut ngumpulin
nyawa dulu. Padahal pengen ikutan briefing sama bapak admin itu. tapi ya
sudahlah, aku sedang memegang amanah fotokopian *ciyeeee*
Begitu aku kembali ke masjid, briefing udah masuk pertengahan ROP. Karena udah kejauhan, aku agak lama untuk menyatukan frekuensi briefing dengan si Bapak Admin itu. Kelompok Pramuka itu udah berangkat duluan. Di masjid udah tinggal kami doang. Pendakian ke Gunung Ciremai harus bayar biaya masuk sebesar Rp. 10.000,-. Kami dapet tiga macam karcis.
Aku
perhatiin karcis asuransinya. Total biaya jaminannya Rp. 10.400.000,-. Waduh.
*Pikiran
jahat berbisik*
Lumayan banget buat danus
ekspedisi. Nanti kami bikin acara pendakian Ciremai. Pesertanya anak-anak SMA
yang polos-polos. Entar semua anak-anak itu ditumbalin buat dapet biaya jaminan
asuransinya. HAHAHAHAHA
Astaghfirullah.
-__- Kembali ke jalan yang lurus.
Setelah
briefing selesai, kami sarapan nasi bungkus duaribuan yang dibeli Hafizh dan
Rivo. Nasinya dikit banget. Cocok buat yang lagi diet. Tapi masalahnya amat
tidak cocok untuk yang mau pendakian. Tapi mau gak mau ya terima saja. Dengan
perut yang masih menuntut kepuasan, aku dan yang lain mulai masak konsumsi untuk
nanti siang. Si Arli tiba-tiba membawa bawang merah dan cabai untuk dibuat
sambal. Dengan pede, dan maksain banget-nya, dia ngulek bawang dan cabai di
piring plastik kesayangan aku pake tutup kompan yang dilapisi kresek item gak
jelas.
O
My
God
Aku
awalnya jijik melihat prosesi sambal yang begitu mengenaskan ini. Tapi liat si
Arli kayaknya gak punya skill ngulek, jadi aku yang gantiin dia ngulek. Kang
Antono terlihat masygul memperhatikan sambal kompan kami ini. Apalagi sambalnya
dimasukkin ke dalam zipper bag kayak tempat obat-obat di apotek gitu. Kami gak
ada pilihan lagi *sambil mendesah pasrah*
Pas
kami udah selesai masak, kang Swach baru selesai mandi. Dikeramas pula. Dia
jadi satu-satunya makhluk yang mandi di tim kami pada pagi hari itu. Aku sebagai
wanita merasa tertohok. Karena aku sendiri gak mandi. Aku mikir yang lain juga
bakal gak mandi. Plis, aku ini bukannya gak pandai merawat diri. Yaudah sih, udah cantik ini. Batinku
menghibur diri.
Tim Kerinci
Kami
ngaret bro. Di ROP harusnya berangkat pukul 8. Tapi kami benar-benar mulai
jalan sekitar jam 9 kurang 15 menit. Danlap hari itu Anton. Urutan jalannya
Anton-Rivo-Hafizh-aku-Arli-DP. Sepanjang perjalanan kami diem-dieman. Tubuh aku
lagi adaptasi. Merubah kondisi dari ringan menjadi membawa beban. Kami melewati
pemukiman warga sampai akhirnya tiba di gerbang pendakiannya yang juga tempat
didirikannya sebuah sutet. Jalannya mulai menanjak tapi masih cukup lebar. Si
Anton ternyata semalem di Elf dia kurang tidur. Akibatnya, di perjalanan ini
dia gak fit. Kami baru nanjak dikit, dia udah minta istirahat. Aku menelan
ludah. Bayang-bayang PLDC seakan berkelebat di kepalaku. Aku sesekali melirik
DP, takut mereka siap-siap ngebentak karena kami kendor. Oke, kami bukan siswa
lagi.
Dampak
gak dibentak DP gara-gara sering berhenti, Anton jadi makin sering berhenti.
Hafizh akhirnya mengambil alih posisi Anton. Aku awalnya bingung karena tubuh
aku juga mengalami kemerosotan. Gampang banget capek. Padahal beban di punggung
gak semantap pas PLDC. Olga juga sering aku lakonin. Akhirnya aku memahami The Power of Under Pressure. Pas PLDC, kami selalu dikasih vitamin-vitamin
yang menekan kami kalau jalan udah makin letoy. Jadi, cape gak cape harus tetep
jalan. Berat gak berat harus tetap dibawa.
Hidup
juga begitu. Tanpa ditekan oleh masalah dalam hidup, manusia akan selalu
berjalan di tempat, sering bersinggah di perhentian, dan cepat puas atas suatu
pencapaian. Masalah hidup bukan diciptakan untuk membuat seseorang merasa bahwa
hidup begitu kejam, tapi untuk membuat seseorang menyadari bahwa hidup terlalu
indah untuk diam di tempat.
Just
Intermezzo.
Lanjutkaaaan…
Begitu
kami nyampe di Kikuwu (900 mdpl), disana ada sebuah bangunan kumuh dan
merupakan bumi perkemahan. Berdasarkan petunjuk bapak admin, di Kikuwu ada
sumber air yang merupakan satu-satunya di jalur Linggarjati ini. Karena di
depan kami ada dua persimpangan, maka tim dibagi dua untuk memeriksa kondisi
masing-masing jalan.
Ternyata
sumber air ada di jalan sebelah kanan. Maka kami berbondong-bondong membawa
kompan dan veldpless untuk diisi air yang mengalir melalui pipa di bawah tanah.
Karena di pos-pos selanjutnya kami gak akan menemukan sumber air lagi, maka
semua kompan harus terisi penuh. Airnya enak banget. Gurih ada aroma pipa PVC
gitu. Pasti laku kalau dikomersilkan. Wah bisa jadi sumber danusan juga. *otak
danus*. hehehehe
Setelah
melepas dahaga dan membersihkan muka, kami kembali berkemas dan melanjutkan
perjalanan. Anton nampak makin nggak sehat. Dia terus minta berhenti. Sepanjang
perjalanan pun kami gak memulai percakapan. Medannya masih landai. Jadi untuk
menambah ketinggian dibutuhkan waktu yang lama. Disini Hafizh keliatan banget
gak sabar untuk menambah ketinggian. Baru jalan beberapa langkah, udah nanyain
ketinggian ke Arli yang bawa GPS. Ckckck..
Pas
memasuki areal hutan bambu, jam menunjukkan pukul 12 siang. Kami istirahat dan
membuka bekal makan siang. Sambal kompan kami juga dikeluarkan saudara-saudara!
Dan kang Antono yang semula terlihat ragu, ternyata makannya makin bernafsu
setelah mencoba sambal kompan tersebut saudara-saudara! Rasa pedasnya terasa
unik (ada rasa kresek gitu) dan bawangnya juga cukup yahud. Mantap lah! Waaahaha,
ini inovasi baru yang menjanjikan. Nanti mau aku uji coba kalo aku syuting ala
chef. *ignore*
Setelah
makan, kami sholat Dzuhur dulu disini.
Dan
Anton ternyata makin berkunang-kunang saudara-saudara! Semangat Anton!
Hehehehe. Kalau gak salah ini masih di ketinggian 1000 mdpl. Medannya masih
landai, masih pewe, dan masih bikin males gerak. Perjalanan dilanjutkan ke pos
berikutnya. Medannya mulai makin miring. Aku mengeluarkan sarung tangan karena
mulai harus meminta bantuan pada akar-akar pohon. Kami tiba di Kondang Amis
(1.250 mdpl) sekitar pukul 1 siang. Disini ada bangunan kayak pos jaga dan
banyak aksi vandalisme dilakukan di bangunan ini. Aku sempet kepikiran, gimana
caranya orang-orang bawa material bangunan dari pemukiman ke pos Kondang Amis
ini? Terus membangun bangunan ini gimana caranya? Dari sutet kesini lumayan
jauh jaraknya. Masa pake pesawat? Atau bangunannya dibangun di sekamir
pemukiman warga, terus pas udah jadi bangunannya diangkat pake pesawat dan
dijatuhkan tepat di Kondang Amis? Oke abaikan saja …
Perjalanan
ke Pos berikutnya, makin asoy aja medannya. Ada beberapa titik yang
mengharuskan kami manjat akar pohon karena tanahnya terputus disana. Aku disini
sering banget ngeliatin sepatu aku sambil pengen nangis. Kasihan dia
terus-terusan kegesek akar pohon dan melewati tanah basah yang lembab. Ya Allah tabahkanlah sepatuku. Jangan kau
perberat ia.. doaku tulus demi si sepatu. Sikapku yang over ini dicibir oleh Arli.
“Ya
sepatunya kotor ya. Udah gak baru lagi ya.. ”
Keep
calm dil.. *sambil ngasah golok*
Kira-kira
jam dua siang lebih, hujan mengguyur kami yang tengah galau mikirin camp craft.
Hebatnya kami diguyur pas lagi di tanjakan. Whoaaa air kiriman dari atas
langsung mengalir deras lewat tanjakan ini. Omong kosong sudah sepatu aku yang
katanya waterproof ternyata tetap membuat kakiku dapat merasakan dinginnya air.
Kata ROP, kami nge camp di ketinggian 1.800 mdpl. Tapi ini udah mau Ashar, kami
masih di ketinggian 1.400-an (Pos Kuburan Kuda). Hujannya deras, dan medannya
sempit. Aku ngiri liat Hafizh, Anton, Kang Swach, dan Arli yang pake jas hujan.
Aku sama Kang Antono pake ponco, dan aku akui itu agak mengganggu langkahku. Apalagi
pas harus manjat-manjat akar pohon. Udah berasa kayak monyet pake daster gitu. Pas
hujan ini, tiba-tiba Ciremai rame banget. Entah di ketinggian berapa, kami
ketemu PA dari Cirebon yang lagi berteduh pake flysheet di sebidang tanah yang
cukup datar. Berhubung hujannya emang lagi deras banget, kami gak nolak pas
mereka nawarin kami ikut berteduh. Arli nggak ikut masuk flysheet, dia nungguin
di luar, nungguin flysheetnya nampung air hujan, untuk dia minum saat itu juga.
Aku mengerjap jijik sambil nahan ketawa lihat kelakuan Arli. Tapi pas aku
cobain sendiri, ternyata air hujan yang ketampung di flysheet lebih nikmat
daripada air beraroma pipa PVC dari Kikuwu tadi. Cewek-cewek dari PA Cirebon
ini tersenyum melihat kelakuan aku sama Arli yang semangat banget nyedot air di
flysheet. Seorang cewek manis minum air
hujan dari flysheet bersama temannya yang berambut keriting. Oke, ini bukan
judul berita yang bagus. Plis, bukannya aku gak pandai merawat diri. Ini supaya
lebih dekat dengan alam aja. Ehehehe
Hujannya
mulai berhenti. Tapi masih gerimis semi deras gitu. Setelah mengucapkan terima
kasih karena udah ngasih tempat berteduh, kami beranjak melanjutkan perjalanan.
Makin keatas makin rame lho. Kami malah ketemu lagi sama kelompok pramuka yang
tadi pagi ketemu di Masjid. Salah satu anggotanya, seorang cowo dengan setelan kaos
lengan pendek merah dan celana selutut serta sandal gunung, ternyata kakinya
kram sehingga mereka terhambat. Kang Antono langsung pamerin skill medisnya sambil
meminta salep otot ke aku. Aku awalnya ragu ngasih salepnya karena kata Kang
Wahyu kami harus mengabaikan DP kecuali pas makan. Tapi pas aku liat orang yang
lagi kram itu, wah teringat dengan kode etik kepencintaalaman, maka kami harus
bantu dia. *aseeeeek*
Setelah
diurut oleh Kang Antono, orang itu nampak lebih baik kondisinya. Karena dia
ingin memulihkan kakinya, kami berangkat duluan. Makin maju, medannya makin
vertikal. Air kiriman dari atas benar-benar melebur bersama tanah,
menjadikannya coklat dan mencoklatkan sepatuku. Hiks. Belum begitu tinggi kami
naik, Anton dapet kram di paha kanannya. Kang Antono pamer skill lagi. Kang
Antono mengurut kaki Anton dengan lembut meski pada akhirnya Anton tetap
tereak-tereak juga. Antono dan Anton. Anton dan Antono. Wah bagus buat jadi
judul sinetron tentang anak kembar. *abaikan*
Nunggu
Anton yang lagi memulihkan kakinya, kami disusul sama anak Pramuka yang kram
tadi. Jago banget kaki baru aja kram tapi terus mendaki akar-akar pohon untuk
terus ke atas. Kami juga kesusul sama kelompok PA Cirebon yang tadi ngasih kami
tempat berteduh. Aku seneng banget, berasa gak sendirian. Malam mingguan di
Ciremai sob.. hahahahaha
Anton
terlihat membaik setelah hujan reda.
“Kan
dikasih Tirta dari langit..” komentarnya. Duuuhhh so sweeeettt…
Disini
urutan jalan udah gak bener lagi. Aku di belakang Hafizh yang masih jadi
danlap. Aku yakin banget, Pengalap, Pos tujuan camp craft kami, bakal sebentar
lagi kami capai. Anton karena terus dimotivasi bahwa pos buat camp bentar lagi,
maka dia makin berusaha mempercepat pergerakannya. Terus menerus mendaki,
bertemu PA lain dan dapat info kalau Pengalap sudah dekat, membayangkan bahwa
sebentar lagi akan makan malam enak, serta langit sore cerah yang sangat
menyenangkan, adalah motivasi-motivasi yang amat menguatkan aku untuk terus
naik. Dan ini aku pake juga ke Anton.
“Ton,
bentar lagi Pengalap!”
“Ton,
Pengalap udah di depan mata!”
“Ton,
nanti aku bikinin makan enak!”
Itu
amat efektif untuk mendorong Anton agar mau maju. Ketika akhirnya, Hafizh tiba
duluan di Pengalap dan menyemangati yang lain, aku merasa jantung aku terasa
lebih hidup, lebih terpacu untuk mengetahui seperti apa keadaan Pengalap. Dan
Here they are..
Pengalap
(1650 mdpl) adalah pos singgah dengan lahan yang cukup luas dan areal disini
cukup terbuka. Ketika aku tiba disini, dengan segera aku meneriaki Anton bahwa kami
sudah tiba di Pengalap. Demi apapun, Anton yang awalnya apatis tiba-tiba
bersemangat mendaki dan tiba di Pengalap untuk waktu yang tidak begitu lama.
Dari sini aku memahami The Power of
Achievement Equality. Pencapaian seseorang atas suatu tujuan dapat
memotivasi kami untuk terpacu mencapai tujuan yang sama juga.
Hidup
juga begitu. Sebagian orang dapat memotivasi diri sendiri untuk maju. Tapi ada
sebagian lainnya yang mesti diberi motivasi dalam bentuk lain. Yaitu pencapaian
seseorang terutama orang yang hubungannya dekat. Melihat sahabatnya maju,
seseorang akan cenderung mendapat dorongan untuk mampu menyetarakan dirinya
dengan sahabat tersebut. Penyetaraan pencapaian. Ketika kita mencapai sesuatu
yang sama bersama-sama, itu lebih menyenangkan. Sukses bareng-bareng itu lebih
asyik sob. Karenanya, orang akan melakukan apapun agar mampu mencapai juga apa
yang temannya telah capai.
keceeeee, envy beroooooo pengen ciremai juga hahaha
BalasHapus