Angin senja bertiup keras. Musim
kemarau tengah melanda tapi suhu merosot rendah. Daun-daun dengan cepat
merontokkan diri. Bukan akibat dari penguapan, tapi karena terhempas kejinya
angin akhir-akhir ini.
Dua petinggi di Bumi Pertiwi, Tuan
Gede dan Tuan Pangrango, bercengkrama di suatu senja. Mereka memperbincangkan
satu kawan mereka, Tuan Guntur yang kini gundul.
Tuan Gede : Aku jadi
memikirkan si Guntur. Tak patut sekali dia saat ini, gundul dan semakin panas.
Tuan Pangrango : Mengapa malah
kau cela? Kasihan dia. Kasihan pula kita, tak mampu berbuat apa- apa untuk
membantunya. Kita hanya ‘Petinggi-yang-terdiam-di-tempat’.
Tuan Gede : Gara-gara
memikirkan si Gundul, betapa aku menjadi kesal dengan segala yang terjadi di
semesta ini. Dia dahulu elok sekali dengan hutan yang lebat di kerajaannya.
Tuan Pangrango : Apa yang kau kesalkan
kawan?
Tuan Gede : Sadarkah
kau bahwa kita hanya menjadi batu? Si Guntur juga hanya batu. Kita hanya menjulang tinggi, tapi tak dapat
menjaga apa yang menjadi milik kita. Tak bisa layaknya mereka,
‘makhluk-yang-paling-sempurna’, yang bisa bergerak kesana kemari, menggunakan
akalnya, memperjuangkan segala haknya, dan kadang merebut hak kita.
Tuan Pangrango : Itu sudah
takdir kita. Kita menjadi bagian semesta ini. Dimana semesta ini dikuasai oleh
mereka, lebih tepatnya akal mereka. Kita adalah milik Tuhan yang dipersembahkan
untuk mereka. Kita diciptakan untuk mereka. Apa yang menjadi milik kita, adalah
untuk mereka.
Tuan Gede : Aku
terima jika itu takdir kita. Aku bersedia menjadi harta mereka. Namun jika kita
adalah harta mereka, tak adakah rasa di hati mereka untuk menjaga kita? Apakah
kita hanya budak-budak yang memberikan segala milik kita untuk mereka, tanpa
mereka berusaha untuk menjaga kita?
Tuan Pangrango : Sudah takdir
kita, sudahlah.. Tuhan telah mempercayakan kita untuk menjadi milik mereka,
maka percayalah pada mereka.
Tuan Gede : Aku
takut, kita tidak mampu menjadi harta yang mereka wariskan untuk keturunannya. Aku
ingin pohon-pohon di kerajaanku terus hidup, terus memberikan kehidupan bagi
mereka. Aku takut, kita akan tiada beberapa tahun lagi. Aku takut akan
kehidupan yang akan datang. Kehidupan yang tanpa kita, tanpa udara. Aku takut dengan rumah tanpa halaman, dengan
jalan-jalan tanpa tumbuhan, dengan hutan-hutan pemukiman, dengan bumi tanpa
hayati di dalamnya. Aku takut..
Tuan Gede terbatuk-batuk. Sebab
dia sudah tak memiliki bara lagi di hatinya, maka keluarlah mata air di di
sebelah barat kerajaannya. Mata air penuh luka. Sebagai bentuk lelahnya para
petinggi. Selama ini telah menyerahkan segala milik diri. Tapi seakan tidak
mampu selamanya untuk berbakti. Tuan Pangrango tak merespon tingkah kawannya,
dan kemudian membacakan sebuah syair,
Alam ini tidak hanya harta berharga
Kita juga tempat untuk menempa
Mental dan akal mereka
Agar dapat bertahan untuk bernafas
Di antara kita yang sesungguhya kejam ini
Tidak seluruhnya begitu
Tidak seluruhnya dari mereka mengabaikan kamu
Tidak seluruhnya dari mereka
merusak atas kamu
Kita adalah harta permata
Dan dari mereka ada yang mencintai kita
Waktu terus berlari
Dunia terus mencari
Orang-orang yang menghargai diri
Supaya semakin banyak yang menghargai kami
Di saat yang sama. Angin dari
selatan pertiwi berhembus. Menghampiri tempat-tempat tertinggi di muka bumi. Menyebarkan
segala cerita. Menghibur para Petinggi yang tengah gundah berduka. Dan dengan
desaunya, angin menuturkan kata..
[Aku telah menjadi saksi atas banyak peristiwa.
Dan kita bukan ciptaan yang hanya menjadi harta. Kita punya banyak tugas yang
tak akan pernah lepas. ]
(photo by Arif Darmawan)
[Kita ditakdirkan menjadi tempat menempa ‘makhluk-yang-paling-sempurna’,
menguji mereka, menguji kekuatan hati mereka, membuktikan pencapaian mereka. Membuktikan
bahwa mereka adalah makhluk berakal, mahluk yang berpikir. Ini adalah tugas
yang amat terhormat]
[Kita adalah tempat Tuhan menyayangi mereka:
dimana kita adalah salah satu bentuk kasih sayang Tuhan untuk mereka. ]
[Kita adalah tempat Tuhan
menghancurkan mereka, tempat Tuhan mengeksekusi mereka, dan kita akan
menghakimi mereka sesuai tingkah mereka di muka bumi. Ini adalah tugas yang
teramat keramat. ]
(photo by Elvyra Aprilia)
[Kita ditakdirkan menjadi tempat
mereka berpijak, bernafas, hidup, dan mati. Segalanya tergantung mereka, dan
kita hanya mesti memberi respon yang setara]
(photo by: Muhammad Ardani Adia Masrura)
[Terutama, kita adalah harta
paling berkilau yang akan mereka wariskan pada keturuannya. Kita adalah harta
yang akan menguji mereka, akankah mereka menggunakan akalnya untuk
memperlakukan kita dengan bijak, atau menanggalkan akalnya untuk memperlakukan
kita dengan rusak. Kita adalah cara Tuhan menguji mereka. Dan ini adalah tugas
yang teramat bermartabat]
[Maka sepatutnya engkau tak usah
bersedih wahai para Petinggi. Tuhan tidak pernah ingkar, bahwa mereka adalah
makhluk yang sempurna, bahwa mereka mengerti jalan menghargai kita. Waktu akan
menjawab segala]
nice dilooo, lanjutkan yah. hahah
BalasHapusngehehehehehe,, makasih kang :D
Hapus