Kamis, 26 September 2013

Untuk seorang Teman

Aku punya seorang teman. Cowo. Tinggi. Gede. Mancung. Juga. (-_- ini apaan sih deskripsi sepotong-potong gini)

Kita sebut saja namanya Sam. Sam ini aku kenal dari sebuah UKM di kampus. Kita sama-sama anggota di UKM tersebut. Yah seperti kebanyakan orang yang mengenal satu sama lain karena berada dalam satu organisasi yang sama, aku dan Sam pada awalnya sebatas kenal doang, bahkan sebatas cukup tau ajah.  Selain karena kita berbeda program studi di kampus, dia juga nampak seperti orang yang sulit didekati.

Awalnya seperti itu.

Terus endingnya?

Happy ending ever after kaka …… *minta ditabok

*Prat pret dezigh*

Iya, awalnya seperti itu. 

Sampai kami tiba di masa pengkaderan dari UKM yang kami ikuti. Aku tak pernah menyangka bahwa dengan proses pengkaderan dari UKM tersebut, aku dibawa masuk ke kondisi dimana aku, pada akhirnya, lama-kelamaan, ternyata, membutuhkan dia. Kalo kita ngumpul, dia ga dateng, aku sedih. Kalo kita ngadain acara, dia ga dateng, aku sedih.  Orangnya aku kira cukup tertutup, dan karena itu aku diam.

Sampai pada akhirnya, aku mencapai titik kesabaranku, aku maksa dia buat cerita. Dan ternyata… dia adalah salah satu fans fanatik Zaskia Gotik!
*idih

Nggak. Dia cerita, kalo dia itu orangnya susah buat punya teman. Since ago, until now. His story is hard to be analyzed. *asik dah gaya beuuddh hahaha

Ceritanya itu bener-bener bikin aku ga ngerti dibandingin ngerjain UTS listrik magnet yang dari 7 soal setidaknya masih bisa aku kerjain dua soal sampai UTS berakhir *curhat*.

Aku ga ngerti. Pertama, dia bilang ga pernah punya teman. Lalu aku ini dianggap apa, teman-temannya di kuliahan dia anggap apa? Apa kita cuma dianggap pesut putih yang selalu ngeberisikin telinga dia? *kenapa analoginya pesut putih -_- ?* Aku kalau lihat profil facebook dia, foto profilnya seringkali lagi ga sendirian alias dia emang difoto sama orang lain. Lah orang lain yang di foto profil dia itu emang bukan temannya? Atau itu mas-mas tukang cendol yang dibayar buat pose telunjuk di bibir manyun sama dia? Demi alasan apapun, itu ga mungkin. Orang itu pasti temannya, mau beneran tukang cendol atau bukan, kalau Sam udah masang foto profilnya sama orang itu, berarti Sam pengen orang sedunia tahu kalau dia pernah foto dengan orang itu. Artinya, orang itu temannya Sam kan?

Kedua, mungkin ini sedikit menghakimi jadi maaf kalau tersinggung. Dia bilang kalau kondisi dia untuk ‘ga punya teman’ udah dari dulu. Berarti dia udah berpengalaman kan untuk masalah hidup solitary begitu. Terus kenapa harus dipermasalahkan? Kasarnya, kalau dia udah sering hidup di zona perang Israel-Palestina, denger bom meledak di kamar dia pun barangkali cuma dia anggap kayak musik pengiring tidur. (bom di kamar? Koit atuh -_-). Kalau dia sering berada di zona friendless kayak gini, wajarnya dia udah biasa dengan kondisi itu, dan ga perlu mempermasalahkan hal itu karena toh buktinya dia sampe sekarang masih bertahan hidup.

Ketiga, yang bikin aku paling bingung – melebihi bingungnya aku ketika melawan kebengisan soal UTS listrik magnet – yaitu karena ke-inersia-an dia di koordinat itu dan ga ada gaya internal dari diri dia sendiri untuk melakukan perpindahan dengan kecepatan tertentu dalam waktu sekian ke koordinat lain. *cih cih cuih hoeekk*
Iya. Dia nampak ga berusaha merubah kondisinya. Entah dia sudah nyaman disana, entah dia emang orangnya begitu. Dan ini yang paling takutkan; entah dia memang sudah PUTUS ASA.

Kalau aku lihat dari ekspresi dia ketika cerita, emang sih mukanya datar-datar aja. Ga datar banget juga sih soalnya dia mancung. Tapi aku bisa merasakan kalo dia butuh teman yang lebih dari sekedar pernah foto bareng di profil facebook. Dia butuh teman yang bisa menemani langkah dia. Dia butuh teman untuk cerita. Dia butuh teman yang mau menerima dia apa adanya.

Aku kembali bercermin pada diriku sendiri. Kalau dipikir-pikir dulu aku emang rada males buat temenan sama dia. Udah mah sering beda pendapat, kerjanya nge-bully aku terus. Pokoknya Sam ini orangnya ngehe banget. Tapi gatau karena proses kaderisasi dari UKM yang cukup rumit, aku secara perlahan masuk ke comfort zone sama dia. Walaupun tiap ketemu di-ngehe-in terus, tapi aku justru itu yang aku rindukan dari dia. Entah apa yang terjadi, tapi sebenarnya dia berhasil untuk membuat seseorang menjadi teman yang menerima dia apa adanya.

Aku memang ga bisa selalu ada di belakang atau depan langkah kaki dia. Aku juga memang ga bisa selalu mendengarkan cerita dia, dan aku kadang menuntut dia untuk menjadi seperti yang aku mau. Tapi aku pengen ngebawa dia untuk keluar dari zona Israel-Palestina-nya. Aku pengen dia pindah ke zona lain, zona dimana dia merasa nyaman untuk mengatakan “Aku punya teman.”

Aku percaya Sam sesungguhnya bisa melakukan itu. Sama percayanya aku ketika masih bertahan hidup saat keluar dari ruang UTS listrik magnet. Sam, dengan kamu percaya, maka keajaiban akan datang. Entah kini, esok atau di kemudian hari. Aku barangkali belum menjadi teman yang baik. Kamu barangkali berusaha lebih baik. Semua akan indah pada waktunya, Sam.


Dari temanmu

2 komentar: