Minggu, 13 Juli 2014

The Doctor

Cuba Gooding Jr (Pemeran Ben Carson) dan dr. Ben Carson

Sabtu, 12 Juli 2014. Pukul 04.20. Akhirnya saya merasakan juga apa yang orang sebut dengan GABUT (gaji buta) setelah hari-hari sebelumnya selalu terisi dengan aktivitas yang melibatkan pikiran, perasaan, dan kerinduan untuk pulang ke rumah. Monev PKM Dikti akhirnya sudah dilewati. Sekarang waktunya bersantai. Sedikit lebih santai mungkin. Hehe  

Dasar emang orang penurut nafsu, beres sahur, liat notebook Zahra yang lagi off, tergoda juga buat nonton film. Zahra yang kebetulan lagi nginep di kosan saya pagi itu rasanya mudah sekali meminjamkan notebook pada saya. Biasanya, jika saya pinjem ‘Si Putih’ (warna notebooknya putih), jawaban favoritnya adalah,

“Dipake.” Tentunya dengan pandangan yang tak lepas dari layar LCD 11 inch itu.

Saya tersenyum senang. Saya sedikit menduga bahwa kebaikan Zahra pagi itu disebabkan karena dia sedang berada di kosan saya. Sedang memanfaatkan kemurahan hati saya untuk berlindung dari dinginnya udara pagi Jatinangor. Coba aja kalau lagi di kampus siang-siang? Heehhee peace Zah..  

Saya melihat daftar film yang ada. Judul yang menarik, tapi ternyata serial. Rasanya ingin menonton film sekali tonton. Ada film sekali tonton, judulnya tidak mengundang gairah. Tapi setelah menggunakan naluri Movielateli (movie-filateli, ga nyambung emang) saya memilih menonton film berjudul “The Ben Carson Story”.

“Film bagus Dil, latarnya kedokteran.” Zahra menimpali.

Yah, sejauh ini, saya selalu menyukai film-film bertema medis. Banyak hal menarik yang didapat dari kehidupan orang-orang yang berusaha menjaga kesehatan dan kehidupan orang lain yang sama sekali bukan saudaranya. Iya ga sih?

Film berdurasi 1.5 jam lebih ini dimulai dengan adegan dimana sepasang suami istri yang sedang mengkonsultasikan kehamilan sang istri pada seorang dokter, nampak terkejut ketika sang dokter menunjukkan sesuatu pada pasangan tersebut. Kemudian diketahui bahwa bayi yang tengah dikandung sang istri ternyata kembar siam di bagian kepala. Setting selanjutnya berganti kepada seorang dokter Ben Carson yang dipinta oleh pihak rumah sakit untuk menindak kasus bayi kembar siam ini. Sang dokter ragu dan sempat menolak tawaran itu. Tapi ketika dia memandangi anak-anaknya yang tengah tertidur, hal itu menjadi penyemangat baginya untuk mengambil tawaran operasi itu.

flash back’s time! Cerita tentang masa lalu Ben Carson yang mulanya seorang siswa bodoh, kemudian menjadi siswa pintar bahkan teladan di sekolahnya yang kebanyakan diisi oleh siswa kulit putih. Yang membuat saya terkesan dengan perubahan itu adalah peran ibunya Ben, Sonya, yang walaupun buta huruf, tapi berusaha keras untuk tidak memperlihatkan kekurangan itu pada kedua anaknya. Sonya dengan rela mengeluarkan uang tabungannya untuk membelikan Ben kacamata. Selain itu, sang Ibu juga mendidik anaknya dengan cara tak langsung (bisa dipastikan karena ketidakmampuannya dalam membaca).

“Seminggu hanya dua program televisi yang ditonton!”
“Dalam seminggu harus menghabiskan dua buah buku dan merangkum isinya dalam sebuah tulisan. Kemudian melaporkan isi tulisan itu pada Ibu.”

Keren.

Sang anak (Ben dan Kakaknya), untungnya menurut dan mengerjakan perintah Ibunya. Hingga akhirnya Ben – karena sering membaca dan berlatih – menjadi siswa teladan di sekolahnya dan mulai menyatakan keinginannya menjadi dokter.

Konflik yang membuat saya tersentak adalah masa dimana Ben beranjak remaja dan menjadi salah gaul. Ia menjadi temperamen bahkan dalam suatu adegan, dia berusaha membunuh Ibunya dengan palu. Saya tahu film ini diambil dari kisah nyata. Tapi jika melihat dari awal bagaimana Ben dididik dan bekerja keras – juga bagaimana ia begitu menyayangi ibunya – apa iya Ben pernah nyaris membunuh ibunya?

Konflik selesai ketika ia yang lagi-lagi nyaris menusuk temannya, seketika menyesal dan berdoa pada Tuhan agar ia sanggup meredam sikapnya yang temperamental.

Adegan-adegan selanjutnya sebagian besar mengisahkan kesuksesan-kesuksesan yang ia capai; memperoleh magang di Johns Hopkins yang hanya menerima 2 orang dari 125 (atau 152?) pelamar, keberhasilannya mengoperasi seorang pemuda yang mengalami kecelakaan saat bermain baseball padahal saat itu Ben belum boleh beroperasi, kemampuannya dalam menyembuhkan seorang gadis kecil dari kejang-kejang dengan operasi Hemispherectomy, dan terakhir tentu saja, berhasil melakukan operasi pemisahan bayi kembar siam itu dengan baik.

Ada dua bagian yang menarik bagi saya, yaitu saat Ben kembali bekerja dengan penuh semangat padahal baru saja kehilangan anak ketiganya, dan pada saat ia mengatakan “Ya, saya berdoa setiap hari.”
Saya memandang bahwa orang yang bangkit dari ratapannya dengan begitu cepat dan bahkan melakukan hal yang lebih baik di kemudian hari ini adalah jenis-jenis manusia keren yang sangat memahami pepatah yang mengatakan “Setiap hari adalah kesempatan kedua”. Jadi untuk apa mempermasalahkan masa lalu? Hari esok kita masih bisa berbuat lebih baik.

Seharusnya begitu.

Dan pada saat Ben mengatakan, “Saya berdoa setiap hari.” Dan pasiennya memandangi Ben dengan tatapan takjub. Oh maaaan .. apa sebegitu kuatnya fenomena Dokter yang jarang berdoa?
Saya yang bukan orang medis pun memahami, bahwa Doa adalah penyembuh yang paling essensial untuk penyakit apapun.

Film ini bukan jenis film yang bikin jantung ketar-ketir karena adrenalin yang terus terpacu. Tapi ajaibnya, saya dengan sangat sadar merasakan bahwa semangat saya menjadi sangat terpacu. Yah, efek film motivasi ini masih menjangkiti sampai saya menulis tulisan ini. Melihat yang Sonya Carson lakukan pada anaknya, saya jadi ingin menuliskan rangkuman dari buku apa pun yang saya baca. Semoga bukan hanya keinginan.

Film ini wajib ditonton karena memperlihatkan dengan sangat jelas bahwa kesuksesan hanya dapat diraih dengan banyak belajar, kemauan yang kuat, kerja keras, dan dukungan dari orang-orang terdekat.
Jadi siapakah Ben Carson selanjutnya? J  

   

Sabtu, 05 Juli 2014

UPGRADABLE SISTA

Dulu, sebagai anak pertama, saya berpikir, bahwa saya memiliki kemampuan yang lebih dibanding adik saya, Mila. Seriusan. Menurut saya, dan beberapa orang yang tidak dapat saya sebutkan namanya (haha) saya lebih berani dari dia, lebih cerdas, lebih kreatif dan lebih rajin. Seingat saya, intensitas pertengkaran saya dengan ibu masih jauh dibawah intensitas pertengkaran ibu dengan dia – karena emang orangnya kadang bikin kesel. Usia kami tidak terpaut jauh, hanya terpisah 17 bulan. Saking miripnya perawakan kami, kadang kala orang tertukar untuk menilai kami sehingga aku sering dianggap adiknya dan dia kakaknya – ah betapa karunia baby face ini membuat saya terlena. Hahahhaa

Saya satu sekolah dengannya dari TK hingga Tsanawiyyah,. Sedangkan saya melanjutkan sekolah ke SMA Negeri, dia tetap melanjutkan Aliyahnya di Lembaga yang sama. Berhubung SMA yang saya masuki ini adalah SMA favorit, yaaah perasaan sombong mah pernah ada lah yaa. Apalagi di hadapan Mila yang kalau saya lihat sehari-hari kerjaannya hanya ngurusin muka aja sampe belajar pun diabaikan. Enggak seperti saya, yang ngurusin muka aja nggak, belajar juga kagak. Hahaahahaa

Sikap ibu saya sering kali menunjukkan bahwa dia lebih mempercayai saya dibanding Mila. Apa-apa nyuruh ke saya, apa-apa minta ke saya, apa-apa dikasih ke saya. Saya tahu Mila cemburu. Dia bahkan pernah secara frontal mengatakan bahwa dia iri pada saya yang terus menerus dituruti permintaannya oleh Ibu. Saya baru tersentak saat itu. Selama ini saya terlena oleh kasih sayang ibu yang berlebih terhadap saya, hingga mungkin meremehkan adik saya yang menurut pandangan durjana saya – lo bisa apa sih dibanding gue?

Iya sih saya nggak sampe nangis menyadari itu, hanya saja saya jadi enggak enak sama adik saya, sampe kebawa mimpi. Apalagi pas saya lagi menempuh masa-masa pasca UN SMA, ibu saya keliatan banget ngasih semua perhatiannya ke saya karena saya mau ikut SNMPTN tulis (taun 2012 masih ada SNMPTN tulis). Sudah tak terkira lagi rasa ga enak saya ama Mila. Kelakuan Mila di rumah, kebanyakan uring-uringan dan bikin kesel ibu saya. Kalau saya analisa, kasih sayang ibu yang berlebihan pada saya bisa jadi pemicu terbesar kelakuan adik saya jadi kayak gitu. Saya hanya diam aja. Sementara ibu saya dan orang lain berpikir bahwa Mila makin ga ada apa-apanya dibanding saya, saya malah berpikir bahwa saya ini begitu berdosa pada adik saya itu.

Sampe akhirnya saya kuliah di Unpad dan terpisah dari orang rumah membuat saya sedikit bersyukur karena terhindar dari perang dingin ibu dan Mila. Heheheh

Satu tahun terlewati, dan tak disangka, adik saya pun diterima masuk Unpad melalui SBMPTN. Kami satu  kampus dan satu kosan. Saat itu kosan kami cukup jauh dari kampus. Saya sih biasa-biasa saja dengan kondisi kosan yang nan jauh di mato begitu. Tapi adik saya lain lagi. Mungkin pengaruh karena menjadi mahasiswa baru, dia butuh sering ke kampus dan berkumpul dengan teman-temannya untuk memperoleh informasi apapun entah tentang kuliah, ospek, bahkan kosan yang nyaman. (well, ternyata dia udah berniat pindah kosan sejak pertama masuk Unpad. Hahaha), makanya dia sangat tidak menerima kondisi kosan kami yang menyulitkan buat dia. Dan yang terjadi selanjutnya adalah, adik saya nomaden di kosan teman-temannya. Hari ini nginep dimana, besok nginep dimana. Barang-barang pribadi dan baju-baju dia udah pindah rumah. Jadilah saya penghuni tunggal kosan kami. Zzzz  

Selama hampir satu tahun, isu yang selalu ditiupkan adik saya adalah masalah survey kosan baru. Bahkan baru tengah semester pertama aja dia udah cari kosan baru. Saya jengah juga, karena tiap kita ketemu,
“Yu, sudah cari kosan?”
Pokonya, Mila ini bawel banget masalah kosan, dan dia tipe orang perfeksionis yang segalanya ingin sempurna.
Zzzzzzzzzzzzz……

Awalnya saya acuhkan isu-isu yang dia tebarkan itu, sampe akhirnya masa menjelang UAS semester genap pun tiba. Kami sudah fix akan pindah kosan, dan ibu saya turun tangan langsung nyuruh saya nyari kosan – belakangan saya tahu Mila curhat sama Ibu soalnya Mila ga pernah saya dengerin.

Tapi masalahnya, waktu itu saya lagi fokus terhadap beberapa hal, persiapan UAS, belum kegiatan organisasi dan ikut program kreativitas mahasiswa (PKM) juga. Alhasil, saya boro-boro bisa nyari kosan, kosan lama pun sering saya tinggal. Udah bodo amat, saya serahin semua urusan kosan baru sama adik saya. Mila masih sering nanya pendapat saya tentang kosan ini, fasilitas ini, harganya segini. Tapi emang saya udah apatis banget buat masalah begituan jadi saya iya-iya aja.

Syahdan, adik saya udah nemuin kosan baru yang dinilainya nyaman. Saya masih apatis, ga tergerak untuk bantuin apa-apa. Hingga puncaknya, kemarin ibu nelpon saya sambil marah-marah karena saya sama sekali ga bantuin adik saya untuk menyelesaikan permasalahan kosan. Saya berdalih bahwa saya sibuk dan ga ada waktu buat ngurus masalah kosan. *belagu banget ga sih gueeee

Tapi saya sadar ibu saya ga akan semarah itu kalau saya ga sampe keterlaluan kayak gini. Merasa agak bersalah, saya hubungi Mila dan ngajak dia buka puasa bareng sekalian mau ngomongin masalah pindahan. Beruntung dia menerima dengan antusias dan berencana mengajak saya melihat kosan yang baru. Begitu saya masuk ke kosan kami yang baru, sampe di ruang tamu, saya cukup terkesan karena disana ada sofa. Seketika saya berpikir mungkin saya bisa ngajak anak-anak rapat disana. Hehehe
Kamar kami bernomor 5. Begitu saya masuk kamar, waaah saya makin terkesan. Kamarnya cukup luas untuk kami berdua, dan sudah ada perabotan kamar hasil pencarian sendiri oleh adik saya. Kamar mandinya di luar dan saya lihat kondisinya sangat baik dan bersih. Masih belum selesai saya terpana, adik saya sudah komentar,

“Nanti buffet di rumah mau dibawa kesini, nanti disimpen disana, dan aku mau beli tivi..”
“Hah? Tivi? Uangnya dari mana?” Tanya saya
“Lagi nabung..” kata dia santai. Saya terperangah mendengarnya.

Dalam perjalanan pulang ke kosan yang lama untuk beres-beres disana, saya banyak merenung. Saya rasanya tidak akan sebecus itu dalam mengurusi permasalahan kosan. Saya malu sama adik saya. Saya tidak pernah bantu apa-apa, sedikit pun, tapi dia mampu membuat saya terpana dengan hasil kerjanya.

Saya tidak lagi melihat seorang Mila yang manja, pemarah, dan maunya serba instan. Rasanya, dia sekarang sudah sangat dewasa jika dibandingkan dengan saya. Perfeksionis dan visioner, adikku ini ternyata berharga sekali. Dan saya tidak sanggup lagi untuk meremehkannya seperti dulu. Toh kemampuannya sekarang makin terlihat jelas. Saya membayangkan jika saya yang mengurusi masalah cari kosan ini, kemungkinan besar akan membuat dia kecewa, bahkan saya mungkin akan kecewa dengan kinerja saya sendiri. Iya benar, setiap manusia memiliki kelebihannya masing-masing.  

Her name is Mila, my upgradable sista..    






Kamis, 03 Juli 2014

KIAMAT

Semua terpaku mendengar ucapan Kenneth.
“Bagaimana jika itu arah barat?” ulangnya sambil menunjuk arah matahari terbit. Sinarnya menyembul dibalik gunung-gunung yang menjulang.  
Beiser sambil tertawa melecehkan, ia mengeluarkan kompas dari dalam carriernya dan menunjukkan pada Kenneth.
“Itu arah timur. Kau lihat kompas ini?” Griffith mencemooh.
“Aku tidak mau melihat dengan mataku. Aku hanya melihat dengan hatiku dan berprasangka, itulah arah barat. Hari ini matahari terbit dari barat.” Kenneth bersikeras. Beiser dan Griffith mengangkat bahu.
Tanah tiba-tiba berguncang. Gunung-gunung tiba-tiba terangkat, langit seakan runtuh. Griffith dan Beiser berteriak. Dan Kenneth terbangun dari tidurnya.

“Terima kasih Tuhan. Hari ini belum kiamat.”