Cuba Gooding Jr (Pemeran Ben Carson) dan dr. Ben Carson
Sabtu, 12 Juli 2014. Pukul 04.20.
Akhirnya saya merasakan juga apa yang orang sebut dengan GABUT (gaji buta)
setelah hari-hari sebelumnya selalu terisi dengan aktivitas yang melibatkan
pikiran, perasaan, dan kerinduan untuk pulang ke rumah. Monev PKM Dikti
akhirnya sudah dilewati. Sekarang waktunya bersantai. Sedikit lebih santai
mungkin. Hehe
Dasar emang orang penurut nafsu, beres
sahur, liat notebook Zahra yang lagi off, tergoda juga buat nonton film. Zahra
yang kebetulan lagi nginep di kosan saya pagi itu rasanya mudah sekali meminjamkan
notebook pada saya. Biasanya, jika saya pinjem ‘Si Putih’ (warna notebooknya
putih), jawaban favoritnya adalah,
“Dipake.” Tentunya dengan pandangan
yang tak lepas dari layar LCD 11 inch itu.
Saya tersenyum senang. Saya sedikit
menduga bahwa kebaikan Zahra pagi itu disebabkan karena dia sedang berada di
kosan saya. Sedang memanfaatkan kemurahan hati saya untuk berlindung dari dinginnya
udara pagi Jatinangor. Coba aja kalau lagi di kampus siang-siang? Heehhee peace
Zah..
Saya melihat daftar film yang
ada. Judul yang menarik, tapi ternyata serial. Rasanya ingin menonton film
sekali tonton. Ada film sekali tonton, judulnya tidak mengundang gairah. Tapi setelah
menggunakan naluri Movielateli (movie-filateli, ga nyambung emang) saya memilih
menonton film berjudul “The Ben Carson Story”.
“Film bagus Dil, latarnya
kedokteran.” Zahra menimpali.
Yah, sejauh ini, saya selalu
menyukai film-film bertema medis. Banyak hal menarik yang didapat dari
kehidupan orang-orang yang berusaha menjaga kesehatan dan kehidupan orang lain
yang sama sekali bukan saudaranya. Iya ga sih?
Film berdurasi 1.5 jam lebih ini
dimulai dengan adegan dimana sepasang suami istri yang sedang mengkonsultasikan
kehamilan sang istri pada seorang dokter, nampak terkejut ketika sang dokter
menunjukkan sesuatu pada pasangan tersebut. Kemudian diketahui bahwa bayi yang
tengah dikandung sang istri ternyata kembar siam di bagian kepala. Setting selanjutnya
berganti kepada seorang dokter Ben Carson yang dipinta oleh pihak rumah sakit
untuk menindak kasus bayi kembar siam ini. Sang dokter ragu dan sempat menolak
tawaran itu. Tapi ketika dia memandangi anak-anaknya yang tengah tertidur, hal
itu menjadi penyemangat baginya untuk mengambil tawaran operasi itu.
flash back’s time! Cerita tentang masa lalu Ben Carson yang mulanya
seorang siswa bodoh, kemudian menjadi siswa pintar bahkan teladan di sekolahnya
yang kebanyakan diisi oleh siswa kulit putih. Yang membuat saya terkesan dengan
perubahan itu adalah peran ibunya Ben, Sonya, yang walaupun buta huruf, tapi
berusaha keras untuk tidak memperlihatkan kekurangan itu pada kedua anaknya. Sonya
dengan rela mengeluarkan uang tabungannya untuk membelikan Ben kacamata. Selain
itu, sang Ibu juga mendidik anaknya dengan cara tak langsung (bisa dipastikan
karena ketidakmampuannya dalam membaca).
“Seminggu hanya dua program televisi
yang ditonton!”
“Dalam seminggu harus
menghabiskan dua buah buku dan merangkum isinya dalam sebuah tulisan. Kemudian melaporkan
isi tulisan itu pada Ibu.”
Keren.
Sang anak (Ben dan Kakaknya),
untungnya menurut dan mengerjakan perintah Ibunya. Hingga akhirnya Ben – karena
sering membaca dan berlatih – menjadi siswa teladan di sekolahnya dan mulai
menyatakan keinginannya menjadi dokter.
Konflik yang membuat saya
tersentak adalah masa dimana Ben beranjak remaja dan menjadi salah gaul. Ia menjadi
temperamen bahkan dalam suatu adegan, dia berusaha membunuh Ibunya dengan palu.
Saya tahu film ini diambil dari kisah nyata. Tapi jika melihat dari awal
bagaimana Ben dididik dan bekerja keras – juga bagaimana ia begitu menyayangi
ibunya – apa iya Ben pernah nyaris membunuh ibunya?
Konflik selesai ketika ia yang
lagi-lagi nyaris menusuk temannya, seketika menyesal dan berdoa pada Tuhan agar
ia sanggup meredam sikapnya yang temperamental.
Adegan-adegan selanjutnya
sebagian besar mengisahkan kesuksesan-kesuksesan yang ia capai; memperoleh
magang di Johns Hopkins yang hanya menerima 2 orang dari 125 (atau 152?)
pelamar, keberhasilannya mengoperasi seorang pemuda yang mengalami kecelakaan
saat bermain baseball padahal saat itu Ben belum boleh beroperasi, kemampuannya
dalam menyembuhkan seorang gadis kecil dari kejang-kejang dengan operasi Hemispherectomy, dan terakhir tentu
saja, berhasil melakukan operasi pemisahan bayi kembar siam itu dengan baik.
Ada dua bagian yang menarik bagi
saya, yaitu saat Ben kembali bekerja dengan penuh semangat padahal baru saja
kehilangan anak ketiganya, dan pada saat ia mengatakan “Ya, saya berdoa setiap
hari.”
Saya memandang bahwa orang yang
bangkit dari ratapannya dengan begitu cepat dan bahkan melakukan hal yang lebih
baik di kemudian hari ini adalah jenis-jenis manusia keren yang sangat memahami
pepatah yang mengatakan “Setiap hari adalah kesempatan kedua”. Jadi untuk apa
mempermasalahkan masa lalu? Hari esok kita masih bisa berbuat lebih baik.
Seharusnya begitu.
Dan pada saat Ben mengatakan, “Saya
berdoa setiap hari.” Dan pasiennya memandangi Ben dengan tatapan takjub. Oh
maaaan .. apa sebegitu kuatnya fenomena Dokter yang jarang berdoa?
Saya yang bukan orang medis pun
memahami, bahwa Doa adalah penyembuh yang paling essensial untuk penyakit
apapun.
Film ini bukan jenis film yang
bikin jantung ketar-ketir karena adrenalin yang terus terpacu. Tapi ajaibnya,
saya dengan sangat sadar merasakan bahwa semangat saya menjadi sangat terpacu. Yah,
efek film motivasi ini masih menjangkiti sampai saya menulis tulisan ini. Melihat
yang Sonya Carson lakukan pada anaknya, saya jadi ingin menuliskan rangkuman
dari buku apa pun yang saya baca. Semoga bukan hanya keinginan.
Film ini wajib ditonton karena
memperlihatkan dengan sangat jelas bahwa kesuksesan hanya dapat diraih dengan
banyak belajar, kemauan yang kuat, kerja keras, dan dukungan dari orang-orang
terdekat.
Jadi siapakah Ben Carson
selanjutnya? J