Selasa, 30 Juli 2013

OUTDOOR GEAR #Part 2



Buat yang belum baca bagian pertama-nya, bisa dibaca di

OUTDOOR GEAR #Part 1 :D


Saat kami tiba, di Pengalap sudah ramai oleh PA-PA lain yang mendirikan tenda. Kira-kira ada 3 buah tenda yang sudah didirikan. Kami awalnya mau mengisi salah satu area kosong di lahan luas itu. Tapi Kang Antono nyuruh kita pindah ke lahan sebelah yang ternyata lebih luas dan masih kosong. Maka dengan sukacita kami pindah ke lahan sebelah dan segera bagi job desk. Aku sendiri kebagian masak. Nah disini kembali keliatan kinerja persiapan logistik kita yang amburadul. Aku terus-menerus nanyain logistik ke anak-anak karena kurang tahu keberadaan benda-benda tesebut.

“Wortel dimana woy?” “Di tas Anton”
“Panci dimana?” “Di tas Arli”
“Hei ada yang tahu dimana bumbu sop ?” “Di tas kamu dil” “Oh iya? Kok aku lupa ya?” “zzzz”
“Pisau pisau ?” “Di tas aku dil”
Aksi tanya-jawab yang berlangsung intens ini bikin aku gereget buat nanya,
“Hei aku dimana?”
Kali aja ada yang jawab, “Di hatiku”
Tapi ga jadi ah, hehehehe.

Jadi koki di tengah hutan ? It’s simply hard. Di rumah aja aku jarang masak, lah ini aku harus masak untuk enam orang cowok yang porsi makannya nggak lazim. Sempet depresi juga. Mau curhat ke wortel juga ga mungkin. Untung kang Swach inisiatif bantuin aku masak. Malah dia jadi sejenis ‘cooking guide’ gitu.

“Dil, ini nasinya kurang air.” He said.
“Dil, kalau masak sop tuh jangan langsung semuanya dimasukin. Apa dulu coba?” He asked.
“Hehe, menurut akang mending apa dulu?” I JOKED.
“….” He downed. Hehehe

Sebagai wanita, aku merasa tertohok LAGI oleh kang Swach ini. Kok dia lebih apik dari aku ya? Gara-gara punya pacar kali ya? Makanya dil.. itu cowo yang ngantre jangan diabaikan. Iya ngantre minta nabok. *hahaha miris*

Kang Antono sama Arli duet bikin api. Kayu-kayunya basah karena hujan sore tadi. Duet anggota muda dan anggota penuh ini menghasilkan api yang labil. Mati-hidup-mati-hidup. Berarti Arli harus jadi anggota penuh, kali aja apinya jadi makin labil *loh*. Rivo lagi beres-beres tenda, Hafizh dan Anton lagi nyerut kayu. Aku masak nasi, telor orak-arik dan sop sayur buanyak banget. Aku udah janji ke Anton mau bikinin makan enak. Dan aku emang bikinin sop yang enak banget, meskipun persentase enaknya 50.1 % dipegang kang Swach lah yaa.. hehehee

Pas persiapan camp craft ini, kita kedatangan tamu. PA dari UPI yang baru Attack from the Summit (istilah apa pula ini). Mereka singgah di camp kita sekitar Maghrib dan berniat langsung turun malam itu juga. Gila, keren banget. Batinku. Kayak ga ada capeknya gitu. Meskipun kita kasih mereka suguhan seadanya, Alhamdulillah mereka menikmati sekali nampaknya. J

Selesai semuanya. Makan udah. Api jadi. Dan tenda tinggal dimasuki. Eh DP ngajak curhat.

“Logistik kalian gimana? Masih cukup sampai Senin?” selidik kang Antono. Sejenak hening. Suara binatang malam mulai mewarnai suasana hutan. Angin dingin menusuk tulang.  Kami terhanyut oleh pikiran masing-masing.
“Saya mau jujur kang.” Arli memulai. Semua tegang menunggu apa yang akan Arli katakan.
“Sebenarnya saya ini penyanyi dangdut.” 
GUBRAK. Oke ini bercanda.
“Sebenarnya kita ada miss. Saya bikin susunan konsumsi untuk 3 hari sedangkan logistik konsumsi yang kita bawa untuk 2 hari. Saya kira disamain aja dengan Tim Slamet yang hanya dua hari.” Kata Arli pelan dengan tatapan nanar memandangi api yang berkobar.
*krik krik* hening menyelimuti. Aku mendesah pelan. Tuhan lindungilah kami.
“Kalau kita summit hari senin, jam berapa berangkat dari camp terakhir?” Tanya kang Swach.
“Kurang lebih jam 4 atau 5 kang.” kata Hafizh.
“Gimana kalau kita summit besok? Kalau mau dapat sunrise, kita berangkat jam 1.”
*krik krik* hening makin menyelimuti.
“Tapi Anton lagi gak fit kang,”
“Yaudah sekarang Anton istirahat aja dan besok bangun paling terakhir. Biar kita aja yang siapin logistik.”

Hmm, kita di ketinggian 1625 mdpl dan puncak 3078 mdpl. Berarti kurang lebih kita harus mendaki 1400 mdpl. Ahahahahahikshikshiks *bengek langsung*
Tapi karena pertimbangan logistik, akhirnya kita bulatkan tekad bahwa kita summit attack besok jam 1. Aku merasa senang bisa summit besok dengan harapan akan bertemu dengan Tim Slamet di puncak. Sebelum persiapan tidur, aku bikin agar-agar dulu buat jadi bekal ke puncak. Setelah beres-beres, kita semua pergi tidur. Semoga besok bisa tepat waktu dan memperoleh sunrise di puncak Ciremai.
***
“Dil bangun..” seseorang berambut keriting dengan sarung di bahunya membangunkan aku. Aku langsung terjaga untuk antisipasi bahwa itu orang jahat. Oh. Ternyata Arli. Hehe.
Takjub juga, Arli yang pas di kampus biasanya susaaaaaaah banget disuruh bangun, ini di hutan kenapa jadi yang paling pagi bangunnya ? Entahlah, hanya Tuhan yang tahu.

Aku langsung masak mie instan buat sarapan. Dua bungkus mie dimasak untuk 7 orang, sebagai energi untuk mendaki puncak yang masih 1400-an lagi. *kuat kuat kamu kuat*. Camp PA lain sepi banget. Belum pada bangun kayaknya karena di camp kita doang yang terdengar grasak-grusuk.
Setelah semuanya bangun dan ganti baju tempur, kita membentuk jongkok melingkar untuk sarapan bersama-sama. Enak banget indomie rendang di pagi yang dingin itu, meskipun tidak mengenyangkan. Hahaha.
Ketika akan berangkat, tiba-tiba terdengar suara binatang yang melenguh – seperti babi hutan. Kami semua terpaku.

“Danlapnya pegang golok!” kata kang Swach. Aku semakin khawatir mendengar komando itu. Apa yang akan kita hadapi di depan sana? Aku mengkhawatirkan itu ‘si cantik’. Astaghfirullah.

Maka setelah berdoa memohon keselamatan, kita memulai perjalanan ke puncak. Kita ngaret lagi dan jadinya berangkat jam setengah tiga pagi. Aku bawa head carrier yang isinya obat-obatan dan sedikit makanan ringan. Kita juga bawa dua carrier yang dibawa secara bergantian. Aku bawa senter dengan kekuatan lumayan namun dengan jeniusnya aku ga bawa batre cadangan. Berhubung senternya baru dipake, aku masih tenang-tenang aja karena sinarnya masih cukup kuat.

Langit pagi ini terang benderang dengan taburan bintang-bintang yang luar biasa banyak. Aku membayangkan bahwa nanti di puncak kita akan mendapatkan cuaca yang bagus sekali. Maka dari itu aku semangat sekali berjalan. Anton masih kurang fit ternyata. Tapi karena saat itu gelap dan jika kita berjarak cukup jauh dari danlap maka akan cukup mengerikan juga, Anton nampak berusaha untuk menjaga jaraknya dengan Arli. Aku terus menerus menanyakan waktu pada Rivo. Bener-bener takut untuk ketinggalan sunrise. Namun ketika langit perlahan-lahan membiru, aku gigit jari. Itu sekitar pukul lima lebih. 

Di ketinggian ±2300 mdpl, aku melihat cakrawala yang mulai menguning. Sang surya akan segera bangkit dari peraduannya, dan kita tak mungkin mendapatkannya di puncak Ciremai. Sialnya, kita masih di hutan dengan vegetasi yang masih amat lebat sehingga untuk menyaksikan sunrise dari ketinggian kita saat itu pun sulit sekali. Dalam hati aku ingin menjerit. Berharap Tuhan menahan pergerakan jarum jam, berharap aku bisa terbang, berharap bahwa koordinat di GPS menyatakan bahwa sebenarnya kita sudah di ketinggian 3000 mdpl. Tapi gak mungkin, dan Anton juga masih kurang fit. Ya sudahlah. Aku menahan perasaan yang bergolak ini. Jangan egois, jangan egois. 
 Akhirnya aku pasrah dan terus berjalan. Kita solat shubuh di ketinggian 2400 mdpl. Itu sekitar pukul setengah enam pagi. Langit sudah cukup terang.
Saking tidak proporsionalnya area ini untuk dijadikan tempat solat, kang Antono nyaris terguling pada saat duduk takhiyat akhir. Dan aku malah menertawainya. Hahaha. Astaghfirullah.

Kita melanjutkan perjalanan. DP menyalib kita dan mereka melesat jauh kedepan. Arli ingin aku merasakan apa yang dari tadi anak cowok rasakan, yaitu bawa carier yang – ugh – berisi nesting isi agar-agar dan kompan. Oke aku coba dan ternyata – Aih. Berat banget dibandingkan head carrier yang isinya ecek-ecek. Hahaha
Dan aku bawa carier di medan yang permukaannya batu semua. Ini menuju Pos Sangga Buana 2. Menyesali kenapa aku ga bawa carier ini pas di awal perjalanan aja, disaat medannya masih aman. Oke jangan menyerah!

Aku mensugesti pikiranku bahwa puncak sebentar lagi. Maka dengan semangat ingin melihat sun-hot di puncak, aku melompati semua batu-batu yang menghadang – hehehe – dengan susah payah. Karena fokus penuh pada pijakan kaki dan terus melangkah, tahu-tahu aku udah jauh ninggalin mereka dan bahkan ketemu DP yang lagi istirahat. Akhirnya aku istirahat juga. Menuju pos terakhir, Pengasinan (±2700 mdpl), aku jadi danlap *wahahaha* bener-bener kebelet pengen makan karena kita Cuma bisa makan kalau udah nyampe puncak. This is the power of hungry.
Entah di ketinggian berapa, aku sempet ambil view langit berawan yang luar biasa. 




        
Dan saat tiba di Pos Pengasinan, disana ada PA yang lagi camp dan kayaknya baru balik muncak. Disini ambisi kita untuk makan di puncak goyah, dan akhinya membuka cemilan biskuit coklat dari kang Antono. 
 Pos Pengasinan 

 Baru pada ‘buka puasa’ dengan biskuit sedekah dari kang Antono


 Puncak Ciremai dari Pengasinan

Matahari udah mulai hot. Tapi yang ke puncak malah makin rame. Kita melanjutkan perjalanan sekitar pukul setengah sepuluh. Aku udah galau aja karena di atas jam 9 biasanya dari gunung berapi akan muncul gas belerang yang beracun. Tapi lihat yang lain masih semangat untuk melanjutkan perjalanan, ya sudah kita lanjuuuut.. 
 Padang edelweiss di perjalanan ke puncak

 Anton yang lagi galau dan berkunang-kunang

 Medan ke puncak Ciremai

Setelah lama bertarung dengan kemiringan medan, akhirnya! Kita nyampe di puncak Ciremai! Dengan berbinar-binar aku bersyukur bahwa aku berhasil sampai puncak dengan selamat. Allahu Akbar! Indah banget dari atas sini. Namun karena kita terlalu siang tiba di puncak, maka yang kita dapatkan adalah matahari yang serasa di ubun-ubun dan diterpa angin yang bersuhu rendah. Suhu ekstrim braaay. Pemandangan paling umum adalah samudra awan cumulus yang keren banget. :)

Setelah istirahat sebentar kita langsung makan bareng agar-agar yang luar biasanya masih tetap dingin. Agar-agarnya aku siram pake susu kental manis. Demi apapun, makan agar-agar rasa jambu yang dingin dengan saus susu kental manis yang lembut di atas puncak setelah mendaki dari pukul setengah tiga pagi itu bener-bener AMAT SANGAT SESUATU BANGET! Luar biasa nikmat. :D. menu selanjutnya adalah dua bungkus mie instan yang diremuk terus dimakan bareng-bareng. Wahahaha
Selanjutnya, bisa ditebak dong? Foto-foto…. 


 Kawah Ciremai








Kami berharap bertemu dengan Tim Slamet disini karena di tekdet, mereka muncak pagi ini. Maka aku teriakin nama Bima, Faris dan Lisa. Banyak yang menyahut tapi itu ternyata PA lain. (Setelah kembali ke Jatinangor, baru tahu ternyata Tim Slamet ngaret sehari karena mau muncak bareng-bareng sama kita. -_-)
Aku juga melakukan sesuatu untuk ibuku disini. Karena beliau ulang tahun di tanggal 28 Juni kemarin, maka aku sekalian ucapkan disini saja secara tertulis. 

Dalam juang aku bertingkah

Pola hidup yang tak kau mau

Aku bukan dalam pikiranmu Ibu

Karena aku ingin lebih dari apa yang kau pikirkan 
Wahai bunda permata hatiku
Selalu dalam doa-doamu 
adalah pintaku seumur hidup




Senin, 29 Juli 2013

OUTDOOR GEAR #Part 1

Judul catatan ini mirip slogan sebuah produk peralatan lapangan ya? Iya emang sengaja. Soalnya produk tersebut amat mendominasi perjalananku kali ini. *berasa promosi*
Pada tanggal 28 Juni 2013, aku dan kawan-kawan sedang bersiap-siap untuk melakukan simulasi ekspedisi ke Gunung Ciremai di Kuningan, Jawa Barat. Dari seluruh anggota di angkatan kami yang berjumlah 10 orang, dua orang yaitu Winna dan Ogi belum bisa ikut karena Ogi sakit dan Winna harus menjaga adiknya yang baru dikhitan. Kami waktu itu belum bisa berbuat banyak dan hanya terus mendoakan Ogi agar senantiasa diberi kesehatan. Dan Winna semoga diberikan ijin untuk ikut ekspedisi pasca lebaran nanti.
Ceritanya 8 orang yang akhirnya akan berangkat ini dibagi dua tim. Aku, Arli, Hafizh, Anton dan Rivo ditemani oleh DP yaitu Kang Swach dan Kang Antono akan mendaki Ciremai lewat jalur Linggarjati. Tim kedua adalah Faris, Lisa dan Bima ditemani Kang Imbar dan Kang Windo akan mendaki lewat jalur Palutungan. Yah .. satu tim satu cewe. Winna dan Ogi harusnya masuk ke tim kedua. Lisa yang sejak semula sudah merasa tenang karena menyangka Winna akan ikut dan di perjalanan dia gak bakal jadi cewe sendirian, mulai gundah membayangkan bahwa ia akan menjadi satu-satunya yang berjenis lain di tim kedua. Apalagi membayangkan bahwa Faris dan Bima adalah lelaki-lelaki macam begitu (maksudnya apa nih?), ditambah Kang Imbar dan Kang Windo yang bahkan lebih begini-begitu, waduh makin galau. (hehe becanda)
Singkat cerita, Lisa sempat meminta aku untuk pindah ke tim kedua dengan alasan agar kedua tim seimbang secara jumlah. Tapi aku nggak yakin DP bakal ngijinin karena tim aku udah komplit dan kalau diubah, takut pas ekspedisi entar aku gak mampu membiasakan diri untuk menjadi cewe sendirian. Akhirnya Lisa pasrah menerima nasib, dan kami berangkat.

Sebelum berangkat, kang Wahyu berpesan.
“Selama perjalanan kalian, anggap aja DP nggak ada. Abaikan saja. Tapi kalau pas makan, mereka perlu dianggap..”
Waaah nggak konsisten itu namanya. Abaikan ya abaikan, anggap ya anggap. Hahahaha *abaikan*

Oh ya mengenai persiapan pendakian ini, kita bener-bener dadakan. Apalagi aku baru mulai packing ba’da maghrib karena harus mengurus keperluan lain dulu. Anak yang lain juga sama dadakan semua. Alhasil, rencana semula yang bakal berangkat jam 8 malam, molor jadi jam setengah 11an. Aku pada saat itu lagi pake sepatu gunung baru yang aku beli dengan hasil menabung selama satu semester terakhir (bangga banget ya ?). Karena itu, waktu jalan dari sekre menuju shelter Damri, aku hati-hati banget jalannya. Hati-hati dalam melangkah, takut solnya kegesek, takut talinya gampang lepas, atau alasan-alasan alay lainnya. Pergerakan langkahku yang kaku ini agaknya diketahui Lisa dan akhirnya dengan mulut embernya, bocor deh rahasia sepatu baru ini. Faris menatap dengan buas sepatuku seakan ingin menginjak sepuas mungkin. Hal ini memaksaku untuk bersikap ansos – anti-sosial – menjauh dari kawan-kawan, demi keamanan sepatu baru.  

Kami menunggu di shelter Damri yang gelap gulita, dan Alhamdulillah kami kelewatan bis ke Cirebon sampe dua kali. Kesal, akhirnya kami bikin halte sendiri di depan pos polisi di perempatan Bungamas. Disini lumayan terang jadi kami berharap para supir bis itu mau melirik kami. Bis yang lewat sepanjang 15 menit pertama kami menunggu adalah bis pariwisata. 15 menit selanjutnya adalah bis ke entah kemana. Makin malam aku makin ngantuk, makin gak fokus. Sampai tiba-tiba datang mobil alphard menghampiri kami dengan pangeran berwajah kenek angkot tiba-tiba keluar dari dalam mobil hedon tersebut. Lho kok wajahnya kayak tukang kenek gitu ya? Oh bukan alphard, ternyata sebuah elf bro, ELF. *efek ngantuk*

Aku punya sedikit cerita dengan spesies bernama ELF ini. Ceritanya dulu pas kelas dua SMA, aku dkk mau ke Cikajang. Karena saat itu kocek kita lagi gak tebel (dan jaman SMA emang gak pernah tebel), maka kita memilih Elf demi keamanan pengeluaran uang. Singkat cerita, aku and the gank yang saat itu udah keren banget setelannya (setelan biasa anak sekolah : Kemeja lusuh dan jins belel serta tas punggung yang diisi penuh dengan buku gak jelas), masuk ke dalam elf yang….ternyata ramai oleh berbagai ras. Ada sekarung ubi, kardus-kardus tomat, alpukat, bahkan ayam yang nampak menderita karena dikekang dalam sebuah kantong. Kami terperanjat melihat elf yang rasial ini. Aku menelan ludah. Temanku yang bernama Syifa bahkan terlihat menahan muntah. Kita, dengan kompaknya, udah niat mundur dan nyari elf lain, tapi karena waktu udah siangdan kita gak mau kemaleman, akhirnya dengan pasrah kita menaiki Elf ini. Pas banget pas kita naik, elfnya berangkat. Demi apapun, belum lama elf ini berjalan, ‘spesies-spesies’ lain itu seakan bersekongkol untuk menekan kami. Tomat-tomat di kardus berjatuhan ke lantai elf. Pemiliknya heboh minta bantu mungutin. Temanku si Tari menginjak satu tomat yang aduhai warnanya. Pemiliknya jadi heboh minta ganti rugi. Si ayam yang terkungkung itu tampak ingin berontak, petok-petok berisik banget minta ditabok. Aku duduk di sebelah lelaki setengah baya yang badannya basah oleh keringat – dan baunya begitu menyesakkan dada. Belum lagi sopirnya bener-bener kampret. Nyalib semua kendaraan di depan dan belakang elf dia (belakang?). ini sopir minta disalib beneran. Harga emang gak bohong. Iya nggak bohong, tapi MENOHOK, MENUSUK, dan *speechless*. Sampai puncaknya, si Syifa muntah beneran di sebelah aku. Saat itu aku berasa sekarat menghirup berbagai macam gas beracun baik dari ‘parfumnya’ bapak-bapak atau dari ‘bubur’nya Syifa. Aku ragu apakah aku bisa bertahan hingga akhir. Nyawa serasa udah di kerongkongan dan..

Yeah! Dan berkat kang Windo yang pedekate ke pangeran kenek alphard itu, aku diberi kesempatan untuk naik Elf lagi. -______-

Aku masuk Elf agak awal dan langsung ngambil posisi yang lumayan di kursi paling belakang, diapit Lisa dan Hafizh. Dan karena diserang rasa kantuk yang masuk stadium delapan, maka aku langsung tergeletak tidur. Aku gak tahu apa yang terjadi di perjalanan. Aku gak mau menikmati perjalanan dalam elf. Masih trauma. Sampai akhirnya aku dibangunkan karena harus ganti Elf di daerah yang aku juga gak tahu namanya. Sampai di elf baru, maka aku langsung tidur lagi. *parah banget ya kebo nya*

Aku dibangunkan (lagi) pas kami nyampe di gerbang pendakian untuk jalur Palutungan. Tim Kedua turun dari Elf. Wah pas aku melambaikan tangan ke Tim Kedua, aku sedih banget. Pengennya mendaki bareng-bareng, apalagi sama Lisa. Tapi, ya sudahlah. Semoga kami semua selamat sampai kembali lagi ke Jatinangor. Oh ya, dan semoga aku pulang dengan wajah normal tanpa sengatan serangga lagi. AMIN YA ALLAH.

Tim pertama terus di dalam Elf dan melanjutkan perjalanan. Disini aku baru mulai merasa sendiri. Mungkin karena gak ada Lisa atau Winna. Aku merhatiin satu persatu tim pertama ini. Anton > dia danlap Tatib mabim. Tuhan semoga aku nggak ditatibin sama dia di gunung entar. Arli > Punya kepribadian gak jelas yang kadang baik dan seringnya nyebelin. Mesti hati-hati menindak orang yang berjenis Arli ini. Hafizh > wah, aku udah kebanyakan di mabim bareng sama dia, udah percaya lah sama koordinator yang satu ini mah. Tapi karena terlalu baik, jadi gak tega mau nge-bully juga. Rivo > Kalem tapi kadang berbahaya. Kalau ada temen, ini orang pasti bisa ngebully orang sampe skakmat. Kang Antono > ini orang yang ngatain aku egois pas PLDC, harus jaga jarak dengan subjek satu ini. Kang Swach > orang ini yang narik-narik dan ngajak lari aku pas Long march. Wah kalau nanti aku mulai lelet di perjalanan, berarti harus jauh-jauh dari pak ketua.

Aku memejamkan mata, niat mau tidur lagi. Tapi malah teringat Ibu, teringat suara dia yang terdengar cemas di telepon kemarin sore.
“Nisa, Gunung Ciremai kan gunung aktif!”
*waduh bener juga* #panik
“Nanti kalau meletus gimana?”
*Waduh iya ya gimana* #makin panik
“Nanti kalau disengat serangga lagi gimana?”
*WADUH WADUH WADUH* #garuk-garuk muka berasa dejavu
Tapi dasar emang udah tekad, yaudah aku lakonin aja. Semoga semuanya baik-baik saja. Amin.

Akhirnya kami diturunin di depan Graha Linggasana pada pukul 04.30. Disamping gedung itu ada sebuah masjid yang cukup besar dan kami istirahat serta sholat disana. Ada PA lain yang juga istirahat di masjid itu. Waktu itu mereka lagi pada tidur jadi kami gak bisa say hello (bahasa lain dari nge-modus). Terdengar alunan suara mengaji dari Imam masjid, dan suaranya sangat menyejukkan hati. Aku begitu menyentuh lantai masjid langsung menggeletakkan carrier dan menggeletakkan diri. Kan harus charge tenaga buat pendakian. Hehe

Aku dibangunin (lagi dan lagi) sama Anton. Jam udah menunjukkan pukul 5 pagi. Aku membersihkan diri sekadarnya. Cuma cuci muka dan sikat gigi karena liat anak yang lain juga pada begitu. Hafizh dan Rivo pergi beli sarapan dan aku udah niat menggeletakkan diri lagi. Tapi ternyata kami harus mengurus administrasi pendakian Gunung Ciremai. Orang yang ngurus administrasinya lagi briefing sama PA yang pertama kali kami lihat di Masjid. Ternyata mereka kelompok pramuka dari Jakarta. Sambil nunggu si bapak-bapak admin (karena sampai hari ini aku nggak tahu namanya) selesai briefing sama kelompok pramuka itu, Aku ngisi beberapa form data ketua tim dan nomor-nomor yang bisa dihubungi. Salah satu persyaratan form adalah menyertakan fotokopi KTP yang masih berlaku. Aku menelan ludah. Glek. Semua KTP kelompok udah aku fotokopi kemarin malam. Pinternya aku, adalah bahwa aku titipkan fotokopinya ke Lisa dan lupa misahin fotokopian KTP tim pertama. Nyaris saja aku gundah dan berniat ngasih KTP asli aja. Tapi sebuah warung yang terletak di samping Graha Linggasana, yang hebatnya udah buka di pukul 6 pagi, ternyata menyediakan jasa fotokopi. Aku merasakan pencerahan yang benar-benar luar biasa disana, terharu seakan warung itu dikirim oleh Tuhan untuk menyelesaikan masalah per-katepe-an ini. Maka aku dengan kerennya menyita semua KTP tim pertama dan dengan pede dan gesitnya langsung menghampiri warung tersebut.

“Pak saya mau fotokopi 7 KTP masing-masing 3 lembar. Gak pake lama.” Kataku mantap.

“Maaf neng, mesinnya belum nyala. Harus nunggu dulu. Baru bangun.”

Prat Pret Dezigh! Penonton kecewa. Alhasil aku menunggu mesin tersebut ngumpulin nyawa dulu. Padahal pengen ikutan briefing sama bapak admin itu. tapi ya sudahlah, aku sedang memegang amanah fotokopian *ciyeeee*

Begitu aku kembali ke masjid, briefing udah masuk pertengahan ROP. Karena udah kejauhan, aku agak lama untuk menyatukan frekuensi briefing dengan si Bapak Admin itu. Kelompok Pramuka itu udah berangkat duluan. Di masjid udah tinggal kami doang. Pendakian ke Gunung Ciremai harus bayar biaya masuk sebesar Rp. 10.000,-. Kami dapet tiga macam karcis.




Aku perhatiin karcis asuransinya. Total biaya jaminannya Rp. 10.400.000,-. Waduh.
*Pikiran jahat berbisik*
Lumayan banget buat danus ekspedisi. Nanti kami bikin acara pendakian Ciremai. Pesertanya anak-anak SMA yang polos-polos. Entar semua anak-anak itu ditumbalin buat dapet biaya jaminan asuransinya. HAHAHAHAHA
Astaghfirullah. -__- Kembali ke jalan yang lurus.

Setelah briefing selesai, kami sarapan nasi bungkus duaribuan yang dibeli Hafizh dan Rivo. Nasinya dikit banget. Cocok buat yang lagi diet. Tapi masalahnya amat tidak cocok untuk yang mau pendakian. Tapi mau gak mau ya terima saja. Dengan perut yang masih menuntut kepuasan, aku dan yang lain mulai masak konsumsi untuk nanti siang. Si Arli tiba-tiba membawa bawang merah dan cabai untuk dibuat sambal. Dengan pede, dan maksain banget-nya, dia ngulek bawang dan cabai di piring plastik kesayangan aku pake tutup kompan yang dilapisi kresek item gak jelas.

O
My
God

Aku awalnya jijik melihat prosesi sambal yang begitu mengenaskan ini. Tapi liat si Arli kayaknya gak punya skill ngulek, jadi aku yang gantiin dia ngulek. Kang Antono terlihat masygul memperhatikan sambal kompan kami ini. Apalagi sambalnya dimasukkin ke dalam zipper bag kayak tempat obat-obat di apotek gitu. Kami gak ada pilihan lagi *sambil mendesah pasrah*

Pas kami udah selesai masak, kang Swach baru selesai mandi. Dikeramas pula. Dia jadi satu-satunya makhluk yang mandi di tim kami pada pagi hari itu. Aku sebagai wanita merasa tertohok. Karena aku sendiri gak mandi. Aku mikir yang lain juga bakal gak mandi. Plis, aku ini bukannya gak pandai merawat diri. Yaudah sih, udah cantik ini. Batinku menghibur diri.
Tim Kerinci

Kami ngaret bro. Di ROP harusnya berangkat pukul 8. Tapi kami benar-benar mulai jalan sekitar jam 9 kurang 15 menit. Danlap hari itu Anton. Urutan jalannya Anton-Rivo-Hafizh-aku-Arli-DP. Sepanjang perjalanan kami diem-dieman. Tubuh aku lagi adaptasi. Merubah kondisi dari ringan menjadi membawa beban. Kami melewati pemukiman warga sampai akhirnya tiba di gerbang pendakiannya yang juga tempat didirikannya sebuah sutet. Jalannya mulai menanjak tapi masih cukup lebar. Si Anton ternyata semalem di Elf dia kurang tidur. Akibatnya, di perjalanan ini dia gak fit. Kami baru nanjak dikit, dia udah minta istirahat. Aku menelan ludah. Bayang-bayang PLDC seakan berkelebat di kepalaku. Aku sesekali melirik DP, takut mereka siap-siap ngebentak karena kami kendor. Oke, kami bukan siswa lagi.

Dampak gak dibentak DP gara-gara sering berhenti, Anton jadi makin sering berhenti. Hafizh akhirnya mengambil alih posisi Anton. Aku awalnya bingung karena tubuh aku juga mengalami kemerosotan. Gampang banget capek. Padahal beban di punggung gak semantap pas PLDC. Olga juga sering aku lakonin. Akhirnya aku memahami The Power of Under Pressure.  Pas PLDC, kami selalu dikasih vitamin-vitamin yang menekan kami kalau jalan udah makin letoy. Jadi, cape gak cape harus tetep jalan. Berat gak berat harus tetap dibawa.

Hidup juga begitu. Tanpa ditekan oleh masalah dalam hidup, manusia akan selalu berjalan di tempat, sering bersinggah di perhentian, dan cepat puas atas suatu pencapaian. Masalah hidup bukan diciptakan untuk membuat seseorang merasa bahwa hidup begitu kejam, tapi untuk membuat seseorang menyadari bahwa hidup terlalu indah untuk diam di tempat.
Just Intermezzo.
Lanjutkaaaan…

Begitu kami nyampe di Kikuwu (900 mdpl), disana ada sebuah bangunan kumuh dan merupakan bumi perkemahan. Berdasarkan petunjuk bapak admin, di Kikuwu ada sumber air yang merupakan satu-satunya di jalur Linggarjati ini. Karena di depan kami ada dua persimpangan, maka tim dibagi dua untuk memeriksa kondisi masing-masing jalan.


Ternyata sumber air ada di jalan sebelah kanan. Maka kami berbondong-bondong membawa kompan dan veldpless untuk diisi air yang mengalir melalui pipa di bawah tanah. Karena di pos-pos selanjutnya kami gak akan menemukan sumber air lagi, maka semua kompan harus terisi penuh. Airnya enak banget. Gurih ada aroma pipa PVC gitu. Pasti laku kalau dikomersilkan. Wah bisa jadi sumber danusan juga. *otak danus*. hehehehe


Setelah melepas dahaga dan membersihkan muka, kami kembali berkemas dan melanjutkan perjalanan. Anton nampak makin nggak sehat. Dia terus minta berhenti. Sepanjang perjalanan pun kami gak memulai percakapan. Medannya masih landai. Jadi untuk menambah ketinggian dibutuhkan waktu yang lama. Disini Hafizh keliatan banget gak sabar untuk menambah ketinggian. Baru jalan beberapa langkah, udah nanyain ketinggian ke Arli yang bawa GPS. Ckckck..
Pas memasuki areal hutan bambu, jam menunjukkan pukul 12 siang. Kami istirahat dan membuka bekal makan siang. Sambal kompan kami juga dikeluarkan saudara-saudara! Dan kang Antono yang semula terlihat ragu, ternyata makannya makin bernafsu setelah mencoba sambal kompan tersebut saudara-saudara! Rasa pedasnya terasa unik (ada rasa kresek gitu) dan bawangnya juga cukup yahud. Mantap lah! Waaahaha, ini inovasi baru yang menjanjikan. Nanti mau aku uji coba kalo aku syuting ala chef. *ignore*

Setelah makan, kami sholat Dzuhur dulu disini.

Dan Anton ternyata makin berkunang-kunang saudara-saudara! Semangat Anton! Hehehehe. Kalau gak salah ini masih di ketinggian 1000 mdpl. Medannya masih landai, masih pewe, dan masih bikin males gerak. Perjalanan dilanjutkan ke pos berikutnya. Medannya mulai makin miring. Aku mengeluarkan sarung tangan karena mulai harus meminta bantuan pada akar-akar pohon. Kami tiba di Kondang Amis (1.250 mdpl) sekitar pukul 1 siang. Disini ada bangunan kayak pos jaga dan banyak aksi vandalisme dilakukan di bangunan ini. Aku sempet kepikiran, gimana caranya orang-orang bawa material bangunan dari pemukiman ke pos Kondang Amis ini? Terus membangun bangunan ini gimana caranya? Dari sutet kesini lumayan jauh jaraknya. Masa pake pesawat? Atau bangunannya dibangun di sekamir pemukiman warga, terus pas udah jadi bangunannya diangkat pake pesawat dan dijatuhkan tepat di Kondang Amis? Oke abaikan saja …
Perjalanan ke Pos berikutnya, makin asoy aja medannya. Ada beberapa titik yang mengharuskan kami manjat akar pohon karena tanahnya terputus disana. Aku disini sering banget ngeliatin sepatu aku sambil pengen nangis. Kasihan dia terus-terusan kegesek akar pohon dan melewati tanah basah yang lembab. Ya Allah tabahkanlah sepatuku. Jangan kau perberat ia.. doaku tulus demi si sepatu. Sikapku yang over ini dicibir oleh Arli.

“Ya sepatunya kotor ya. Udah gak baru lagi ya.. ”
Keep calm dil.. *sambil ngasah golok*

Kira-kira jam dua siang lebih, hujan mengguyur kami yang tengah galau mikirin camp craft. Hebatnya kami diguyur pas lagi di tanjakan. Whoaaa air kiriman dari atas langsung mengalir deras lewat tanjakan ini. Omong kosong sudah sepatu aku yang katanya waterproof ternyata tetap membuat kakiku dapat merasakan dinginnya air. Kata ROP, kami nge camp di ketinggian 1.800 mdpl. Tapi ini udah mau Ashar, kami masih di ketinggian 1.400-an (Pos Kuburan Kuda). Hujannya deras, dan medannya sempit. Aku ngiri liat Hafizh, Anton, Kang Swach, dan Arli yang pake jas hujan. Aku sama Kang Antono pake ponco, dan aku akui itu agak mengganggu langkahku. Apalagi pas harus manjat-manjat akar pohon. Udah berasa kayak monyet pake daster gitu. Pas hujan ini, tiba-tiba Ciremai rame banget. Entah di ketinggian berapa, kami ketemu PA dari Cirebon yang lagi berteduh pake flysheet di sebidang tanah yang cukup datar. Berhubung hujannya emang lagi deras banget, kami gak nolak pas mereka nawarin kami ikut berteduh. Arli nggak ikut masuk flysheet, dia nungguin di luar, nungguin flysheetnya nampung air hujan, untuk dia minum saat itu juga. Aku mengerjap jijik sambil nahan ketawa lihat kelakuan Arli. Tapi pas aku cobain sendiri, ternyata air hujan yang ketampung di flysheet lebih nikmat daripada air beraroma pipa PVC dari Kikuwu tadi. Cewek-cewek dari PA Cirebon ini tersenyum melihat kelakuan aku sama Arli yang semangat banget nyedot air di flysheet. Seorang cewek manis minum air hujan dari flysheet bersama temannya yang berambut keriting. Oke, ini bukan judul berita yang bagus. Plis, bukannya aku gak pandai merawat diri. Ini supaya lebih dekat dengan alam aja. Ehehehe

Hujannya mulai berhenti. Tapi masih gerimis semi deras gitu. Setelah mengucapkan terima kasih karena udah ngasih tempat berteduh, kami beranjak melanjutkan perjalanan. Makin keatas makin rame lho. Kami malah ketemu lagi sama kelompok pramuka yang tadi pagi ketemu di Masjid. Salah satu anggotanya, seorang cowo dengan setelan kaos lengan pendek merah dan celana selutut serta sandal gunung, ternyata kakinya kram sehingga mereka terhambat. Kang Antono langsung pamerin skill medisnya sambil meminta salep otot ke aku. Aku awalnya ragu ngasih salepnya karena kata Kang Wahyu kami harus mengabaikan DP kecuali pas makan. Tapi pas aku liat orang yang lagi kram itu, wah teringat dengan kode etik kepencintaalaman, maka kami harus bantu dia. *aseeeeek*

Setelah diurut oleh Kang Antono, orang itu nampak lebih baik kondisinya. Karena dia ingin memulihkan kakinya, kami berangkat duluan. Makin maju, medannya makin vertikal. Air kiriman dari atas benar-benar melebur bersama tanah, menjadikannya coklat dan mencoklatkan sepatuku. Hiks. Belum begitu tinggi kami naik, Anton dapet kram di paha kanannya. Kang Antono pamer skill lagi. Kang Antono mengurut kaki Anton dengan lembut meski pada akhirnya Anton tetap tereak-tereak juga. Antono dan Anton. Anton dan Antono. Wah bagus buat jadi judul sinetron tentang anak kembar. *abaikan*
Nunggu Anton yang lagi memulihkan kakinya, kami disusul sama anak Pramuka yang kram tadi. Jago banget kaki baru aja kram tapi terus mendaki akar-akar pohon untuk terus ke atas. Kami juga kesusul sama kelompok PA Cirebon yang tadi ngasih kami tempat berteduh. Aku seneng banget, berasa gak sendirian. Malam mingguan di Ciremai sob.. hahahahaha
Anton terlihat membaik setelah hujan reda.

“Kan dikasih Tirta dari langit..” komentarnya. Duuuhhh so sweeeettt…

Disini urutan jalan udah gak bener lagi. Aku di belakang Hafizh yang masih jadi danlap. Aku yakin banget, Pengalap, Pos tujuan camp craft kami, bakal sebentar lagi kami capai. Anton karena terus dimotivasi bahwa pos buat camp bentar lagi, maka dia makin berusaha mempercepat pergerakannya. Terus menerus mendaki, bertemu PA lain dan dapat info kalau Pengalap sudah dekat, membayangkan bahwa sebentar lagi akan makan malam enak, serta langit sore cerah yang sangat menyenangkan, adalah motivasi-motivasi yang amat menguatkan aku untuk terus naik. Dan ini aku pake juga ke Anton.
“Ton, bentar lagi Pengalap!”
“Ton, Pengalap udah di depan mata!”
“Ton, nanti aku bikinin makan enak!”
Itu amat efektif untuk mendorong Anton agar mau maju. Ketika akhirnya, Hafizh tiba duluan di Pengalap dan menyemangati yang lain, aku merasa jantung aku terasa lebih hidup, lebih terpacu untuk mengetahui seperti apa keadaan Pengalap. Dan Here they are..
Pengalap (1650 mdpl) adalah pos singgah dengan lahan yang cukup luas dan areal disini cukup terbuka. Ketika aku tiba disini, dengan segera aku meneriaki Anton bahwa kami sudah tiba di Pengalap. Demi apapun, Anton yang awalnya apatis tiba-tiba bersemangat mendaki dan tiba di Pengalap untuk waktu yang tidak begitu lama. Dari sini aku memahami The Power of Achievement Equality. Pencapaian seseorang atas suatu tujuan dapat memotivasi kami untuk terpacu mencapai tujuan yang sama juga.
Hidup juga begitu. Sebagian orang dapat memotivasi diri sendiri untuk maju. Tapi ada sebagian lainnya yang mesti diberi motivasi dalam bentuk lain. Yaitu pencapaian seseorang terutama orang yang hubungannya dekat. Melihat sahabatnya maju, seseorang akan cenderung mendapat dorongan untuk mampu menyetarakan dirinya dengan sahabat tersebut. Penyetaraan pencapaian. Ketika kita mencapai sesuatu yang sama bersama-sama, itu lebih menyenangkan. Sukses bareng-bareng itu lebih asyik sob. Karenanya, orang akan melakukan apapun agar mampu mencapai juga apa yang temannya telah capai. 

Just Intermezzo.. 
Berlanjut ke part 2 nyaaa

OUTDOOR GEAR #Part 2

Monggo di check :)