Dua
Pekan Terakhir Bersama Jo
so
difficult is it to grasp this irruption of nothingness
and to believe that it has actually taken place.
- Gustave Flaubert
and to believe that it has actually taken place.
- Gustave Flaubert
Semangat pastilah
masih tersimpan di rongga dada Julianto Soesap Albanny, Wakil Pemimpin Redaksi
di Harian Riau Mandiri. Antusiasme kerja tercermin dalam setiap ayunan
langkahnya, bergaung di sela-sela kompartmen yang dibatasi partisi. Pria kecil
berkacamata yang selalu terburu-buru dalam bicara ini adalah kawan kami, dalam
batasan waktu yang berbeda-beda.
Hari Rabu 11
Agustus adalah saat pertama kali dia kuboyong ke Pekanbaru untuk diperkenalkan
kepada jajaran redaksi. Ada mimik seru di wajahnya, layak bocah sedang
menghadapi mainan baru. Sejak berangkat dari Jakarta, Mas Jo -begitu beberapa
teman memanggilnya- terus riuh rendah. Di pesawat dia tak memejam mata, terus
mengajakku bicara.
Penuh gairah
menghadapi tantangan, pria yang selalu berpuasa Senin-Kamis ini pun memutuskan
bergabung. Aku merasa sangat tertolong. Tugasku akan menjadi sedikit ringan,
bisa lebih fokus berkonsentrasi sebagai Wakil Pemimpin Umum Harian Riau
Mandiri, Pekanbaru dan Harian Sijori Mandiri, Batam saja, tanpa harus membagi perhatian
menjadi Pemimpin Redaksi. Dalam masa peralihan, Jo akan menjadi Wakil Pemimpin
Redaksi selama tiga bulan sebelum nanti definitif ditetapkan sebagai Pemimpin
Redaksi.
Jo pun mulai
adaptasi memasuki tugas barunya. Membaur dan mempesona. Meski tidak parlente,
namun pribadinya yang rapi senantiasa menonjolkan keteraturan sikap hidup.
Shalat tak pernah tinggal, lengkap dengan dzikir. Perangainya yang selalu lapar
akan berita, membuat dia tak pernah letih menyunting dan menulis.
“Be, kita akan bikin
bagus koran ini,” katanya kepadaku, sering-sering. Dia memang kerap memanggilku
Babe, tetapi kadang-kadang rancu menyampuradukkan dengan panggilan Bapak,
Bang, atau Kawan.
Lima belas hari di
Riau Mandiri, 15 hari pula dia menjadi teman diskusi. Berdebat tentang news
value, menguji kekuatan kata, menimbang resam kalimat, menata terobosan lay-out,
melahirkan kekuatan redaksional dan menunggu proses cetak hingga lepas dini
hari. Semua dilakukan Jo dengan senyum dan teriakan akrab. Dia memang suka teriak
dan perang pendapat. Di kantor lamanya di Bisnis Indonesia dan di Harian
Merdeka, dia dijuluki Profesor. Namun para redaktur cenderung
menyebutnya sebagai Mister Bukan, hanya karena dia acap menyanggah
pendapat orang lain dengan kata Bukan!
Di kantor ini, dia
juga sering menyanggah, mencari ragam perbedaan. Baginya dunia tidak satu
warna, begitu pula kisi-kisi berita. Selama 15 hari dia berdialog dengan
jajaran redaksi, semua diundang rapat di ruang kerjanya yang besar. Dia selalu
melihat koran daerah sebagai koran besar, mampu mengubah wajah Indonesia. Yang
jelas, hari ini, kondisi Julianto yang lebih dulu berubah. Sebagai Pemimpin
Redaksi dia akan berhak atas berbagai fasilitas. Tiket
Pekanbaru-Jakarta-Pekanbaru setiap bulan. Mobil dinas, sebuah Phanter baru tipe
Kuda berwarna merah nyalang sudah tersedia di pelataran parkir. Dia sangat
menyukainya, sehingga sering memaju-mundurkan mobil itu di pekarangan rumahku,
seakan mobil itu selalu salah parkir. Rumah kediaman juga akan menyusul.
Sementara masih sendiri, Julianto tinggal bersamaku dulu. Kami berdua saja di
rumah besar itu, hanya sesekali ditemani oleh Wimpy, supirku yang bulat jenaka.
Tapi kami tidak pernah merasa sepi. Ada meja bilyar di ruang depan dan
alat-alat kebugaran di ruang belakang. Meski tanpa pembantu, makanan selalu
tersedia. Setiap pukul enam pagi, Wimpy sudah datang membawa nasi gurih plus
rendang dan dendeng, lengkap dengan kopinya. Dan kami akan terus bercakap-cakap
sepanjang 24 jam, dari buka mata hingga tutup mata.
Seusai masa
adaptasi dua pekan berlalu, Julianto pamit pulang ke Jakarta.
"Sebentar
saja, kawan, cuma empat lima hari,” katanya. “Mau mengabarkan kepada istri dan
anak-anak bahwa saya pindah ke sini. Sekalian ambil baju-bajulah.”
Memang harusnya
begitu. Bekerja jauh dari keluarga bukan berarti melupakan mereka. Bahkan
sebenarnya, merantau merupakan pengorbanan untuk anak istri. Pilihan Jo sudah
tepat. Apalagi tiga bulan mendatang, dia akan mendapat rumah sendiri, supaya
bisa memboyong keluarga ke Riau.
Tidak ada badai di Riau, meskipun perambahan hutan secara liar masih terus
terjadi. Petirpun tidak menyambar-nyambar. Namun malam itu, aku menerima telpon
dari Jo.
"Kawan, saya
berangkat besok pagi, sampai Pekanbaru kira-kira pukul 10," ujarnya dari
seberang. “Bisa suruh Wimpy jemput?”
Aku bilang, aku
sendiri yang akan menjemputnya. Tetapi dia menolak.
“Masak Komandan
yang jemput? Malu saya. Biar Wimpy sajalah.”
“Gak apa-apa kok. Aku sekalian mau ke arah airport,” jawabku tuntas.
“Gak apa-apa kok. Aku sekalian mau ke arah airport,” jawabku tuntas.
Rabu menjelang
subuh itu sama sekali memang tidak ada badai. Apalagi gelegar petir. Namun
sebelum jam empat pagi, handphone-ku berdering. Agak menggerutu juga
terbangun jam sebegitu. Tapi kulihat nama yang terpampang di layar: Julianto.
“Apa To?” tanyaku.
“Ini Pak Izharry?
Saya adik Julianto,” kata suara pria di balik handphone.
“Lho, ada apa? Julianto mana?”
“Julianto meninggal dunia, Pak, tadi sekitar jam tiga.”
“Lho, ada apa? Julianto mana?”
“Julianto meninggal dunia, Pak, tadi sekitar jam tiga.”
Kepalaku berputar,
lepas dari leher dan bergelinding ke kasur. Tuhan! Aku tersentak duduk dan
berteriak keras, bertanya penyebabnya. Kata adiknya, Julianto hilang dalam
tidur. Ketika dibangunkan istri agar bersiap-siap berangkat ke bandara,
tubuhnya tak memberi reaksi. Ya Allah, Julianto sudah tiada! Kuatur napasku dan
kubangunkan Basrizal, Bos Besar Riau Mandiri Group. Akupun berkemas. Akan
kukejar pesawat pagi menuju Jakarta. Bagaimana pun aku harus menyambangi
Julianto yang telah merambah perjalanan terakhirnya.
Mendengar
kepergian seorang teman pastilah membuat aura keterkejutan kita lepas, dan
begitu sulit rasanya memasuki kehampaan yang tiba-tiba. Namun bagaimanapun,
kita harus yakin bahwa hal itu benar-benar sudah terjadi. Waktu bergulir, tak
ada yang bisa dibatalkan dan diulang kembali. Aku pun tertunduk, airmata
merambah di dalam batin. Semalam kami masih memperdebatkan judul, tapi kini
pria berusia 40 tahun ini sudah tiada.
Kulempar mata yang
berair keluar pesawat, menatap gugusan awan bisu. Aku datang menziarahimu, Jo.
Begitu tipis jarak antara hidup dan mati, sementara sentuhan jurnalistikmu
masih terasa begitu hangat. Dalam tepekur, aku melenguh. Jo, hari-hari tak akan
pernah sama dengan dua pekan yang kita lalui. Selamat jalan, kawan!
(Dimuat dalam versi pendek di Harian Riau Mandiri,
Agustus 2004)
Sumber : http://sudut-bidik.blogspot.com/2008/06/dua-pekan-bersama-jo.html
Aku baru nemuin
artikel ini beberapa jam yang lalu. Iya. Aku baru nemuin kerennya dedengkotku
ini beberapa jam yang lalu.
Pria diatas adalah
dedengkot geng Albanny. Dimana anggota geng ini adalah Julianto Soesap Albanny (Ketua),
Nisa Adila Albanny (Adil Albanny), dan
Sufiyya Rahma Kamila Albanny. Adapun ketua sebenarnya, yang paling berkuasa sepenuhnya di markas besar adalah Nyonya Albanny (yang menguasai Ketua, Ketuanya Ketua). Hehehe
Ga nyangka banget kalo mantan bosnya sampe bikin tulisan tentang beliau. wajar, sih. Dedengkotku yang oleh kawan-kawannya biasa dipanggil Jo ini emang bukan orang biasa. Beliau adalah seorang penulis nyentrik, jurnalis
anti mainstream, tukang jagal berita, dermawan yang selalu ngejajanin anggota
gengnya pas weekend, dan seorang…yang aku rindukan. Teramat aku rindukan.
Ga kerasa, udah
lewat 9 tahun. 1 tahun lagi adalah waktu yang dibutuhkan untuk menyamai tahun-tahun kenangan yang berhasil beliau ukir bersama kami. Tertelan oleh masa-masa aku beranjak dewasa, jadi nyaris lupa sama beliau. Ah masa-masa itu, masa-masa kejayaan geng kita, keluarga kita.
Jadi inget gimana Dedengkot selalu ngejejalin mulut kita dengan telor setengah matang tiap pagi. Kata Dedengkot, banyak makan telor gituan biar kita pinter. Iya sih. Soalnya sekarang-sekarang otak aku jadi korslet, gara-gara banyak makan telor sisaan. *hahahaa malang*
Jadi inget gimana Dedengkot tiap akhir minggu selalu ngajak kita main ke manapun, biasanya sih ke mall *buat ngerasain kloset duduk di mall yang jaman dulu mah belum umum* haha nggak gitu juga sih. Kalo dedengkot lagi baik, kita pasti dibeliin baju atau mainan. Iya terus pas nyampe rumah langsung kerja rodi bersihin seantero markas besar *eksploitasi anggota geng*
Ah jadi inget Dedengkot kan... Kangen Dedengkot kan..
Tanpa aku sadari, dalam cara-cara ku untuk membanggakan Nyonya Albanny, adalah dengan menjadi seperti Jo Albanny. Aku senang menulis, jalan-jalan melihat berbagai kejadian, menghayatinya untuk memperoleh inspirasi, dan berkarya dalam bentuk bahasa. Dan ironisnya, itu adalah cara-cara ku untuk bertahan tanpa beliau, yaitu menjadi seperti beliau.
Jangan marah ya, pak Ketua.. saya ga niat buat plagiat kok.. cuma mengamati, meniru dan memodifikasi.. Hehe
Ah,, penasaran jadinya sama keadaan Dedengkot.. Gimana pak kabarnya? Sehat dan bahagiakah disana? Kalau nanti aku diangkat jadi ketua geng Dedengkot selanjutnya, jangan ngambek ya.. semoga aku lebih sukses lagi malahan. Amin. hehe
Pak Ketua, barangkali kau jarang membaca syair yang cemen-cemen kayak gini, tapi biarkan Tuhan yang memberitahumu bagaimana perasaanku saat merangkainya.
Pak Ketua, tolong biarkan saja perasaan ini tersimpan kayak gini, toh aku telah lama juga merelakanmu pergi.
Suka ataupun luka
Yang kau patri lirih-lirih
Yang kau ukir tanpa dosa
Yang kau cipta penuh rasa
Denganku
Dulu denganku
Ayah ataupun kisah
Ada ataupun musnah
Pergi dan kembali
Kini telah pergi, dan tak kembali
Cinta ataupun luka
Yang kau ukir dengan nyata
Dan kau pergi ke dunia sana
Dan aku merindumu segala usia
Ibu ataupun kamu
Aku selalu mendamba bangga ibu
Tapi aku selalu ingin kamu
Menjadi kamu, sepenuhnya kamu
Demi bangga dunia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar