Kau terdiam diantara ratusan orang yang bersorak
sorai. Semuanya terasa cepat di matamu. Hari ini, termasuk juga pemilihan
walikota siang itu. Kau memang tidak mengerti apa-apa meski kau juga berdiri di
sana. Tapi kau merasa tidak senang begitu melihat kakak lelakimu berdiri di
atas podium dan semua orang bertepuk tangan. Kakak lelakimu hanya berdiri
disana, tidak mengucapkan sepatah kata pun seperti yang dinantikan semua orang.
Ayahmu yang berdiri di samping panggung mulai berkeringat dingin dan meneriaki
hal-hal yang tidak perlu untuk menyemangati kakak lelakimu. Kau makin tak suka,
dan pergi dari tempat itu.
Malam ini, kau tidak keluar dari kamarmu di lantai
dua. Ayahmu yang mengadakan pesta besar-besaran, tampaknya tidak peduli apakah
kau harus berada di meja makan malam ini atau tidak. Kau mengharapkan hal itu,
dan kau tidak ingin keluar dari kamarmu. Kau ingin melindungi dirimu, karena
kedepannya kau merasa bahwa akan ada hal mengerikan yang terjadi.
SAUDARAMU BEKERJA, MEMBUNUHMU, DAN SEGALANYA
Kau terjaga. Keringat dingin yang membasahi
keningmu, tidak kau seka. Jam dinding menunjukan pukul satu dini hari. Kau
duduk sejenak dan kemudian berbaring lagi. Meski jantungmu berdegup kencang,
dengan cepat kau ingin terlelap lagi. Tak
apa, hanya mimpi biasa. Pikirmu.
***
“Tolong semuanya diangkat hingga ruangan di sudut
itu!” kata ayahmu. Beberapa orang mengangkat sebuah meja besar dan perlahan-lahan
membawanya ke sudut ruang yang ditunjuk Ayahmu. Kau keluar dari kamarmu, dan
mendapati kakak lelakimu telah berdiri di depanmu.
“Ada apa? Kenapa semalam tidak ikut makan malam?”
tanya kakak lelakimu. Kau terdiam dan merasa tak perlu menjawab. Kau berlalu,
tapi kakak lelakimu tidak. Ia menahan tanganmu perlahan. Kau menepisnya dengan
agak kasar.
“Ada apa, Kiran? Kau tidak senang aku menjadi
walikota?” tanyanya lagi. Dengan pertanyaan itu, kau semakin malas menjawab.
Kau baru saja memberanikan diri keluar kamar, tapi kakak lelakimu malah
membahas hal-hal yang sama sekali tidak ingin kau bicarakan.
Diamlah! Sepagi ini kau sudah bertanya macam-macam.
Saranku, sekarang mulailah bekerja. Aku sudah menjadi rakyatmu sekarang. Jangan
anggap aku sebagai adikmu lagi! Agar kau adil, dan jadi pemimpin yang adil!
Katamu tegas. Kau bukan mengatakan jawaban atas pertanyaan kakak lelakimu, kau
malah mengatakan kata-kata yang tidak ingin didengarnya. Lalu, kau pergi dengan
cepat, tak ingin bila kakak lelakimu menahan tangamu lagi.
“Khalif! Kemarilah! Lihatlah ruang kerjamu!” teriak
ayahmu lantang. Kau tidak dipanggil olehnya, tapi kau yang mendekatinya. Tanpa
menunggu izin dari ayahmu, kau melihat apa yang ingin diperlihatkan ayahmu.
Ruangan yang lux.
Dinding ruangan itu dilapisi wallpaper motif klasik yang terlihat anggun. Di beberapa tempat,
dipajang lukisan-lukisan karya almarhumah ibumu. Sebuah meja besar dengan kursi
besar pula, terletak agak menyudut dekat jendela yang menghadap ke kolam
belakang. Gemercik air yang terdengar dari kolam akan membuat nyaman siapa saja
yang bekerja di ruangan itu. Jendela-jendela yang besar, dipasangi tirai-tirai
cantik buatan tangan. Sofa baru berwarna senada dengan wallpaper, tampak mempercantik ruangan luas yang lantainya ditutupi
karpet ekspor dari Eropa Timur itu. Satu dua bonsai dipajang di beberapa tempat
utnuk mempersegar suasana. Sebuah lampu kristal tergantung, menambah keelokan
ruangan. Kau sekilas melirik ayahmu dan kakak lelakimu yang sudah berdiri
disamping ayahmu,
“Aku kurang suka dengan lampu kristal itu. Ruangan
ini terlalu seperti ruang-ruang kantor. Bagaimana kalau aku memajang piala dan
medaliku di sebelah sana, dan menyimpan mikroskopku di sebelah sini. Aku ingin
ruanganku seperti ruang kerja ilmuwan.” komentar kakak lelakimu. Kau pergi
begitu saja setelah mendengar komentar kakak lelakimu.
“Karin, kau tidak ingin memberi komentar?” tanya
ayahmu. Kau membalikkan tubuh sebentar dan menggeleng pelan pada ayahmu yang
kebingungan melihat tingkahmu. Kemudian, kakimu melangkah lagi dan entah kemana
kau akan pergi. Terus memikirkan kakak lelakimu yang walikota tapi ingin
menjadi ilmuwan itu, akhirnya membuatmu merasa bingung setiap memilih sikap.
SAUDARAMU, MEMBUNUHMU, DAN SEGALANYA
Tiba-tiba terlintas kembali mimpi itu. Mimpi yang
menghantuimu semalam. Entah menghantui, atau memberi petunjuk. Petunjuk?
Petunjuk apa? Mungkin saja mimpi tadi malam hanya bunga tidur belaka. Tapi
mengapa ada sangkut pautnya dengan kakak lelakimu? Kau menggeleng pelan untuk
mengusir pening yang mulai menjalar di kepalamu. Dengan cepat, kau melupakan
semuanya.
***
Otak jeniusnya
mulai bekerja ke arah yang membingungkan.
Batinmu.
Hari ini genap dua tahun kakak lelakimu menjadi
walikota. Ia sudah banyak membuat perubahan besar di kota ini. Mengganti semua
bawahannya yang berpikir politik dan demokratis dengan orang-orang berusia amat
muda yang berintelegensi tinggi dan berpikir secara matematis. Program kerja
walikota terdahulu yang diberi nama ‘Lima Tahun untuk Rakyat Maju yang Mengerti
UUD 1945’, tidak dilanjutkan oleh kakak lelakimu yang malah membuat program
kerja baru berjudul ‘Lima Tahun untuk Rakyat Cerdas yang mengerti Rumus Linear
Bangsa’. Kakak lelakimu bukan orang yang senang menyelewengkan uang, tapi
senang menggunakan uang pembangunan kota untuk membangun sekolah, perpustakaan,
serta memberikan pendidikan gratis hingga SMA secara menyeluruh. Juga mengembangkan
teknologi cloning untuk mengembangkan peternakan. Untuk yang satu ini, kakak
lelakimu telah mendapat teguran dari pemerintah. Teguran yang membuat jantung
ayahmu kambuh.
Tindakan kakak lelakimu dalam pemerintahan membuat
seisi kota merasa bingung memilih sikap.
Tapi kakak lelakimu tidak ingin menyerah, Bahkan
semakin ambisisus. Sampai saat ini, kau masih belum peduli. Bahkan ketika ruang
kerja pemberian ayahmu menjelma menjadi laboraturium karena dirombak
habis-habisan oleh kakak lelakimu, kau tidak peduli, atau kau menyembunyikan
kepedulianmu?
Kau membuka pintu ruangan kerja kakak lelakimu yang
tidak pernah terkunci. Sampai saat ini, kau tidak tahu alasan kakak lelakimu
yang tidak pernah mengunci ruangannya. Namun kau tak memusingkan hal itu. Kakak
lelakimu tidak ada di ruangannya, dan kau tersenyum. Ruangan itu rapi meskipun
sekarang lebih mirip dengan ruang pengamatan. Kakimu mulai bergerak mendekati jajaran
lemari buku. Begitu sebuah lemari buku hanya berjarak beberapa inchi dari
tempatmu berdiri, tanganmu mulai merayap mencari buku. Lemari ini berisi
buku-buku ensiklopedia edisi bahasa Spanyol yang akhirnya membuatmu berpindah
ke lemari buku sebelahnya agar menemukan buku yang dimaksud. Kau begitu fokus
sehingga tidak memerhatikan bahwa ada beberapa kamera yang mengintaimu, merekam
semua yang kau lakukan. Kau begitu fokus, atau tidak tahu perihal kamera
tersembunyi itu?
Kau mengangkat sebuah buku tebal, ensiklopedia edisi
bahasa Inggris. Tak apa, katamu karena kau bisa menerjemahkannya. Begitu semua
urusan selesai, kau segera keluar dari kamar itu. Tak membayangkan apa yang
selanjutnya terjadi. Kamera-kamera tersembunyi sudah merekam aktivitasmu di
ruangan itu dengan baik dan sedetil-detilnya.
Kau tersenyum sendirian di kamarmu, merasa beruntung
memiliki kakak yang senang membaca. Setidaknya, ensiklopedia yang kau temukan
di ruangan kerja kakak lelakimu itu dapat membantu penyusunan skripsimu. Lembar
demi lembar kau baca dan kau nikmati karena buku itu benar-benar lengkap.
Beberapa saat kemudian, kau baru menyadari bahwa ada halaman di buku itu yang
tampak diganjal sesuatu. Kau membukanya, dan menemukan beberapa lembaran kertas
yang dilipat. Tanpa berpikir panjang, kau membuka lipatan kertas-kertas itu.
Kertas-kertas yang berjudul ‘Proyek Komandan’.
Kau baru akan membaca isinya, tiba-tiba seorang
datang dan menampar pipimu. Jantungmu serasa mau copot karena saking kagetnya.
Kakak lelakimu dengan cepat merampas ensiklopedia dan lembaran kertas yag kau
pegang. Kau makin kaget. Kakak lelakimu baru saja menamparmu.
Kau sudah gila apa!? Masuk tiba-tiba dan menamparku!
Kemarikan ensiklopedianya!
“Kau masuk ke ruanganku dan mengambil buku tanpa
meminta izin dulu padaku? Kau tak punya etika, Karin?” balas kakak lelakimu.
Kau terperangah mendengarnya. Tak menyangka bahwa kakak lelakimu tahu apa yang
kau lakukan di ruangannya. Dia tahu dari
mana!?
Baik, untuk hal itu aku minta maaf… tapi aku
membutuhkan ensiklopedianya! Kumohon karena koleksimu adalah yang terlengkap
untuk membantu penyusunan skripsiku!
“Kalau kau membutuhkan bukunya, mengapa kau membuka
hal yang lain? Kertas-kertas ini?”
Aku hanya iseng saja… maafkan aku! Kumohon, beri aku
pinjam buku itu!
Kakak lelakimu tidak mendengarkan. Ia keluar dari
kamarmu dengan membawa ensiklopedianya. Kau terduduk lemas di kasurmu. Merasa
aneh dengan sikap kakak lelakimu yang semakin dingin itu. Lembaran-lembaran kertas itu, ada apa dengan mereka? Mengapa Khalif
tidak ingin aku membukanya? Mencurigakan…. Kau terus berpikir.
SAUDARAMU BEKERJA, MEMBUNUHMU, DAN SEGALANYA
Mimpi itu beberapa waktu ini terus mendatangimu. Kau
semakin tidak bisa tidur dibuatnya, karena kau masih belum mengerti arti dari
mimpi itu. Namun tiba-tiba matamu membesar, nafasmu memburu cepat, dan dadamu
berdegup kencang. Kertas-kertas tadi,
mungkinkah petunjuk berikutnya!? Sekarang perasaanmu merasa semakin
terancam.
***
Stres menyikapi sikap kakak lelakimu yang semakin
dingin dan acuh, membuat ayahmu pindah dari rumah itu dan tinggal menyendiri di
villa milik keluargamu. Kau yang ingin menemani ayahmu, mencoba menahan diri
karena ada yang harus kau selesaikan di rumah ini. Makin hari, segalanya
semakin jelas. Kau mulai membuat prediksi mengenai ‘Proyek Komandan’ kakak
lelakimu. Kau terus mengamati kakak lelakimu meski kau tidak berani untuk masuk
ke ruangan kerjanya lagi. Seminggu pengamatan yang kau lakukan, kau membuat
dugaan bahwa kakak lelakimu sedang menyembunyikan sesuatu dan membuat proyek
rahasia.
“Jadi kau mengundangku ke rumah hanya agar aku
menceritakan tentang kakakkmu yang tinggal serumah denganmu, Karin?” tanya Anggra.
Kau tersenyum menanggapi pertanyaan itu.
Aku hanya ingin tahu bagaimana ia bekerja. Dia
sangat sibuk. Katamu berdusta.
“Kau ingin aku menceritakan apa tentang kakakmu?”
tanya Anggra kemudian.
Segalanya yang kau tahu tentang dia, Mas. Kau kan
bekerja dengannya setiap saat. sahutmu dengan nada memohon.
“Tapi kau ini adiknya, dan kau seharusnya lebih tahu
dia dibandingkan aku?”
Mas, bagaimana aku bisa mengetahui kakakku jika ia
selalu pergi pukul lima subuh dan kembali pulang pukul dua pagi? Saat-saat
dimana aku sedang istrirahat, dia malah baru pulang! Kumohon ceritakan
proyek-proyek kakakku yang ingin ia realisasikan! Kau semakin memohon, lebih
tepatnya memaksa. Anggra menatap ke arahmu dengan pandangan penuh tanya dan
kasihan. Kau semakin tegar dan berusaha tidak terlihat mencurigakan.
“Tapi aku tak yakin jika kau mampu mendengar semua
ceritaku…” kata Anggra bimbang.
Aku siap mendengar apapun!
Kau yang keras kepala, membuat lelaki itu merasa
bingung.
“Eu… begini, aku pikir selama ini kakakmu adalah
orang yang suka bekerja keras. Dia jenius, ambisius dan cepat tanggap, namun
juga tak peduli. Sewaktu mengetahui bahwa di usianya yang masih amat muda untuk
ukuran walikota itu dan dia terpilih untuk memimpin kota ini, aku tidak kaget.
Dia ahli strategi dan suka sekali menyusun rencana untuk jangka waktu yang amat
panjang. Pikirannya luas, dan dia seorang sustainabiliner,”
“Kau juga pasti tahu hasil kerjanya selama ini, kan?
Merombak kota disana-disini, dan membuatnya menjadi seperti Perpustakaan
raksasa. Benar-benar menginginkan kecerdasan menyeluruh di kota yang ia pimpin.
Yahh… aku rasa sistem pemerintahannya tidak begitu mengganggu, tapi dengan
sikap anti-demokratisnya itu, dia jadi mengabaikan aspirasi dari rakyat. Yang
kupikirkan hanya satu, jika dia begini terus, suatu saat dia akan digulingkan,”
“Eh, maaf! Bukan maksudnya aku mendo’akan kakakmu
akan digulingkan….”
Tidak apa-apa, teruskan, Mas….
“Sebagian besar dari proyeknya berhasil, dan hal itu
membuat dia merasa percaya diri. Sekarang dia sedang menyusun sebuah proyek
besar yang masih dirahasiakan dari orang banyak. Namanya Proyek Komandan.”
Kau berseru senang dalam hatimu. Inilah saatnya!
“Dia….” Anggra menarik nafas, seolah akan
menceritakan titik klimaks dari sebuah cerita.
Tiba-tiba ponselmu berbunyi, menyebabkan cerita Anggra
terpotong. Nomor ayahmu menghubungimu.
“Karin, ini Pak Sahri, ayahmu dilarikan ke rumah
sakit! Jantungnya kambuh!”
Kau tercekat mendengarnya dan langsung pergi
meninggalkan Anggra.
“Karin! Ada apa!?” Anggra mengejarmu. Tapi kau tidak
mendengarnya, dan segera melesat dengan VW-mu.
Ponselmu berbunyi lagi. Kali ini ada pesan dari
Anggra.
Apapun
yang membuatmu berlari begitu cepat, tentu tentang sesuatu yang
mengkhawatirkan. Padahal, kakakmu saat ini lebih mengkhawatirkan lagi. Tapi
bagus kau pergi sekarang, sebaiknya kau jangan pulang ke rumah untuk beberapa
waktu. Suatu hari aku akan menjelaskannya.
Meski agak bingung dengan pesan itu, kau tidak
peduli dan terus memacu mobil.
***
Proyek Komandan adalah…
“Tidaakkkk!! Saya tidak ingin diusir dari rumah!”
“Ibuuuu!!!”
“Ayaaahhhh!!!”
“Saya tidak sudi rumah saya digusur! Rumah ini
mahal!”
“Untuk apa saya diusir! Si Khalif ngasih perintah
aneh apa lagi!? saya tidak mau digusur!”
Apapun keluhan itu, segalanya tetap berjalan. Proyek
Komandan adalah penggusuran 12 kecamatan sekaligus, pembangunan sebuah Taman
Pendidikan Raksasa, mengundang orang luar negri, keluhan rakyat, keegoisan Sang
Walikota, perhatian yang besar terhadap dunia pendidikan, acuh pada rakyat, keegoisan,
kemauan, keluhan lagi, sanjungan pada ilmu, kejeniusan, kebodohan dalam bijak, penderitaan,
kemajuan, keegoisan lagi, pembangunan, penggusuran, pemberontakan!
“Kita gulingkan Khalif!”
Semua penduduk dari 12 kecamatan dan
kecamatan-kecamatan lain sepakat,
Menggulingkan sang Walikota!
“Khalif! Ayo! Helikopter sudah menunggu!” teriak
Anggra. Khalif tersenyum memandang helikopter yang masih melayang-layang di
atas gedung ini.
“Kita mau kemana? Sudahlah berdiam disini saja. Kita
akan menikmati pembangunan infrastruktur yang akan menjadi keajaiban dunia!
Baru tahap penggusuran, kok sudah pergi!?”
“Ini bukan masalah pembangunan lagi! Rakyat
memberontak! Dibawah, banyak sekali orang yang berusaha masuk kesini untuk
menebas kepemimpinanmu!” Anggra mendekati Khalif dan memukul teman semasa
kuliahnya itu.
“Kau! Kenapa sejak awal memerintah dengan sistem
seperti ini, hah!? Egois! Keparat!”
Khalif hanya tersenyum dan mengusap bibirnya yang
berdarah.
“Anggra, kau pergi saja… aku ingin menikmati
pembangunan proyek besar ini…”
Anggra langsung menarik tangan Khalif, “ayo kita
pergi!”
Khalif segera menepisnya. “pergilah, aku ingin
disini. Aku masih walikotamu, jangan membantah! Pergilah, Anggra!”
“Terima kasih
selama ini sudah membantuku. Kau sahabat yang baik…tolong bawa Karin. Jika kau
bertemu dengannya, katakan padanya…” lanjut Khalif.
Anggra termangu. Dadanya serasa sesak. Air matanya
seakan tak sabar untuk menggenang di sudut matanya. Namun, ia berhasil
mengendalikan dirinya.
“Kau ingin mengatakan apa pada Karin?”
“Katakan padanya, maafkan aku jika selama ini terus
mengganggunya. Katakan padanya, bahwa aku mencintai dan menyayanginya.”
Anggra semakin terpaku. Kakinya merasa enggan pergi,
ia mengerti Khalif. Khalif adalah orang yang tak ingin meninggalkan
pekerjaannnya apapun itu resikonya. Tiba-tiba Anggra merasa ingin menemani
Khalif disini. Berdua disini, sebagai sahabat. Bukan sebagai rekan kerja.
“Pergilah! Ini perintah dari walikotamu!”
Tanpa permisi lagi, Anggra segera berlari ke atap
untuk segera menaiki helikopter yang sebentar lagi akan lepas landas. Begitu
menaiki helikopter, Anggra tak kuasa menahan bendungan air matanya yang ia
biarkan menitik begitu saja.
Khalif tersenyum getir. Pintu ruangan itu tiba-tiba
terbuka, puluhan orang berusaha masuk dan menemukan seorang laki-laki berdiri
sendirian disana, tengah tersenyum melihat sebuah helikopter terbang melesat
melintasi kota.
“Itu dia walikota! Kita bakar dia!”
“Kita bunuh!”
Siang ini panas
sekali, batin Khalif. Tapi tidak apa-apa… jika Taman Pendidikan itu selesai, hatiku akan
sejuk kembali…
Khalif tak
mendengar apa-apa lagi. Ia hanya ingin seluruh mimpi-mimpinya terwujud.
***
Aku tak pernah
ingin menjadi pemimpin. Aku hanya ingin jadi orang cerdas, dan hanya menginginkan perubahan, revolusi dari
pemerintahan yang sebelumnya, pemerintahan yang dirasa tidak membahagiakan dan
memajukan rakyat, pemerintahan yang penuh cela, pemerintahan yang demokratis
namun apatis, pemerintahan yang sarat kolusi dan nepotisme, pemerintahan yang
penuh janji namun tak ada bukti, pemerintahan yang kacau, pemerintahan yang tak
menghasilkan, pemerintahan yang dicatat sejarah kelam bangsa. Aku akan berjuang
dengan caraku sendiri. Bagaimana pun juga, aku tak akan terikat oleh
siapa-siapa. Aku akan tetap menjadi pribadiku yang begini, yang kadang aku
tidak mengerti tentangnya. Yang kadang Ayah dan Karin pun tidak mengerti
dibuatnya. Ayo mulai berjuang! Tidak apa-apa jika tidak ada yang mau
membantuku, aku bisa bekerja sendirian. Di dunia ini, atau dunia selanjutnya,
aku bisa bekerja sendirian.
Pandanganmu kosong. Tanganmu perlahan menutup diari
kakak lelakimu yang berhasil kau curi sebelum akhirnya kau pergi menemani
ayahmu. Kau melirik ayahmu yang masih tertidur di sampingmu. Wajahnya pucat
sekali. Di depanmu, televisi sedang menayangkan penggulingan dan pembakaran
seorang walikota jenius oleh penduduknya yang anarkis. Seorang petugas masuk,
“Permisi, Nona, sekarang jenazah ayah anda akan
disholatkan,”
Kau menatap tajam petugas itu.
Kakakku sudah pergi, sekarang jangan kau bawa pergi
ayahku. Aku sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi….aku bisa mati…
Benar. Kakak lelakimu sudah membunuhmu. Dengan caranya
sendiri, yang tidak pernah kau mengerti tentangnya.
Hari ini tanggal 2 Mei, Hari Pendidikan Nasional.
Siang hari yang panas, dan senja akan semakin panas.
***