Salah satu lembaga kemahasiswaan yang berada di FMIPA
Unpad adalah HIFI (Himpunan Mahasiswa Fisika). Dari namanya aja udah jelas kan
kalau ini bukan organisasi yang diperuntukkan bagi mahasiswa jurusan kebidanan.
Iya, HIFI adalah organisasi yang mewadahi mahasiswa dari program studi Fisika
dalam berkarya, berbacot, bergelimang gila, dan bermanfaat bagi orang lain.
Yah, sejauh ini itulah pandangan subjektif yang saya pikirkan mengenai himpunan
ini.
Tahun ini adalah tahun kedua saya menjadi Badan
Pengurus HIFI. Tahun kemarin masuk departemen Media dan Informasi. Tahun ini
jadi anak Pengembangan Internal. Sepanjang saya menjadi bagian dari pengurus
himpunan, saya selalu merasa bahwa himpunan ini telah memberi banyak coretan
cerita dalam hidup saya. Senang, sedih, gila, kacau, balau, gundah, gulana,
bokek, semuanya. Dari sejak saya pertama kali menginjakkan kaki di Fisika
Unpad, HIFI telah menggelar red carpet untuk saya lewati,
bersama saudara-saudara seangkatan saya, yang disatukan dalam Himpunan ini.
mungkin ini prolog yang terlalu sentimentil. Hahahahaha.
Salah satu coretan cerita yang ingin selalu saya
kenang, adalah yang akan saya ceritakan di bawah ini. Cerita ini baru
berlangsung 2 hari yang lalu, dan saya ingin segera menulisnya, agar tidak
lupa. Karena coretan cerita yang satu ini, barangkali bisa menggambarkan betapa
HIFI sebenarnya hidup. Selamat membaca J
Alkisah, saat ini, HIFI tengah di-chaos-kan
dengan suatu proker yang bernama OSCAR (chaos, suatu kondisi dimana
pikiran dan hati tidak mengalami sinkronisasi alias rusuh). Bukan penghargaan
perfilman Amerika, bukan juga krim yang buat nutupin wajah (masker keleeeuuusss
*oke kejauhan). OSCAR adalah Organization, Sponsorship, Character and
Legislative Training. Merupakan proker gabungan dari empat proker di
himpunan. Dan saya adalah salah satu penanggung jawabnya. Rencananya, akhir
Maret ini acara tersebut mau dilaksanakan. Kebetulan saya dan tiga penanggung
jawab lainnya kemarin-kemarin belum masukin proposal pengajuan dana ke Dekanat
FMIPA Unpad. Nah, si Ketuplaknya, Fadlan, mendesak kita para PJ (Penanggung
Jawab) untuk segera memasukkan proposal ke dekanat. Salah satu PJ, Abid, karena
satu departemen dengan saya, saya lebih gampang koordinasi sama dia. Maka kami
berdua memutuskan agar bisa memasukkan proposal ke dekanat pada tanggal 18
Maret dengan berbagai konsekuensi termasuk sulitnya jalur birokrasi.
Sebelumnya saya mau cerita dulu mengenai reputasi saya
dan Abid di angkatan. Oleh beberapa orang, saya dijuluki “Manusia KSR” karena
sering merusak apapun yang saya pegang, dan sering melakukan kesalahan dalam
berbuat sesuatu. Dan Abid yang menyadari bahwa dirinya adalah orang yang
teledor-maksimal. Dan kami disatukan dalam permasalahan ini. Tak perlu
membayangkan.
Syahdan, pada hari itu, Abid keluar dari kelas pas jam
9an buat ngeprint seperangkat proposal dan surat-surat untuk dekanat. Saya baru
keluar kelas jam 10an. Karena saya dan Abid beda kelas kuliah, kita baru ketemu
pas menjelang dhuhur. Saya meriksa proposal dia, dan dia meriksa proposal saya.
“Dil, proposalnya kan harus rangkap empat.” Kata Abid.
“Oh iya? Bukannya rangkap tiga?”
“itu tahun kemarin.. ”
Saya menelan ludah. Itu kesalahan proposal saya. Saya
kemudian menunjukkan pada Abid kesalahan dalam proposalnya.
“Ini maksudnya apa cover sama isinya berbeda fasa 180
derajat gini (alias kebalik)?”
Abid terdiam. “Oke, kita ke tukang print bareng..”
kata dia pelan. Lebih ke lemes kali ye..
“Sekalian aku mau ngopy surat permohonan dana kamu ya.
Aku belum bikin.” Kataku. Abid mengiyakan.
Kami berdua pun pergi ke asrama buat ngeprint.
Untungnya di tempat ngeprint di asrama lagi ga terlalu penuh, jadi disini
lancar jaya.
Dari asrama, kita ngebut ke jurusan buat nyari Fadlan
karena kita membutuhkan tanda tangannya yang sakral untuk masalah beginian.
Fadlan ada di jurusan, dan saat saya dan Abid ngejar-ngejar dia buat minta
tanda tangan, dia sepertinya merasa kegantengan. Sial.
Habis dapet tanda tangan Fadlan, kita sakau buat nyari
Kahim, Hafizh. Dari informasi yang saya dapatkan di suatu pelayanan pesan
pendek alias sms, Hafizh mau menuju ruhim (ruang himpunan). Maka dengan
semangat 70, saya dan Abid bergegas ke ruhim untuk mendapat tanda dari
tangannya Hafizh.
Pas nyampe Ruhim, di dalem ruhim juga ternyata sedang
chaos oleh orang-orang yang mau pergi nyari sponsor OSCAR. Ada Inung juga, anak
Departemen Sosial, yang sama-sama mengincar tanda tangan Hafizh. Tapi dia
sumpah iseng banget pas bilang gini ke Abid,
“Kang Abid, kok surat dana ke Pembantu Dekan sih?
Bukannya namanya udah jadi Wakil Dekan ya?”
Oh My GOD. Iseng banget kan? Karena setelah dia bilang
gitu, saya sama Abid langsung chaos. Soalnya, saya juga ngopy surat dari Abid
dan otomatis salah. Abid termangu.
“Ivan, pinjem motor.” Pinta saya inisiatif berniat mau
langsung ngeprint. Ivan kaget ketika saya minta gitu, dan seketika wajahnya
langsung ketakutan.
“Dil, tolong jangan rusakin motor sayaa... ” mohon
Ivan.
Ya Tuhan ... reputasiku.. saya menangis dalam hati.
Tapi begitu Abid tersadar dari keterkejutannya, dia
meminjam motor pada Ivan. Untung Abid yang minjem masih dikasih sama Ivan. Lalu
dengan tingkat kepanikan setingkat moderat, saya dan Abid segera berangkat.
Saat fix tinggal starter motor, Abid masih sempet iseng.
“Dil, flash disk ga ada.”
“Ya Salaaam! Periksa di kantong celana, periksa di tas
sana.”
Nunggu lagi...
“Dil ga ada! Di flash disk lu ga ada datanya?”
Saya geleng-geleng kepala lemes. “Tapi di laptop ada
kan bid? Kita edit dulu aja.. ” saran saya.
Abid mengiyakan. Kami pun masuk ruhim bermaksud untuk
mengedit surat permohonan dana untuk dekanat. Karena Abid mengingatkan saya
pada flash disk saya – yang sebenarnya flash disk pinjeman – maka saya jadi
pengen ngecek posisi itu flash disk, dan fix ga ada di tas!
PANIK !
Setelah ngerusuhin satu ruhim, baru keingetan kalo
flash disk nya ketinggalan di tempat tadi ngeprint. Merasa bertanggung jawab
atas barang milik orang lain, saya maksa ke Ivan untuk kasih pinjem motor biar
saya bisa ke asrama lagi. Tapi emang reputasi ‘error girl’ ini udah
terlalu melekat di diri saya. Ivan tetep ga percaya, dan akhirnya dia
memutuskan untuk nganterin saya ke asrama. Alhamdulillah pas nyampe asrama,
flash disknya masih ada karena disimpen sama abang yang jaga. Makasih ya bang.
:’)
Balik lagi ke ruhim, Abid akhirnya beres ngedit.
Karena dia berasumsi kalo flash disknya udah ilang, yaudah dia pinjem flash
disk Toni. Dengan pede dan begitu yakin, Abid bilang gini ke saya ,
“The last show time !”
Tapi insting saya mengatakan, kita berdua nampaknya
akan melakukan error lagi..