Pada saat marah, seringkali pikiran
buruk menguasai kepala. Refleks yang ingin
kita lakukan adalah mencaci maki, menghujat, bahkan menyakiti orang lain
di sekitar kita. Semua itu untuk melampiaskan kemarahan.
Tapi, cobalah melampiaskan
kemarahan ke dalam bentuk sebuah doa. Doa yang baik, doa yang tulus, untuk hal –
hal yang membuat kita marah. Sulit? Relatif sih sebenernya.
Saya mau sharing tentang pengalaman
saya saat kemarin melalui perjalanan yang melelahkan dari Padalarang ke
Jatinangor. Jadi, hari Jumat kemarin, 22 Mei 2015, saya dan Ima berangkat ke
Padalarang, berniat berkunjung ke Tebing Citatah untuk booking jalur pemanjatan
buat minggu ini. Nah, saya hari itu tidak sarapan, dan karena terburu-buru,
akhirnya melewatkan makan siang juga.
Perjalanan ke Padalarang kami lalui
menggunakan kereta api, dan tiba di Tebing Citatah sekitar pukul setengah 4
sore. Karena mengejar kereta api maghrib, kami melewatkan makan lagi dan
langsung melakukan pendaftaran di Markas Pengelola tebingnya. Setelah itu kami
melakukan survey jalur dan saya tergiur untuk naik ke atas tebing lewat jalur
belakang.
Karena Ima setuju, maka kami pun
naik ke atas tebing. Jalurnya cukup curam, dan di beberapa bagian, kita sedikit
memanjat batu-batu di sepanjang jalur. Kami berdua berada di atas tidak terlalu
lama karena Ima belum solat Ashar. Akhirnya kami turun lagi dan tiba di bawah
sekitar pukul 5 kurang. Karena turun dari tebingnya cukup ngebut, energi saya
cukup terkuras. Perut saya sakit karena belum makan dari pagi.
Ternyata di sekitar tebing tidak
ditemukan mesjid, kami langsung berangkat ke stasiun untuk memesan tiket, dan
saya menyarankan agar Ima solat di mushola stasiun.
Pada pukul 17.30 kami tiba di
stasiun. Ima langsung mencari mushola, dan saya memesan tiket. Berdasarkan jadwal
yang saya pegang, kami memesan kereta yang berangkat pukul 18.18. Tapi menurut
petugasnya, ternyata kereta akan berangkat pukul 17.45, dan kereta selanjutnya
akan berangkat pukul 19.30. Saya ga sanggup membayangkan kita nungguin kereta
ampe jam 19.30 karena nanti ketika tiba di Nangor, tidak ada yang bisa
menjemput kami dari stasiun. Jadi, kami tidak mau terlalu malam tiba di Stasiun
Rancaekek. Akhirnya saya memesan dua tiket kereta yang berangkat 15 menit lagi,
dan seketika langsung berlari mengejar Ima yang mencari Mushola di luar
stasiun. Ternyata mushola nya ditutup dan Ima panik karena belum solat Ashar.
Saya menyuruh dia solat di dalam kereta, dan kami berlarian lagi untuk masuk ke
kereta.
Untung di dalam kereta kosong
sehingga kami memilih tempat duduk dengan bebas. Ima langsung solat setelah
berwudhu dengan tayamum (saking paniknya karena telat solat, dia ga sadar kalau
di kereta ada toilet). Beberapa menit kemudian, kereta berangkat dan saya tidak
bisa tidur karena terlalu lelah. Perut juga rasanya sudah mati rasa.
Tiba di stasiun Rancaekek sekitar
pukul 7 malam. Saya ngajak Ima makan dulu di tempat deket stasiun. Tapi Ima lebih
suka makan di Jatinangor. Saya menurut dan kami naik angkot Gede bage, lalu
turun di Cileunyi. Selanjutnya, kami naik angkot Sumedang – Cileunyi untuk mencapai
Jatinangor. Angkot yang kami naiki ini, merupakan angkot di barisan paling
depan dari sederetan angkot – angkot yang sedang ngetem di depan Rumah Sakit
AMC Cileunyi. Begitu saya dan Ima naik Angkot, ternyata kami berdua adalah dua penumpang
pertama angkot itu. Sial. Ngetemnya pasti lama banget. Dan kepala saya sakit
karena terlalu lapar mungkin? Hahaha.
Dan benar. Setengah jam kemudian,
angkot belum beranjak juga. Kursi yang kosong tinggal untuk 2-3 orang lagi,
tapi angkot juga belum berangkat. Ima sudah uring-uringan sejak belasan menit
yang lalu. Kami berdua saat itu sedang lelah, lapar, dan kesal. Semua itu
memicu marah, dan dalam pikiran saya, terancang puluhan kata kasar yang hendak
saya luncurkan dari mulut saya untuk supir angkot ini. Saya ga ngerti, jalanan
udah kosong, dan penumpang mana lagi yang dia tunggu ?
Tapi saya coba menahan diri, agar
kata-kata gila itu tidak keluar bahkan dalam hati saya sekalipun. Saya beristighfar
mencoba menahan marah. Mengeluarkan pikiran – pikiran baik bahwa supir ini
sedang mencari nafkah untuk keluarganya. Namun, ketika beberapa saat kemudian,
terdengar caci maki si supir yang ekstra kasar karena kesal pada para Calo yang
gabut padahal sudah dibayar, darah saya bergejolak nampaknya terpengaruh oleh
aura buruk dari si supir.
Ya Tuhan, jangan biarkan hamba
meledak. Akhirnya, saya coba berdoa. Mendoakan si Supir, yang baik – baik. Sambil
memejamkan mata, mencoba ikhlas. Ajaibnya, setelah berdoa, saya merasa lebih
tenang.
Tidak lama kemudian setelah saya
berdoa, 3 orang muncul dari gerbang rumah sakit dan langsung naik angkot yang
kami naiki. Karena angkot sudah penuh, maka si Supir pun tancap gas.
Saya takjub. Seketika memuji-muji
Allah dalam hati. Tidak mungkin kebetulan. Mungkin berkah doa dari seseorang
yang marah. Cuma mau sharing aja, kalau marah itu bisa diredam dengan istighfar
dan doa. Karena doa itu bagai embun penyelamat saat berada di padang pasir. Bagai
penghangat kala hujan badai. Doa selalu dikabulkan oleh Allah. Masalah dikabulkannya
kapan, itu urusan-Nya. Tetaplah berdoa saja. Karena doa, dapat menenangkan
hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar