Setelah saya pikir – pikir, ternyata sebenarnya saya tidak
terlalu sibuk loh. Setelah dihitung-hitung, saya masih nyaris bisa memenuhi setiap
sks kuliah yang saya ambil. (1 sks = 1 jam di kelas masih bisa lah, 1 jam
mengerjakan tugas di rumah masih okelah, 1 jam belajar sendiri hmmm ya
sepertinya perlu banyak toleransi. Hahaha)
Dan dengan saya mengurus Caldera dan PKM Kewirausahaan dari
Dikti, ternyata saya masih bisa tidur cukup 5 jam tiap hari, dan masih ada
waktu luang untuk menekuni hobi saya seperti SB (sleeping bingit) *loh?* dan
menulis atau menggambar.
Lalu, kemarin-kemarin apa yang selalu menghabiskan waktu
saya? Yang menyebabkan kekacauan dalam setiap aspek hidup saya (terutama dalam
urusan bikin laporan praktikum – you know what I mean), kuliah, Caldera, PKM,
bahkan orangtua? Aaaaa…. Actually, that’s f*cking euphoria of new smartphone!
Efek punya mainan baru, tiba – tiba dunia saya menjadi
teralihkan. Jagad raya yang maha luas ini, jadi serasa hampa dibandingkan dengan
hiruk pikuk dunia yang dengan mudahnya terpantau dalam genggaman tangan.
22.02
“Dil, kerjain laporan.” Kata temen.
“Bentar ya, IG-an dulu.”
22.45
“Dil, kerjain laporan”
“Mau cek path dulu bentaaar”
23.39
“Dil… (udah males)”
“Ini lagi asik chat line” terus asik sendiri “anjir lah, gue
di mention banget nih?” -_-
01.10
“Gua ngantuk, bangunin jam 3 ya.” kata si saya
Bablas time – 05.57
“Si kampret kagak bangunin. Yaudah ah, mau liat Wasap dulu.”
Padahal praktikum 4 jam lagi.
Gila! Emang gila. Saya akui, kemarin2 itu saya terlalu
berlebihan. Semoga Tuhan mengampuni saya yang dzalim terhadap waktu, dan
ironisnya saya sangat pelit untuk menyediakan waktu mengaji. Hiks. Bener kata
Einstein, “Akan datang masa dimana teknologi akan melampaui interaksi manusia. Akan
muncul generasi yang idiot.”
Iya saya ngaku saya ngerasa idiot.
Sekarang? Ga guna menyesali waktu yang telah terbuang
percuma. Saya berusaha bangkit, menggunakan smartphone seperlunya,
sebermanfaatnya. Ya mungkin karena udah mulai bosen juga dengan medsos semacam
itu. Baguslah, biar proses moving forward
nya lebih cepat. J
Malu lah.
Jadi, nonsense
dong hasil penempaan organisasi selama bertahun – tahun mengenai manajemen
waktu mahasiswa, kalau akhirnya KO oleh gemerlap dunia media sosial? Wkwkwkw.
Oke, itu hanya intermezzo. Hahaha. Ambil pesan moralnya,
abaikan alay amoralnya hahaha.
Dan karena saya baru sadar kalau ternyata saya masih punya
waktu luang, saya mencoba merenung. Memikirkan banyak hal, terutama mengenai
Mamah saya.
Kemarin – kemarin, sebenarnya dari dulu – dulu sih, saya
memang cukup sulit dihubungi melalui telepon. Hmm, bahasan kali ini merujuk ke
Mamah sih. Jadi, beliau kalo nelpon saya, kasarnya baru di panggilan ke 7 saya
baru angkat telepon saking susanya saya pegang hape. Soalnya, kalo hape nya ga
di silent, ya saya asik ama laptop sendiri, asik ama pikiran sendiri. Hahahaha
Dampaknya? Mamah meneror (neror banget nih bahasanya?) teman
– teman saya dengan menelpon mereka satu – satu buat nanyain keberadaan jasad
saya dimana, apakah saya kuliah hari ini, apakah saya ada di sekre, atau di
kosan, apakah saya sudah makan, dan lain – lain.
Dan kejadian itu cukup sering juga, dosisnya bisa lah 3 hari
sekali. Jadinya saya sering kena protes dobel. Dari Mamah yang marah – marah karena
saya jarang pegang telepon, dan dari teman – teman saya yang kesel sama saya
karena saya super susah dihubungi orang tua (jadinya mereka yang sering kena
semprot) hehehe mamaaah, peace eaa..
Saya awalnya berpikir skeptis.
Ih, mamah. Lebay amat.
Bete deh jadinya kena marah dari mana-mana.
Ga ngerti apa saya sibuk. (padahal seperti kata prolog
diatas, saya tidak terlalu sibuk!)
Dan ketika adik saya ikut ngomelin saya juga, saya makin
kesel. Seakan saya ini anak yang sangat tidak berbakti. Saya makin males
ngangkat telepon dari Mamah (karena sebagian besar isinya nyeramahin saya yang
susah dihubungi). Makin males balik ke rumah. Dan beneran jadi makin durhaka
kayaknya. Naudzubillah. L
Dan itu udah berlangsung selama hampir satu tahun belakangan
ini.
Udah 21 tahun saya hidup, dan baru berpisah atap selama
hampir tiga tahun (ya karena kuliah maksudnya) dengan Mamah. Saya selalu tahu
kalau Mamah berjuang membiayai saya kuliah. Saya berasumsi kalau Mamah adalah
investor hidup saya, membiayai seluruh hidup saya (sejak Papah meninggal),
menginvestasikan uangnya untuk menghasilkan saya yang berkualitas sehingga saya
bisa membahagiakan beliau di masa depan. Brengsek ga sih saya? Dua tahun lebih
saya membuat frame semacam itu pada Mamah saya. Pantas saja, saya selalu biasa
saja bila beliau nelpon, biasa saja kalau pulang ke rumah, kadang malah tidak
betah di rumah dan ingin secepatnya berada di Nangor lagi, dan jika tiba di
hari ulang tahun beliau, malah timbul pikiran “Hmm, udah kepala empat mah ga
perlu ucapan selamat lagi kali yaa… ” kemudian, yasudahlah.
Kadang merasa berdosa ketika tidak pulang – pulang, tapi
perasaan itu segera terkubur oleh kehadiran adik saya yang selalu pulang tiap
minggu ke rumah.
Kadang merasa bersalah ketika Mamah begitu sulit menghubungi
saya, tapi perasaan itu segera teralihkan oleh percik – percik kampret yang
bergemuruh ‘yaudah lah maklum kan ya saya sibuk’ – sibuk sialan.
Kemudian tiga hari yang lalu, ketika menemukan waktu – waktu
tenang tanpa smartphone, saya membayangkan kondisi dimana saya yang menjadi
seorang ibu. Mencoba berdiri dari sudut pandang Mamah.
Aku adalah single
parent yang berjuang sendirian, yang kesepian, yang tidak akan menikah lagi
demi anak – anak saya yang berharga meski sebesar apapun aku menginginkannya.
Aku menantikan anakku pulang
setiap minggu tapi ia sibuk di tanah padjadjaran.
Aku kebingungan,
kehabisan akal bagaimana cara agar dapat mendengar suara anakku walaupun hanya
melalui telepon, Aku kalap begitu ingin mengetahui kabarnya. Peduli amat harus
menghubungi teman-temannya juga, mungkin akan malu karena aku akan mengganggu mereka,
tapi aku harus tau dimana anakku berada.
Aku rindu anakku. Biarlah
tiap pulang ia selalu menyanyi keras-keras, tapi aku merindukannya.
Anakku, balas sms
mamah…
Kumohon, jangan naik
gunung lagi. Aku begitu khawatirnya sampai jantung ini seakan tak kuat untuk
berdetak lagi.
Jadilah kuat, tetaplah
semangat. Dan aku ingin menjadi bagian yang selalu kau ingat, nak.
Sumpah. Saya nangis. Ga kuat. Seakan saya ga sanggup
menghadapi kenyataan kalau di masa depan, anak saya akan seperti itu. Ah,
Mamah. Betapa saya banyak dosa pada Mamah. Sesak dada saya, seakan ada badai
membuncah memaksa saya untuk pulang saat itu juga. Saya baru pertama kali
memandang ibu saya bukan sebagai investor (selama saya kuliah), tapi benar –
benar sebagai ibu. Dan, saya rindu sekali padanya. Maafkan saya Mah.. Tolong
maafkan.. Saya sadar, saya benar – benar mencintai Mamah.
Dan ketika saya mengimplementasikan perasaan saya dengan
mengirimi Mamah sms tiap pagi, ah betapa leganya hati ini entah kenapa. Bahagia
juga, dan dada sesak oleh semangat bergelora untuk menjadi lebih baik lagi
untuk Tuhan dan orang tua, dan juga diri sendiri.
Teringat pesan seorang Profesor ITB yang juga Ketua MUI Kota
Bandung, “Untuk bahagia, cintailah orang tuamu. Untuk menjadi orang sukses,
berbaktilah pada orangtuamu. Dosa – dosa lain bisa diberikan hukumannya di
akhirat nanti. Tapi dosa pada orang tua tidak akan menunggu akhirat, akan
dibalas langsung oleh Tuhan di dunia ini. Berupa apa?
Kenelangsaan.”
Semoga kita menjadi anak yang berbakti dan mencintai orang
tua kita. J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar