Kamis, 27 Maret 2014

RINDU


“Mah, tolong pegangin laptop aku coba. Ini aku mau keatas dulu bentar..” kataku menyeringai tanpa ampun, karena saat itu Mamahku lagi sibuk ngelap jendela. Skenario yang jelek emang buat ngasih sebuah kejutan.

“Aduh, jangan lama-lama ya..” kata Ibuku, yang sebenarnya emang lagi kerepotan. Anak bandel banget sih aku. 

Begitu ibu ku megangin itu laptop sakti, Aku langsung melesat meninggalkan beliau. Lalu menghitung dalam hati,
1, 2, 3……

“Subhanallah, Nisaaa!!!! Kamu lolos SNMPTN !?? Ya Allah .. Ya Allah … Nisaaaa!!”

Hahahaha.
Ah, indahnya.
Betapa aku sangat rindu.

Untuk membuat Ibu sebahagia saat itu. 

Kamis, 20 Maret 2014

Bung Karno dan Bung Hatta #part 2

Suasana siang itu agak mendung. Saya dan Abid sampe nyegat Maul yang baru nyampe ruhim untuk kita pinjem motornya. Abid kalap dan agak ngebut. Kita memutuskan untuk ngeprint di tempat print Geologi aja. Kebetulan saat itu udah mau jam setengah 2an.

Alhamdulillah di Geologi kosong, biasanya yang mau ngeprint ngantrinya udah kayak yang mau nerima sembako aja. Abid langsung mengisi kursi operator, memasukkan flash disk ke laptop, dan ...

“Dil, kok ga ada?”
“Nama file nya apa?”
“Pelatihan Keorganisasian..”

Saya ikut bergerak. Ngoprek sana ngoprek sini. Iya, filenya ternyata ga ada.

“Kayaknya ga ke save sama gua.”

Sial lagi. Saya menarik nafas panjang. Abid memutuskan untuk kembali ke ruhim sendiri dan saya disuruh menunggu. Sementara Abid ke ruhim, saya ke jurusan sebentar karena ada urusan. Sumpah, itu udah lemeees banget. Baju udah basah sama kerigat. Hati udah mangkel banget pengen ngegebukin semut. -_-

Beberapa saat kemudian, saya dipersatukan lagi dengan Abid dan kami mulai pesimis selama perjalanan kami ke Geologi. Kami tahu sebenarnya siang ini ada kumpul departemen. Anak-anak yang lain udah pada nunggu. Tapi dana dari dekanat emang lagi lebih urgent.

Kami berdua diam. Tapi kami berdoa, semoga ini yang terakhir.

Pas nyampe di Geologi, ada orang lagi ngeprint. Saya dan Abid pun menunggu dengan sabar, diatas sini melayang-layaaang #payungteduhmania

Saya baru keingetan harus ngirim data praktikum ke Kiki dari dhuhur tadi. Maka dengan tingkat kepanikan setingkat akut, saya langsung ijin ke Abid buat ngirim dulu tugas ke Kiki. Abid mengiyakan. Saya melesat ke gazebo MIPA dan begitu melihat Rara, saya langsung nembak dia. Boong deng.
Saya langsung memalak laptop dia.

“Penting, ra! Ini demi kelangsungan hidup seseorang!” kata saya hiperbola. 

Begitu saya mencoba mengakses gmail, loadingnya kronis banget. Dan akhirnya “the webpage is not available”. 

unpad-hotspot
No Internet Access

Wah, keparat sekali hari ini. Hahahaha

Saya tertawa miris. Inbox hape saya penuh oleh sms dari Kiki yang meminta pertanggung jawaban atas janji saya kepadanya. Hujan turun dengan deras, dan peluh saya pun mengucur deras.

“Dil, udah selese ngirimnya?” Abid datang.
“Belum. Loading broo.. udah ngeprintnya?”
“Hehehehe... ”
“Apaan heheheehe??”
“Gua lupa ngeprint surat elu dil.”

Kampret.

“Maap ya.. hehehe..” kata Abid cengangas cengenges. Saya diam. Yaudahlah yaa. Sekalian aja lu tendang gue Bid.
“Sini flash disknya, urang ngeprint lagi. Surat kamu banyak salah ketiknya tuh.”
Waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore. Ulaaalaaa..
“Yok ngeprint.” Ajak saya.

Saya dan Abid pun melangkah dengan gontai ke Geologi, dan semakin gontai ketika melihat untaian panjang manusia yang sudah menenteng flash disknya masing-masing buat NGEPRINT JUGA KAYAK KITA!

“Bid, aku optimis Pak Dhar pasti udah pulang. Besok aja yuk? Daripada tanganku ini ngebacok orang saking senengnya. Hahahaha..” kata saya masih sempet ngelindur. Pak Dhar adalah pembina HIFI.
“Iya, besok aja dil.” Abid memandang saya dengan wajah sayu yang menyedihkan. Masih ada hari esok Bid, setiap hari adalah kesempatan kedua.

Tahun ini HIFI memiliki 54 buah proker yang memperoleh dana dari dekanat. Akan ada 52 proker lainnya yang berkesempatan untuk mengalami chaos seperti kami ini. Dana dari dekanat, adalah dana rintisan yang dapat memberi pengaruh terhadap proker yang kami laksanakan. Tahap selanjutnya yang harus saya dan Abid lewati setelah berhasil ngeprint surat permohonan dana yang baik dan benar adalah meminta tanda tangan Pak Dhar – dan pastinya beliau akan memeriksa proposal kami. Bisa jadi beliau menolak memberi tanda tangan ketika ternyata masih ada kesalahan. Dan mungkin, si Peminta tanda tangan akan menarik nafas panjang. Setelah memperoleh tanda tangan Pak Dhar, selanjutnya PJ nyamperin ke dekanat dan memasukkan proposal ke Sub kemahasiswaan. Nantinya proposal kita di tinjau dulu apakah judul kegiatan dan anggaran dananya serupa dengan RADP himpunan yang diserahkan ke dekanat. kalau belum sesuai, walaupun satu huruf pun, SATU HURUF pun! Proposal akan dikembalikan. Kalau sudah sesuai, proposal berarti lolos masuk ke dekanat dan tugas kita selanjutnya adalah follow up terus ke dekanat mengenai waktu turunnya dana proker yang bersangkutan.

Jalur birokrasinya emang cukup rumit. Dan ini adalah proses yang harus kami lalui, demi memperoleh lembaran-lembaran merah itu, yang bergambar Bung Karno dan Bung Hatta.        
Saya dan Abid pun berjalan kembali ke ruhim, kembali untuk memenuhi kewajiban kami  dalam kumpul departemen. Saya mencoba merenungkan kegilaan kami hari ini. Chaosnya kami hari ini, KSR luar biasa kami di hari ini. Target semula, proposal sudah masuk ke dekanat sebelum jam 2, ternyata tidak tercapai. Tapi, entah kenapa..

SAYA MERASA BAHAGIA.

Tidak perlu jalan-jalan ke Venecia, tidak perlu belanja di Dolce and Gabbana, tidak perlu keluar masuk Jatinangor Town Square untuk sekedar cari kesenangan. Dengan berkeringat begini pun, saya ternyata  merasa bahagia. Bahagia itu ada di hati. Bukan di tempat lain.

Dan saya sadar sepenuhnya bahwa ada alasan utama saya dan kawan-kawan pengurus lain mau melakukan ini. Ternyata karena HIFI yang begitu hidup. Iya, hidup di hati kami. 



Bung Karno dan Bung Hatta #Part 1

Salah satu lembaga kemahasiswaan yang berada di FMIPA Unpad adalah HIFI (Himpunan Mahasiswa Fisika). Dari namanya aja udah jelas kan kalau ini bukan organisasi yang diperuntukkan bagi mahasiswa jurusan kebidanan. Iya, HIFI adalah organisasi yang mewadahi mahasiswa dari program studi Fisika dalam berkarya, berbacot, bergelimang gila, dan bermanfaat bagi orang lain. Yah, sejauh ini itulah pandangan subjektif yang saya pikirkan mengenai himpunan ini.

Tahun ini adalah tahun kedua saya menjadi Badan Pengurus HIFI. Tahun kemarin masuk departemen Media dan Informasi. Tahun ini jadi anak Pengembangan Internal. Sepanjang saya menjadi bagian dari pengurus himpunan, saya selalu merasa bahwa himpunan ini telah memberi banyak coretan cerita dalam hidup saya. Senang, sedih, gila, kacau, balau, gundah, gulana, bokek, semuanya. Dari sejak saya pertama kali menginjakkan kaki di Fisika Unpad, HIFI telah menggelar red carpet untuk saya lewati, bersama saudara-saudara seangkatan saya, yang disatukan dalam Himpunan ini. mungkin ini prolog yang terlalu sentimentil. Hahahahaha.

Salah satu coretan cerita yang ingin selalu saya kenang, adalah yang akan saya ceritakan di bawah ini. Cerita ini baru berlangsung 2 hari yang lalu, dan saya ingin segera menulisnya, agar tidak lupa. Karena coretan cerita yang satu ini, barangkali bisa menggambarkan betapa HIFI sebenarnya hidup.  Selamat membaca  J  

Alkisah, saat ini, HIFI tengah di-chaos-kan dengan suatu proker yang bernama OSCAR (chaos, suatu kondisi dimana pikiran dan hati tidak mengalami sinkronisasi alias rusuh). Bukan penghargaan perfilman Amerika, bukan juga krim yang buat nutupin wajah (masker keleeeuuusss *oke kejauhan). OSCAR adalah Organization, Sponsorship, Character and Legislative Training. Merupakan proker gabungan dari empat proker di himpunan. Dan saya adalah salah satu penanggung jawabnya. Rencananya, akhir Maret ini acara tersebut mau dilaksanakan. Kebetulan saya dan tiga penanggung jawab lainnya kemarin-kemarin belum masukin proposal pengajuan dana ke Dekanat FMIPA Unpad. Nah, si Ketuplaknya, Fadlan, mendesak kita para PJ (Penanggung Jawab) untuk segera memasukkan proposal ke dekanat. Salah satu PJ, Abid, karena satu departemen dengan saya, saya lebih gampang koordinasi sama dia. Maka kami berdua memutuskan agar bisa memasukkan proposal ke dekanat pada tanggal 18 Maret dengan berbagai konsekuensi termasuk sulitnya jalur birokrasi.

Sebelumnya saya mau cerita dulu mengenai reputasi saya dan Abid di angkatan. Oleh beberapa orang, saya dijuluki “Manusia KSR” karena sering merusak apapun yang saya pegang, dan sering melakukan kesalahan dalam berbuat sesuatu. Dan Abid yang menyadari bahwa dirinya adalah orang yang teledor-maksimal. Dan kami disatukan dalam permasalahan ini. Tak perlu membayangkan.

Syahdan, pada hari itu, Abid keluar dari kelas pas jam 9an buat ngeprint seperangkat proposal dan surat-surat untuk dekanat. Saya baru keluar kelas jam 10an. Karena saya dan Abid beda kelas kuliah, kita baru ketemu pas menjelang dhuhur. Saya meriksa proposal dia, dan dia meriksa proposal saya.

“Dil, proposalnya kan harus rangkap empat.” Kata Abid.
“Oh iya? Bukannya rangkap tiga?” 
“itu tahun kemarin.. ”

Saya menelan ludah. Itu kesalahan proposal saya. Saya kemudian menunjukkan pada Abid kesalahan dalam proposalnya.

“Ini maksudnya apa cover sama isinya berbeda fasa 180 derajat gini (alias kebalik)?”
Abid terdiam. “Oke, kita ke tukang print bareng..” kata dia pelan. Lebih ke lemes kali ye..
“Sekalian aku mau ngopy surat permohonan dana kamu ya. Aku belum bikin.” Kataku. Abid mengiyakan. 

Kami berdua pun pergi ke asrama buat ngeprint. Untungnya di tempat ngeprint di asrama lagi ga terlalu penuh, jadi disini lancar jaya.

Dari asrama, kita ngebut ke jurusan buat nyari Fadlan karena kita membutuhkan tanda tangannya yang sakral untuk masalah beginian. Fadlan ada di jurusan, dan saat saya dan Abid ngejar-ngejar dia buat minta tanda tangan, dia sepertinya merasa kegantengan. Sial.

Habis dapet tanda tangan Fadlan, kita sakau buat nyari Kahim, Hafizh. Dari informasi yang saya dapatkan di suatu pelayanan pesan pendek alias sms, Hafizh mau menuju ruhim (ruang himpunan). Maka dengan semangat 70, saya dan Abid bergegas ke ruhim untuk mendapat tanda dari tangannya Hafizh.

Pas nyampe Ruhim, di dalem ruhim juga ternyata sedang chaos oleh orang-orang yang mau pergi nyari sponsor OSCAR. Ada Inung juga, anak Departemen Sosial, yang sama-sama mengincar tanda tangan Hafizh. Tapi dia sumpah iseng banget pas bilang gini ke Abid,

“Kang Abid, kok surat dana ke Pembantu Dekan sih? Bukannya namanya udah jadi Wakil Dekan ya?”

Oh My GOD. Iseng banget kan? Karena setelah dia bilang gitu, saya sama Abid langsung chaos. Soalnya, saya juga ngopy surat dari Abid dan otomatis salah. Abid termangu.

“Ivan, pinjem motor.” Pinta saya inisiatif berniat mau langsung ngeprint. Ivan kaget ketika saya minta gitu, dan seketika wajahnya langsung ketakutan.

“Dil, tolong jangan rusakin motor sayaa... ” mohon Ivan.

Ya Tuhan ... reputasiku.. saya menangis dalam hati.
Tapi begitu Abid tersadar dari keterkejutannya, dia meminjam motor pada Ivan. Untung Abid yang minjem masih dikasih sama Ivan. Lalu dengan tingkat kepanikan setingkat moderat, saya dan Abid segera berangkat. Saat fix tinggal starter motor, Abid masih sempet iseng.

“Dil, flash disk ga ada.”
“Ya Salaaam! Periksa di kantong celana, periksa di tas sana.”

Nunggu lagi...

“Dil ga ada! Di flash disk lu ga ada datanya?”

Saya geleng-geleng kepala lemes. “Tapi di laptop ada kan bid? Kita edit dulu aja.. ” saran saya.
Abid mengiyakan. Kami pun masuk ruhim bermaksud untuk mengedit surat permohonan dana untuk dekanat. Karena Abid mengingatkan saya pada flash disk saya – yang sebenarnya flash disk pinjeman – maka saya jadi pengen ngecek posisi itu flash disk, dan fix ga ada di tas!

PANIK !

Setelah ngerusuhin satu ruhim, baru keingetan kalo flash disk nya ketinggalan di tempat tadi ngeprint. Merasa bertanggung jawab atas barang milik orang lain, saya maksa ke Ivan untuk kasih pinjem motor biar saya bisa ke asrama lagi. Tapi emang reputasi ‘error girl’ ini udah terlalu melekat di diri saya. Ivan tetep ga percaya, dan akhirnya dia memutuskan untuk nganterin saya ke asrama. Alhamdulillah pas nyampe asrama, flash disknya masih ada karena disimpen sama abang yang jaga. Makasih ya bang. :’)

Balik lagi ke ruhim, Abid akhirnya beres ngedit. Karena dia berasumsi kalo flash disknya udah ilang, yaudah dia pinjem flash disk Toni. Dengan pede dan begitu yakin, Abid bilang gini ke saya ,

“The last show time !”


Tapi insting saya mengatakan, kita berdua nampaknya akan melakukan error lagi.. 



Jumat, 14 Maret 2014

Sang Juara

“Elu menang Fin!”
“Ciye selamat yaaa .. ”
“Selamat Arfin .. keren banget!”
Sorak sorai penonton menyibakkan keheningan yang semula menggelayuti aula besar ini. Mata lelaki itu makin berkunang-kunang. Pengumuman juara lomba menulis puisi tingkat nasional baru saja diumumkan. Dialah pemenangnya, karena nama dia yang dipanggil oleh MC sebagai sang juara.
Sial. Mengapa bisa menang? Batinnya panik.
Semua orang di dalam aula memberi tepuk tangan yang meriah. Termasuk seorang gadis yang duduk di sudut aula. Gadis yang memandang berbinar kepada kemenangan lelaki itu. Gadis yang tidak tahu bahwa salah satu puisinya telah dicuri oleh seseorang yang curang, menginginkan kemenangan tanpa perjuangan.

“Kepada sang juara, kini dipersilahkan untuk membacakan karya puisi fenomenalnya di depan semua hadirin! Tepuk tangan yang meriah untuk Pujangga baru kita, Arfin Putra Darmaji!” kata-kata penuh semangat dari MC disambut dengan tepuk tangan yang membahana hingga ke langit-langit aula. Tapi, lelaki itu, merasakan pandangan matanya tiba-tiba menjadi gelap.   

Kamis, 06 Maret 2014

Elegi Tersapu Debu



Mungkin mudah bagi mereka untuk melancarkan serangan. Namun untuk kita yang diserang, kadang sulit bangkit untuk memberi serangan balasan. Mungkin kita terjatuh dulu, tertidur, bahkan telah begitu terjerumus dalam kenistaan penjajahan ini. Memaksa kita menjadi orang lain. Mereka tiba-tiba menyerang, kemudian tiba-tiba menghilang. Hingga waktu untuk menunggu mereka menyerang kembali, kita sudah makin terkubur mati. Memang membunuh kita perlahan-lahan, tanpa memberi kepastian kapan kita akan diberi kemerdekaan.

Kita sedih. Bukan karena ternyata mereka juga melakukan penjajahan di wilayah lain. Tapi karena memikirkan kita yang begitu lemah dan mudah jatuh, sehingga penjajah picisan seperti mereka pun sanggup membuat kita untuk bertekuk lutut. Kita ingin untuk bangkit kembali. Tapi, penjerat ini telah mengikat kita sampai ke lubuk hati. Kita ingin bebas, agar kita bisa mencari tempat terindah, dimana kita merasa aman dan terkasihi. Tapi bahkan jiwa dan hati nurani telah menjadi debu – tersalib rasa sakit itu.

Tuhan maha memberi kekuatan, yang entah kapan akan kita terima.  

Rabu, 05 Maret 2014

Lazim

“PRANG!!”
Semua terdiam. Tak ada yang sanggup melihat kejadian yang terhampar di depan mata mereka sendiri. Sekarang, dua gadis itu tinggal memakai korset untuk menutupi tubuh mereka yang mungil. Pakaian yang telah berserakan. Perkelahian yang mengerikan.
“Heh gadis sial! Kurang ajar kau pecahkan pot bunga ciptaanku!”
“Kau yang bajingan. Mencuri cangkir keramik kesayanganku!”
“Sialan! Apa buktinya sinting!? Aku pun tak tahu cangkirmu dimana!”
“Cangkir kuning yang retak tepinya! Kau sudah melihatnya berkali-kali! Tadi kau kutinggalkan dengan cangkir itu dan sekarang cangkirnya lenyap! Siapa lagi yang harus salahkan!?”
Kata-kata tak sanggup lagi mewakili kemarahan mereka. Maka adu fisik adalah jawaban pamungkas. Siang yang panas di Jakarta. Setiap orang merasa gerah, dan malas untuk melerai pertengkaran diantara manusia, yang sudah menjadi semakin lazim.
“Imeeey, cangkirmu ini bagus sekali. Rasanya kopi krimernya menjadi sangat enak. Ada yang mau? Wah, banyak orang disini..” Mas Gus tiba-tiba masuk ruangan, sambil dengan santainya membawa kopi krimer buatan Sukri dalam sebuah cangkir kuning yang retak bagian tepinya.


Masih Mencari

Jalan di depan begitu bertaburan. Terhampar dan menunggu untuk dilangkahi. Betapa banyak jalan yang mesti dipilih. Jalan meraih cita-cita, jalan untuk berbuat baik, dan jalan untuk mencintai orang lain. Semuanya menggoda untuk dilangkahi, tapi tanpa pernah aku tahu apa yang akan kutemui di depan sana. Ragu memang tak boleh, berprasangka buruk adalah penyakit. Dan waspada yang beda-beda tipis, merajai seluruh lapisan pikiran dan hati.

Hidup ini indah. Tapi kenapa kita sulit untuk bersyukur?
Hidup ini penuh cinta. Tapi kenapa kita selalu merasa terkucilkan?