Selasa, 16 Desember 2014

Saya Ingin Menjadi Penulis

Iya.
Saya ingin menjadi penulis.
Bahkan walau saya sudah mencoba sejak usia 7 tahun, saya tidak bosan dan
Saya tetap ingin menjadi penulis.
Bahkan saat pencapaian saya di bidang lain sudah mulai terbit,
Saya tetap ingin menjadi penulis.
Bahkan ketika semangat inspirasi meredup,
Saya tetap ingin menjadi penulis.
Bahkan melihat ribuan penulis yang bukunya tidak laku di pasaran,
Saya tetap ingin menjadi penulis.
Bahkan saya mengingat banyak penulis yang dicekal dan dipenjarakan 
Saya tetap ingin menjadi penulis. 
Bahkan jika saya hanya berumur pendek, ijinkan saya Tuhan..

Saya ingin menjadi penulis. 

Rabu, 26 November 2014

Titik Kritis

22 September 2012, kami diberi penghargaan atas kekompakan kami dengan sebotol Fanta yang pertama kali kami beli dengan keringat dan kerja sama kami. Sampai saat ini, belum kami nikmati rasanya bahkan setetes pun Fanta pemberian mawar kami. Kami merasa belum pantas untuk menikmatinya. (sebenarnya, gak ada waktu untuk minum fanta rame-rame. hhehe)
11 Oktober 2012, kami diberi dua box es krim yang diberikan kepada kami atas usaha kami membuat mawar-mawar kami bahagia dan gembira. Eskrim belum juga kami nikmati karena kerendahan hati kami untuk merasa belum pantas menikmatinya. (gak sih, cuma anak cewe pada takut gemuk jadi ga jadi mulu deh)
16 Oktober 2012, hari ditamparnya kami sebagai keluarga, hari dibantainya kami sebagai mahasiswa, hari dibunuhnya teman kami oleh keadaan. pada hari ini, salah satu saudara terbaik kami, Tri Setyo Hidayat, menyatakan kepindahannya dari kampus ini ke sebuah kampus di suatu kota. Alasannya karena ia ingin menjaga ibunya dan tak ingin kehilangan ibunya. ia yang menyatakan kepindahannya dengan begitu tiba-tiba membuat kami semua merasa tertekan. Kami baru bersama-sama selama kurang lebih 2 bulan, tapi sudah ada yang merasa tidak nyaman dengan situasi ini. Tri selama ini selalu tampak tidak merespon terhadap apa-apa yang kami hadapi. Dia tidak pernah mengeluh dengan kerasnya suasana praktikum, dia jarang berkomentar atas bengisnya tugas dari dosen, Tri hanya diam. Hanya diam yang sesekali tersenyum. Dan akhirnya, dia mengungkapkan kelelahannya dengan cara yang paling tidak kami suka. Pergi meninggalkan kami. 
Hari itu dia akan dijemput oleh orangtuanya sekitar pukul 9. Setelah matkul PKN selesai, aku dan teman-teman segera menuju kosannya dan memprediksi akan masuk kelas Matdas pada pukul setengah sebelas. 
Tri benar-benar meninggalkan kami. sudah bulat tekadnya untuk membahagiakan ibunya. Tri semoga dimana pun kau berada, kau selalu sukses dan bahagia. jangan lupakan kami, saudaraku.. semoga kita bertemu lagi... 
karena kondisi terbawa suasana itulah, kami telat masuk kelas matdas. masalahnya, diantara kami tidak ada yang sama sekali ijin ke dosen untuk datang telat. Maka, ngamuklah dosen yang mengajar kami. Mawar-mawar kami juga kena imbasnya. mereka menyatakan kekecewaannya pada kami. Sungguh, tak ada niat sama sekali untuk mengecewakan mereka, dosen, dan bahkan orang tua kami. Aku sangat takut jika ibuku tahu kalau aku dan teman-temanku banyak ulahnya disini. Ya Allah, bukakan pintu hidayah kami... 
Setelah melobi dosennya, sang dosen bersedia masih mengajar kami. namun satu dosen lagi yang lebih senior merasa tersinggung dengan ucapan yang boleh dibilang aku punya andil besar di dalamnya. Aku pusing .... gundah, gelisah pula.. aku merasa terbantai sebagai mahasiswa, telah mengesampingkan amanah orang tua yang disampirkan di pundakku. Maafkan anakmu ini, bu...
Masa-masa pengembangan biasanya kami lalui dengan baik. tak kami ketahui bahwa salah seorang saudara kami, Hutapea, yang biasanya setiap pengembangan dia hanya duduk memperhatikan kami berlari mengelilingi lapangan, dalam hatinya ia juga ingin berlari. Hutapea punya kelemahan pada fisiknya yang tak bisa aku sebutkan. Nekat, dia berlari sprint dengan ditemani seorang senior. Nekatnya dia itu, tidak berakibat baik pada fisiknya. Maka sore itu juga dia langsung dibawa ke klinik karena tubuhnya kembali mengalami gangguan. dan saat kulihat gurat-gurat penderitaan di wajahnya, tak tahan aku membayangkan rasa sakit yang ia rasakan. Mengapa dia menjadi bodoh sore ini? mengabaikan kesakitan tubuhnya demi terlihat berlari bersama-sama kami? Inilah, Hari Titik Balik kami sebagai MAHASISWA. Kami telah menuai banyak masalah sebelum hari ini. semoga selanjutnya kami akan terus memperbaiki kesalahan kami dan menjadi yang terbaik. amin.  


Minggu, 09 November 2014

Karena Cinta

Karena orang – orang yang kita cintai, kita sering kali begini.




Karena orang – orang yang kita cintai, kita sering kali mengabaikan rasa lelah. Bahkan beberapa kali menyembunyikan patah hati. Hanya untuk memastikan agar dia tetap ada di samping kita. Agar kita tetap bisa menatap matanya, dan meyakinkan diri, inilah cinta.

Sering kali juga kita mengalah. Bukan untuk menerima kalau kita kalah, hanya untuk menjaga agar hubungan kita tetap indah. Kita menerima dia yang sedang kesal. Tak jarang dia malah marah – marah. Kita tetap saja mengalah. Ini bukan untuk menunjukkan kita lemah, tapi untuk mengajarkan beginilah cinta bersabar.

Mungkin benar begini. Bahkan saat kata – kata orang lain menyudutkan kita, kita sama sekali tidak peduli dengan semua itu. Bagiku, inilah cintaku. Inilah yang ingin ku perjuangkan. Peduli apa denganmu yang tidak pernah tahu bagaimana rasanya hati dan jantung terjerat rindu. Kita mengabaikan segala ejekan, celaan, juga nasihat – nasihat yang menggurui, seolah mereka orang – orang paling bahagia dalam hidupnya.

Begitulah cinta. Ia mengajarkan kita pelan – pelan untuk berjalan. Dengan  segala pedih yang pernah kita perjuangkan. Dengan segala pandangan orang yang tak pernah kita pedulikan. Setelah kita kuat berjalan, kita selalu tahu, apakah ingin meninggalkan atau tetap bertahan.

Kita selalu punya sisi bahagia. Bahkan pada cinta yang mungkin saja disebut orang – orang sebagai sebuah kesalahan.  Dan pada akhirnya, kita hanya perlu menarik nafas dalam – dalam, lalu melepaskannya. Kita berhasil melewati semuanya. Sendiri atau berdua. Patah hati atau saling mencintai. Semuanya akan jadi cerita yang kita kenang kala tua nanti. Dan kembali mengenang saat pahitnya berjuang hanya untuk merasakan, beginilah cinta.

26 Oktober 2014

Catatan Seorang Teman 

Katanya Sih 'the last'

Waaaah jarang lagi berbacot di blog, sibuk aku sibuk,

Sibuk nyari kesibukan, jadinya sibuk ga jelas. Tapi dari kesibukan – kesibukan itu, akhirnya menemukan kesibukan yang hakiki. *apasihmulaidehpenyakitnya

Tapi kemaren2 dapet kejadian amajing lagi, jadinya pengen ditulis buat diceritakan kepada pembaca sekalian, tentang kelakuan anak manusia yang perlu jadi perhatian para saintis; Pengaruh Masa Reses Organisasi terhadap Keyakinan Manusia
Judul penelitian yang keren kan ? hahaha

Nah, apa hubungannya dengan cerita yang akan saya ceriterakan?

Jadi, kemaren tanggal 5 November 2014 tuh ada Wisudaan Gelombang I tahun 2014 – 2015. Setiap ada wisudaan, HIFI punya program kerja (proker) andalan dari departemen Humas yang bernama GRADIENT (Graduation Achievement). Di Proker ini, kita sebagai Badan Pengurus HIFI ngasih apresiasi buat para Wisudawan/i dari Fisika Unpad dengan algoritma sebagai berikut:
Datang keroyokan pake jaket himpunan warna merah yang semarak -> Ngericuh di Dipati Ukur dengan teriak – teriak jargon HIFI -> Ngeberantakin halaman Graha Sanusi dengan ngelempar – lempar potongan kertas bekas ke para wisudawan Fisika yang datang ke ‘Gradient Area’ -> ngasih bunga dan sertifikat penghargaan kepada para wisudawan -> nyediain photo booth buat mereka foto – foto euforia baru lulus -> mempersilahkan salah seorang wisudawan untuk memimpin jargon kebanggaan, FISIKA! HIFI! HIFI! HIFI!

Pokoknya momen Gradient ini selalu menjadi pemicu buat kita yang masih mahasiswa ini, untuk pengen lulus secepat mungkin. Siapa sih yang nggak seneng pas lulus dapet apresiasi seanarkis itu dari adek – adek junior yang pernah kita mabim? Hahahahaha

Nah, sepanjang sejarah saya dalam ikut Gradient ini, momen yang terasa selalu menyenangkan. Iya lah, ikut menyaksikan kakak – kakak senior yang pernah ngebimbing kita ini lulus dan menuju gerbang kehidupan baru itu bener – bener sesuatu banget. Gradient ini juga ajang HIFI buat eksis di Dipati Ukur dengan kelakuan kita yang berisik banget, jadi bisa buat sekalian konsolidasi para anggota Badan Pengurus dan nunjukkin kekompakan kita di depan para senior yang datang. Intinya, Gradient ini salah satu proker favorit kita J

Nah, pas tanggal 5 November kemarin itu, Wisudaan di Gedung Graha Sanusi Unpad Dipati Ukur dimulai jam 1 siang buat wisudawan/i Fisika. Anak – anak dari pagi kebanyakan udah pada merencanakan buat datang. Awalnya udah mau berangkat rame – rame, tapi gatau gimana ceritanya malah jadi pada berpencar.

Saya ama Rara, yang entah kenapa hari itu dikondisikan selalu bersama, akhirnya memutuskan berangkat secara mandiri dengan Damri jurusan Jatinangor – Dipatiukur. Kita nyampe di Gerbang Lama Unpad jam setengah duaan siang. Kita udah prediksi bahwa dari Nangor pasti banyak banget mahasiswa yang memburu Damri buat ke wisudaan, dan kita ga bakal kebagian tempat duduk kalo nungguin di Shelter Gerbang Lama. Akhirnya saya dan Rara memutuskan buat meniti jalan ke Shelter Gerbang Baru yang emang posisinya lebih dulu untuk dilalui Damri. Eh ketemu sama Kanjengnya HIFI dan Parto-nya HIFI, Yun dan Ahdan. Terus kita jajan es potong dulu deh. Feeling masih enak soalnya semua nampak baek-baek aja. Kita berempat jalan bareng ke Shelter Gerbang Baru dan pas nyampe ketemu sama Pabos, Iman, dan Aldo yang udah nguncen duluan di shelter. Di kemudian waktu, kita tahu kalau 7 orang udah jadi tim perintis untuk berangkat duluan ke Dipati Ukur, yaitu Ivan, Yati, Baper, Afifah, Pipit, Depe, dan Mochan. Mereka kebanyakan emang tim inti Gradient makanya musti duluan ada di TKP.   

Bener – bener rame banget di shelter dengan seperangkat orang – orang yang mau datang ke wisudaan juga. Tiba – tiba semua orang jadi sangat sensitif terhadap benda bernama bus. Ngeliat bus di kejauhan, pada langsung posisi mau start lari dengan lubang hidung yang kembang kempis dan urat di kepala yang menegang. Pas tau kalau itu bukan bus ke dipati ukur, kepalnya yang menegang karena kecewa. Pokoknya berbahaya sekali persaingannya. Saya ngeri liat beberapa cewek udah nyiapin cakarnya buat berjuang di pintu masuk Bus. Haha 

Syahdan, jam 2an siang bus nya datang. Saya prediksi kalau bus bakal berhenti 4 meter di depan saya berdiri. Melihat orang – orang pada maju mendahului saya untuk mendekati bus, strategi saya adalah berjuang rebutan masuk lewat pintu depan, karena pintu belakang nampak udah dinantikan banyak orang jadi peluang buat bisa masuk bus kecil banget.

HEBATnya saya, prediksi saya benar sehingga saya berhasil masuk ke dalam bus lewat pintu depan. Bahkan sempat megang dua baris kursi buat teman – teman saya. Tapi Cuma sempat, karena…  

BEGOnya saya, saya ga bagi – bagi prediksi dan analisis saya ke temen – temen sehingga hanya saya yang berjuang lewat pintu depan, dan mereka semua lewat pintu belakang. Aaaak! Kalian! Tidakkah kalian melihat bahwa orang – orang yang memburu pintu belakang begitu mengerikan!!?? *garukgaruktembok

Akhirnya ? Saya berada di dalam bus sendiri, memandang cemas ke berbagai sudut. Ke temen – temen saya yang nampak kesulitan untuk naik, dan ke orang – orang yang berhasil masuk dan menatap buas ke arah kursi – kursi yang udah saya tandain. Saya perlahan – lahan menyerahkan kursi yang awalnya sudah saya kuasai satu persatu, sampai akhirnya menyisakan sepaket kursi yang terdiri dari dua kursi untuk saya, Rara dan Yun. Saya mukul – mukul jendela berharap mereka melihat saya, tapi mereka nampak tidak ada daya untuk berjuang. Pabos melihat saya dan malah menertawakan saya. Saya tak peduli. Saya tetap menyemangati mereka agar bisa naik karena dua kursi ini, Oh Tuhan betapa berharganya..

Tapi memang takdir berkata lain.

Bus sudah penuh, dan temen – temen saya mengambil langkah mundur.
Tidaaaak! Hellooooooo, duit dan hape saya ada di tas Rara, gimana ceritanya saya bisa bertahan ke Dipati Ukur sendirian tanpa dua elemen primer kehidupan neo liberal ini!?

Akhirnya dengan mendengus terlebih dahulu, saya memutuskan untuk TURUN LAGI. Oh my to the God, dan ketika saya turun, kalian semua tertawa kecewa karena saya turun lagi. Akkk dasar Kampretosss!

Rapat dadakan dimulai. Fakta saat itu adalah, pertama udah jam 2 lebih tapi kita belum berangkat, kedua perjalanan ke Dipati Ukur selalu tidak bisa diprediksi macet atau nggak, ketiga kalo wisudaan mulai jam 1 siang biasanya bakal beres jam 3. Kita bimbang mau berangkat atau kagak. Di satu sisi, kita pengen banget berangkat ke Gradient. Tapi di sisi lain, kita sangat nggak mau ngerasain rasanya ‘almost’ dimana pas udah capek – capek datang ke Dipati Ukur, eh wisudaan udah beres, photo booth gradient udah dilipat, dan kita pun masuk ke kondisi ‘krik krik’ yang menyesakkan dada. Saat itu, kita mikir kalo damri berikutnya bakal lama lagi datangnya. Akhirnya tanpa pikir panjang kita angkat kaki dari shelter dan fix ga jadi berangkat dengan pertimbangan bahwa kalau kita berangkat, wisudaannya bakal keburu beres. Kita jalan ke Gerbang Lama dan sesungguhnya pikiran kita bener-bener masih galau pengen berangkat atau nggak. Alasannya ?

Pertama, ini tahun terakhir angkatan saya megang di himpunan, Kedua Wisudaan ini wisudaan terakhir sebelum kita musyawarah anggota untuk mempertanggung jawabkan setahun kepengurusan ini. Jadi intinya, ini Gradient terakhir angkatan saya sebagai Badan Pengurus HIFI. Sebenarnya, besoknya tanggal 6 November masih ada Wisudaan Part 2 buat wisudawan/i Fisika. Tapi besok jadwalnya pas kita lagi kuliah dan ngaslab sehingga hari itu adalah kesempatan terakhir kita. Pokoknya gundah gulana bangeeet.

“Ayolaah, ini the last.. ” suara – suara berontak bergaung di kepala. Tapi sudahlah… kita lelah.  

Yang bikin ngeselin, pas kita nyampe di Gerbang Lama, di Shelter Gerbang Baru ternyata telah tiba sebuah bus damri ke Dipati Ukur. Aaaaaak ini baru ‘almost’ yang pertama. Karena ga mau ‘almost’ yang kedua pas nyampe disana, kita makin fix buat ga berangkat. Aldo, karena penanggung jawab Gradient, memastikan tanggung jawabnya dan dia ditemani Iman memilih naik travel buat tetep berangkat ke Dipati Ukur.

Tapi takdir kembali berkata lain.    
Bayangan di kepala kita semua sama.
Membayangkan bahwa ini adalah kesempatan terakhir kita untuk datang ke Gradient sebagai Badan Pengurus, membayangkan bahwa beberapa dari kita udah rela bolos kuliah, membayangkan bahwa Gradient adalah proker favorit kita semua, membayangkan bahwa Tim Perintis yang udah disana duluan bakal kerepotan buat ngendaliin wisudawannya, akhirnya kita memutuskan mengekor Aldo naik Travel. Saat itu, kita mikir kalo naik Damri bakal lama jadinya ga nungguin damri yang udah nangkring di shelter gerbang baru buat lewat. Travel biasanya tahu jalur sendiri jadi bisa lebih cepet. Saya, Yun, Rara, Ahdan, Pabos jalan setengah lari dengan rusuh buat nyusul Aldo yang udah ke Travel duluan. Si Yun tiba –tiba ngidam cimol dan di tengah – tengah kericuhan itu, kita semua juga pengen makan cimol. Akhirnya kita mampir bentar ke gerobak cimol di pinggir jalan untuk memuaskan nafsu kita semua. Hahaha

Nyampe di Pos Travelnya, ternyata kalau kita mesen, kita bakal kebagian mobil jam 4 karena banyak banget yang mau ke Dipati Ukur pake travel. Oh man…. !!
Oke fix ga jadi berangkat!! Udah bukan darah aja yang naik ke ubun – ubun, tapi urat – urat nadi kita semua kayaknya udah pada mau copot.

Terus tim perintis menghubungi kita dan ngasih tahu kalo prosesi wisuda baru mulai jam 2. Berarti kita bisa jadi masih ada kesempatan, KALAU ADA TRANSPORTASINYA! Walaupun merasa sayang, tapi ya sudah lah .. mungkin bukan kesempatan kita.

Tiba – tiba Aldo tereak kalau Bus Damri ke Dipati Ukur mau lewat. Demi apapun, kita yang saat itu lagi duduk cantik, langsung terbang buat ngejar bus. Nggak terbang sih, Cuma kita kayak ngejar bus udah kayak kesetanan banget.

Akhirnya, setelah melewati serangkaian rintangan,

Kita berada dalam Bus Damri,

dengan posisi berdiri.

Ahahaha. Coba kalau ga ke travel dan nungguin bus di gerbang lama, mungkin masih bisa duduk. Aaaah, emang kita ini tim ‘almost’.

Aku jadi penghubung antara tim ‘almost’ ini dengan tim perintis dan keep contact dengan mereka. Sepanjang Baper ngebales ‘belum keluar wisudawannya dil..’, kita para pejuang Gradient masih bernafas lega.  Tapi pas hape saya mati gara – gara habis batre, saya pengen ngelempar itu hape ke sopir saking gregetnya. Dan pas jam 4 kurang seperempat, ketika kita masih terjebak entah di sisi mananya Bandung, Baper ngesms kalo wisudawan udah pada keluar, aaaaaakk dada nyesek banget. Dan kalo ada penumpang yang minta turun sehingga Pak Supir memperlambat kecepatan busnya, bawaannya pengen tereak,

“Heh brengsek cepetan keluar gue mau GRADIENT PLIIISS!!”

Akhirnya kita nyampe di Dipati Ukur jam 4 lebih. Saya saking ricuhnya, turun dari Bus langsung jatuh soalnya kaki kesandung portal. BODO AMAT. Udah kagak ada malu lagi, kepala cuma fokus sama Gradient. Setelah melewati perjuangan yang membuat kita sangat mengelus dada, akhirnya…

“Aaaak, akaaang selamaaat udah luluuus.” Kepada kakak lelaki kita yang berjubah.

“Teteeeeh, selamat yaaa semoga udah lulus tambah sukses.” Kepada kakak perempuan kita yang bertoga.

“Kaaang, kapan lulus??” kepada kakak – kakak kita yang berharap.

Hehehehehehe….

Yaaah.. kita ternyata tidak terlalu terlambat. Euforia kelulusan lagi hot banget. Dan saya ama Rara ngerusuh dengan minta foto bareng dengan beberapa senior yang udah lulus dan yang belum lulus.














Puas puas puas! Kalo saya mah puas, gatau kalo yang lain. Pertama kalinya saya berhasil difoto dengan hampir semua wisudawan/i yang ada. Emang sih karena kebanyakan yang lulus itu akang teteh 2010 yang udah ngemabim dan ngaslabin kita jadi udah deket. Dan mengingat history-nya gimana saya bisa berada di Dipati Ukur sore itu, aaak luar biasa gembiraaaa, Hihihihi

Oh ya, teruntuk akang dan teteh wisudawan/i yang telah lulus, saya ucapkan selamat menempuh hidup baru. Gelar udah didapat, sekarang ada tujuan baru yang harus dikejar. Ingat terus yak sama almamater dan HIFI. Semoga akang dan teteh tetap semangat mengejar cita – cita, dan sukses selalu. Terima kasih untuk semuanya, dan Selamat Jalan.


Senin, 06 Oktober 2014

Bukan Tentang Balasan


Ketika jatuh cinta, yang akibat kejatuhannya membuat sakit, terkadang rasa sakitnya itu memiliki orientasi yang berbeda.

Bukan tentang cinta yang tak berbalas, tapi mengapa bisa manusia jatuh cinta semudah itu?

Sering kali aku berusaha memperbaiki diri, mencoba menjadi lebih baik, yang terbaik, berharap bahwa suatu waktu Tuhan akan memberikan seseorang yang baik pula. Seseorang yang ada, untuk membuat saya jatuh cinta, seseorang yang membuat saya ingin menjadi lebih baik lagi.

Tapi kadang iman kita sedang diuji, dan mungkin sedang dalam kadar yang paling lemah. Dan saat godaan itu datang dari seseorang yang tidak pernah aku bayangkan, hati tak dapat menampik. Saya jatuh cinta, dan akhirnya terkungkung elegi karena telah begitu mudah untuk jatuh. Kini terperangkap dalam dilema yang mengerikan, cinta itu anugerah atau ujian dari Tuhan ? 

Kembali saya berdoa dalam – dalam, di tengah relung hati yang senantiasa memohon, agar Tuhan memberi saya kekuatan, agar saya kembali berdiri lagi, tidak terjebak dalam kejatuhan ini. Agar di masa nanti, ketika tiba saatnya seseorang yang tepat datang menghampiri saya, untuk membuat saya jatuh cinta untuk yang terakhir kalinya sebelum saya kembali, saya telah siap. 

Dan Tuhan, teruntuk orang ini, yang saat ini tengah memenuhi bahkan celah paling sempit pun di hati saya, berikan padanya kasih sayang, rahmat dan perlindunganMu. Karena entah di masa depan, saya masih dapat mendoakannya lagi atau tidak.

Hanya Engkau yang Maha Mengetahui atas segala sesuatu.


Rabu, 01 Oktober 2014

Bayangan

Terkadang, dalam kesendirian, diantara pikiran yang kelelahan, di ambang perasaan ingin menyerah, saya kembali mencoba membayangkan ayah saya.
Dulu, saat ayah saya masih seorang mahasiswa, apakah ia seperti saya? Apakah ia seorang yang aktif? Apakah dia seorang yang bahagia dengan akademik kuliahnya? Apakah kesuksesannya saat ini adalah karena masa kuliahnya ? Apakah ia adalah orang yang rela bolos kuliah demi organisasi ? Apakah dia bangga pada saya? 
Akankah dia bangga pada saya ? 


Hanya dengan membayangkan hal – hal yang tidak saya ketahui di masa lalu dan di masa depan, barangkali cukup memberikan motivasi agar saya kembali bekerja. Karena masa sekarang adalah untuk masa depan. 

Minggu, 31 Agustus 2014

NET mampir ke Lapangan Merah

Tanggal 18 Agustus kemaren adalah hari dimana Kemerdekaan Indonesia berusia 69 taon lebih 1 hari. Hahaa

Nah bertepatan dengan hari penting itu, di kampus Unpad Jatinangor yang tercintah, sedang ada penyerbuan yang serius dari para mahasiswa baru Unpad angkatan 2014. Mereka subuh – subuh udah pada ngumpul (atau dikumpulin?) di gerbang Unpad buat menyerbu Stadion Jati. YA IYALAH! Hari itu ka n ada PRABU, alias Penerimaan Mahasiswa Baru. Oh iya, mau nyombong dikit. Project Officer alias ketua pelaksana PRABU 2014 adalah teman seangkatan sejurusan seperjuangan ku loh! Namanya Fadoldold. Ini nama alaynya. Nama aslinya Bocil. Nama KTP nya Fadlullah, tapi dia dipanggil Fadlan pun menyahut. Emang dasar orang sibuk, identitasnya kebanyakan. Hhehee pis dlaaan J

Nah, dalam Prabu kali ini ada sesuatu yang wah, dan membuat saya sampai terkagum – kagum pada Fadlan. Dalam salah satu sesi di Prabu, panitianya mengadakan Talkshow dengan CEO NET Mediatama, Wishnutama Kusubandio. Oalaahh keren lah. Salah satu dari Factor of Keren itu adalah karena beliau datang ke Unpad tidak menggunakan Alphard, atau Limousine, atau Becak, atau kendaraan apapun yang rentan kemacetan. Beliau datang dengan Heli. Bukan Heli guk guk guk kemari guk guk guk. Tapi Helikopter. HELIKOPTER. Dan dengan jumawanya juga, helikopter itu landing di Lapangan Merah kebanggan kami, anak HIFI FMIPA UNPAD, tempat bersejarah selama kami menjadi peserta pengkaderan senior, halaman belakang ruhim kami, tempat penempaan kami. Oalaaah dramatis sekali. Hahaha

Beruntung banget pas peristiwa pendaratan helikopter itu, saya dan anak - anak lagi pada di ruhim. Suara dengung helikopter yang sangat dekat membuat kami berhamburan keluar ruhim. Hary, saat itu sedang ditakdirkan untuk membawa sebuah kamera analog yang bagus buanget, sehingga tidak kami sia – siakan peristiwa langka ini. NET’s Helicopter Landing on the Red-Hell Field. Wuaahh Headline News yang awisam bbangget :P

Debu lapangan merah yang secara dramatis berterbangan bersamaan dengan kaki helikopter yang menyentuh tanah penuh sejarah ini.

Hary dalam kebahagiannya, menemukan objek foto yang edaan pisaaan hehe



Saya merasa sangat cantik di foto ini, latarnya bagus banget. hehehe


Salam dua jari buat NET, Pak Wishnu sampai ketemu di masa depan yaa hehehe

Persiapan Take off, keren banget... pengen beli satu. Amin

Eh pasti elo mikir saya ini norak ya? hehe bodo amat. Toh, efeknya malah bagus, membuat terbesit sebuah keinginan mulia di hati saya, untuk menjadi kolektor helikopter. Bhaahahahaaa 

Minggu, 13 Juli 2014

The Doctor

Cuba Gooding Jr (Pemeran Ben Carson) dan dr. Ben Carson

Sabtu, 12 Juli 2014. Pukul 04.20. Akhirnya saya merasakan juga apa yang orang sebut dengan GABUT (gaji buta) setelah hari-hari sebelumnya selalu terisi dengan aktivitas yang melibatkan pikiran, perasaan, dan kerinduan untuk pulang ke rumah. Monev PKM Dikti akhirnya sudah dilewati. Sekarang waktunya bersantai. Sedikit lebih santai mungkin. Hehe  

Dasar emang orang penurut nafsu, beres sahur, liat notebook Zahra yang lagi off, tergoda juga buat nonton film. Zahra yang kebetulan lagi nginep di kosan saya pagi itu rasanya mudah sekali meminjamkan notebook pada saya. Biasanya, jika saya pinjem ‘Si Putih’ (warna notebooknya putih), jawaban favoritnya adalah,

“Dipake.” Tentunya dengan pandangan yang tak lepas dari layar LCD 11 inch itu.

Saya tersenyum senang. Saya sedikit menduga bahwa kebaikan Zahra pagi itu disebabkan karena dia sedang berada di kosan saya. Sedang memanfaatkan kemurahan hati saya untuk berlindung dari dinginnya udara pagi Jatinangor. Coba aja kalau lagi di kampus siang-siang? Heehhee peace Zah..  

Saya melihat daftar film yang ada. Judul yang menarik, tapi ternyata serial. Rasanya ingin menonton film sekali tonton. Ada film sekali tonton, judulnya tidak mengundang gairah. Tapi setelah menggunakan naluri Movielateli (movie-filateli, ga nyambung emang) saya memilih menonton film berjudul “The Ben Carson Story”.

“Film bagus Dil, latarnya kedokteran.” Zahra menimpali.

Yah, sejauh ini, saya selalu menyukai film-film bertema medis. Banyak hal menarik yang didapat dari kehidupan orang-orang yang berusaha menjaga kesehatan dan kehidupan orang lain yang sama sekali bukan saudaranya. Iya ga sih?

Film berdurasi 1.5 jam lebih ini dimulai dengan adegan dimana sepasang suami istri yang sedang mengkonsultasikan kehamilan sang istri pada seorang dokter, nampak terkejut ketika sang dokter menunjukkan sesuatu pada pasangan tersebut. Kemudian diketahui bahwa bayi yang tengah dikandung sang istri ternyata kembar siam di bagian kepala. Setting selanjutnya berganti kepada seorang dokter Ben Carson yang dipinta oleh pihak rumah sakit untuk menindak kasus bayi kembar siam ini. Sang dokter ragu dan sempat menolak tawaran itu. Tapi ketika dia memandangi anak-anaknya yang tengah tertidur, hal itu menjadi penyemangat baginya untuk mengambil tawaran operasi itu.

flash back’s time! Cerita tentang masa lalu Ben Carson yang mulanya seorang siswa bodoh, kemudian menjadi siswa pintar bahkan teladan di sekolahnya yang kebanyakan diisi oleh siswa kulit putih. Yang membuat saya terkesan dengan perubahan itu adalah peran ibunya Ben, Sonya, yang walaupun buta huruf, tapi berusaha keras untuk tidak memperlihatkan kekurangan itu pada kedua anaknya. Sonya dengan rela mengeluarkan uang tabungannya untuk membelikan Ben kacamata. Selain itu, sang Ibu juga mendidik anaknya dengan cara tak langsung (bisa dipastikan karena ketidakmampuannya dalam membaca).

“Seminggu hanya dua program televisi yang ditonton!”
“Dalam seminggu harus menghabiskan dua buah buku dan merangkum isinya dalam sebuah tulisan. Kemudian melaporkan isi tulisan itu pada Ibu.”

Keren.

Sang anak (Ben dan Kakaknya), untungnya menurut dan mengerjakan perintah Ibunya. Hingga akhirnya Ben – karena sering membaca dan berlatih – menjadi siswa teladan di sekolahnya dan mulai menyatakan keinginannya menjadi dokter.

Konflik yang membuat saya tersentak adalah masa dimana Ben beranjak remaja dan menjadi salah gaul. Ia menjadi temperamen bahkan dalam suatu adegan, dia berusaha membunuh Ibunya dengan palu. Saya tahu film ini diambil dari kisah nyata. Tapi jika melihat dari awal bagaimana Ben dididik dan bekerja keras – juga bagaimana ia begitu menyayangi ibunya – apa iya Ben pernah nyaris membunuh ibunya?

Konflik selesai ketika ia yang lagi-lagi nyaris menusuk temannya, seketika menyesal dan berdoa pada Tuhan agar ia sanggup meredam sikapnya yang temperamental.

Adegan-adegan selanjutnya sebagian besar mengisahkan kesuksesan-kesuksesan yang ia capai; memperoleh magang di Johns Hopkins yang hanya menerima 2 orang dari 125 (atau 152?) pelamar, keberhasilannya mengoperasi seorang pemuda yang mengalami kecelakaan saat bermain baseball padahal saat itu Ben belum boleh beroperasi, kemampuannya dalam menyembuhkan seorang gadis kecil dari kejang-kejang dengan operasi Hemispherectomy, dan terakhir tentu saja, berhasil melakukan operasi pemisahan bayi kembar siam itu dengan baik.

Ada dua bagian yang menarik bagi saya, yaitu saat Ben kembali bekerja dengan penuh semangat padahal baru saja kehilangan anak ketiganya, dan pada saat ia mengatakan “Ya, saya berdoa setiap hari.”
Saya memandang bahwa orang yang bangkit dari ratapannya dengan begitu cepat dan bahkan melakukan hal yang lebih baik di kemudian hari ini adalah jenis-jenis manusia keren yang sangat memahami pepatah yang mengatakan “Setiap hari adalah kesempatan kedua”. Jadi untuk apa mempermasalahkan masa lalu? Hari esok kita masih bisa berbuat lebih baik.

Seharusnya begitu.

Dan pada saat Ben mengatakan, “Saya berdoa setiap hari.” Dan pasiennya memandangi Ben dengan tatapan takjub. Oh maaaan .. apa sebegitu kuatnya fenomena Dokter yang jarang berdoa?
Saya yang bukan orang medis pun memahami, bahwa Doa adalah penyembuh yang paling essensial untuk penyakit apapun.

Film ini bukan jenis film yang bikin jantung ketar-ketir karena adrenalin yang terus terpacu. Tapi ajaibnya, saya dengan sangat sadar merasakan bahwa semangat saya menjadi sangat terpacu. Yah, efek film motivasi ini masih menjangkiti sampai saya menulis tulisan ini. Melihat yang Sonya Carson lakukan pada anaknya, saya jadi ingin menuliskan rangkuman dari buku apa pun yang saya baca. Semoga bukan hanya keinginan.

Film ini wajib ditonton karena memperlihatkan dengan sangat jelas bahwa kesuksesan hanya dapat diraih dengan banyak belajar, kemauan yang kuat, kerja keras, dan dukungan dari orang-orang terdekat.
Jadi siapakah Ben Carson selanjutnya? J  

   

Sabtu, 05 Juli 2014

UPGRADABLE SISTA

Dulu, sebagai anak pertama, saya berpikir, bahwa saya memiliki kemampuan yang lebih dibanding adik saya, Mila. Seriusan. Menurut saya, dan beberapa orang yang tidak dapat saya sebutkan namanya (haha) saya lebih berani dari dia, lebih cerdas, lebih kreatif dan lebih rajin. Seingat saya, intensitas pertengkaran saya dengan ibu masih jauh dibawah intensitas pertengkaran ibu dengan dia – karena emang orangnya kadang bikin kesel. Usia kami tidak terpaut jauh, hanya terpisah 17 bulan. Saking miripnya perawakan kami, kadang kala orang tertukar untuk menilai kami sehingga aku sering dianggap adiknya dan dia kakaknya – ah betapa karunia baby face ini membuat saya terlena. Hahahhaa

Saya satu sekolah dengannya dari TK hingga Tsanawiyyah,. Sedangkan saya melanjutkan sekolah ke SMA Negeri, dia tetap melanjutkan Aliyahnya di Lembaga yang sama. Berhubung SMA yang saya masuki ini adalah SMA favorit, yaaah perasaan sombong mah pernah ada lah yaa. Apalagi di hadapan Mila yang kalau saya lihat sehari-hari kerjaannya hanya ngurusin muka aja sampe belajar pun diabaikan. Enggak seperti saya, yang ngurusin muka aja nggak, belajar juga kagak. Hahaahahaa

Sikap ibu saya sering kali menunjukkan bahwa dia lebih mempercayai saya dibanding Mila. Apa-apa nyuruh ke saya, apa-apa minta ke saya, apa-apa dikasih ke saya. Saya tahu Mila cemburu. Dia bahkan pernah secara frontal mengatakan bahwa dia iri pada saya yang terus menerus dituruti permintaannya oleh Ibu. Saya baru tersentak saat itu. Selama ini saya terlena oleh kasih sayang ibu yang berlebih terhadap saya, hingga mungkin meremehkan adik saya yang menurut pandangan durjana saya – lo bisa apa sih dibanding gue?

Iya sih saya nggak sampe nangis menyadari itu, hanya saja saya jadi enggak enak sama adik saya, sampe kebawa mimpi. Apalagi pas saya lagi menempuh masa-masa pasca UN SMA, ibu saya keliatan banget ngasih semua perhatiannya ke saya karena saya mau ikut SNMPTN tulis (taun 2012 masih ada SNMPTN tulis). Sudah tak terkira lagi rasa ga enak saya ama Mila. Kelakuan Mila di rumah, kebanyakan uring-uringan dan bikin kesel ibu saya. Kalau saya analisa, kasih sayang ibu yang berlebihan pada saya bisa jadi pemicu terbesar kelakuan adik saya jadi kayak gitu. Saya hanya diam aja. Sementara ibu saya dan orang lain berpikir bahwa Mila makin ga ada apa-apanya dibanding saya, saya malah berpikir bahwa saya ini begitu berdosa pada adik saya itu.

Sampe akhirnya saya kuliah di Unpad dan terpisah dari orang rumah membuat saya sedikit bersyukur karena terhindar dari perang dingin ibu dan Mila. Heheheh

Satu tahun terlewati, dan tak disangka, adik saya pun diterima masuk Unpad melalui SBMPTN. Kami satu  kampus dan satu kosan. Saat itu kosan kami cukup jauh dari kampus. Saya sih biasa-biasa saja dengan kondisi kosan yang nan jauh di mato begitu. Tapi adik saya lain lagi. Mungkin pengaruh karena menjadi mahasiswa baru, dia butuh sering ke kampus dan berkumpul dengan teman-temannya untuk memperoleh informasi apapun entah tentang kuliah, ospek, bahkan kosan yang nyaman. (well, ternyata dia udah berniat pindah kosan sejak pertama masuk Unpad. Hahaha), makanya dia sangat tidak menerima kondisi kosan kami yang menyulitkan buat dia. Dan yang terjadi selanjutnya adalah, adik saya nomaden di kosan teman-temannya. Hari ini nginep dimana, besok nginep dimana. Barang-barang pribadi dan baju-baju dia udah pindah rumah. Jadilah saya penghuni tunggal kosan kami. Zzzz  

Selama hampir satu tahun, isu yang selalu ditiupkan adik saya adalah masalah survey kosan baru. Bahkan baru tengah semester pertama aja dia udah cari kosan baru. Saya jengah juga, karena tiap kita ketemu,
“Yu, sudah cari kosan?”
Pokonya, Mila ini bawel banget masalah kosan, dan dia tipe orang perfeksionis yang segalanya ingin sempurna.
Zzzzzzzzzzzzz……

Awalnya saya acuhkan isu-isu yang dia tebarkan itu, sampe akhirnya masa menjelang UAS semester genap pun tiba. Kami sudah fix akan pindah kosan, dan ibu saya turun tangan langsung nyuruh saya nyari kosan – belakangan saya tahu Mila curhat sama Ibu soalnya Mila ga pernah saya dengerin.

Tapi masalahnya, waktu itu saya lagi fokus terhadap beberapa hal, persiapan UAS, belum kegiatan organisasi dan ikut program kreativitas mahasiswa (PKM) juga. Alhasil, saya boro-boro bisa nyari kosan, kosan lama pun sering saya tinggal. Udah bodo amat, saya serahin semua urusan kosan baru sama adik saya. Mila masih sering nanya pendapat saya tentang kosan ini, fasilitas ini, harganya segini. Tapi emang saya udah apatis banget buat masalah begituan jadi saya iya-iya aja.

Syahdan, adik saya udah nemuin kosan baru yang dinilainya nyaman. Saya masih apatis, ga tergerak untuk bantuin apa-apa. Hingga puncaknya, kemarin ibu nelpon saya sambil marah-marah karena saya sama sekali ga bantuin adik saya untuk menyelesaikan permasalahan kosan. Saya berdalih bahwa saya sibuk dan ga ada waktu buat ngurus masalah kosan. *belagu banget ga sih gueeee

Tapi saya sadar ibu saya ga akan semarah itu kalau saya ga sampe keterlaluan kayak gini. Merasa agak bersalah, saya hubungi Mila dan ngajak dia buka puasa bareng sekalian mau ngomongin masalah pindahan. Beruntung dia menerima dengan antusias dan berencana mengajak saya melihat kosan yang baru. Begitu saya masuk ke kosan kami yang baru, sampe di ruang tamu, saya cukup terkesan karena disana ada sofa. Seketika saya berpikir mungkin saya bisa ngajak anak-anak rapat disana. Hehehe
Kamar kami bernomor 5. Begitu saya masuk kamar, waaah saya makin terkesan. Kamarnya cukup luas untuk kami berdua, dan sudah ada perabotan kamar hasil pencarian sendiri oleh adik saya. Kamar mandinya di luar dan saya lihat kondisinya sangat baik dan bersih. Masih belum selesai saya terpana, adik saya sudah komentar,

“Nanti buffet di rumah mau dibawa kesini, nanti disimpen disana, dan aku mau beli tivi..”
“Hah? Tivi? Uangnya dari mana?” Tanya saya
“Lagi nabung..” kata dia santai. Saya terperangah mendengarnya.

Dalam perjalanan pulang ke kosan yang lama untuk beres-beres disana, saya banyak merenung. Saya rasanya tidak akan sebecus itu dalam mengurusi permasalahan kosan. Saya malu sama adik saya. Saya tidak pernah bantu apa-apa, sedikit pun, tapi dia mampu membuat saya terpana dengan hasil kerjanya.

Saya tidak lagi melihat seorang Mila yang manja, pemarah, dan maunya serba instan. Rasanya, dia sekarang sudah sangat dewasa jika dibandingkan dengan saya. Perfeksionis dan visioner, adikku ini ternyata berharga sekali. Dan saya tidak sanggup lagi untuk meremehkannya seperti dulu. Toh kemampuannya sekarang makin terlihat jelas. Saya membayangkan jika saya yang mengurusi masalah cari kosan ini, kemungkinan besar akan membuat dia kecewa, bahkan saya mungkin akan kecewa dengan kinerja saya sendiri. Iya benar, setiap manusia memiliki kelebihannya masing-masing.  

Her name is Mila, my upgradable sista..    






Kamis, 03 Juli 2014

KIAMAT

Semua terpaku mendengar ucapan Kenneth.
“Bagaimana jika itu arah barat?” ulangnya sambil menunjuk arah matahari terbit. Sinarnya menyembul dibalik gunung-gunung yang menjulang.  
Beiser sambil tertawa melecehkan, ia mengeluarkan kompas dari dalam carriernya dan menunjukkan pada Kenneth.
“Itu arah timur. Kau lihat kompas ini?” Griffith mencemooh.
“Aku tidak mau melihat dengan mataku. Aku hanya melihat dengan hatiku dan berprasangka, itulah arah barat. Hari ini matahari terbit dari barat.” Kenneth bersikeras. Beiser dan Griffith mengangkat bahu.
Tanah tiba-tiba berguncang. Gunung-gunung tiba-tiba terangkat, langit seakan runtuh. Griffith dan Beiser berteriak. Dan Kenneth terbangun dari tidurnya.

“Terima kasih Tuhan. Hari ini belum kiamat.” 

Jumat, 27 Juni 2014

Konsekuensi

Barangkali saya tidak memilih untuk memiliki waktu luang yang banyak.
Barangkali saya tidak memilih rekan kerja yang memiliki waktu luang yang banyak.
Iya. Ini konsekuensi yang mesti saya terima atas pilihan-pilihan itu.
Saya bersyukur telah diberikan kesempatan untuk berbuat lebih banyak.
Saya bersyukur telah diberikan orang-orang yang membantu saya banyak.
Saya telah bersyukur. Saya bahagia.
Jadi, apapun hasilnya di kemudian hari, saya bersyukur atas langkah-langkah yang telah saya buat bersama mereka.

Saya bersyukur. Terima Kasih Tuhan.


Minggu, 11 Mei 2014

Crazy Twenty


Saya nulis postingan ini, mungkin konteks ceritanya tentang hari jadi saya yang ke dua puluh. Tapi saya tulis ini sebagai bentuk persembahan untuk mereka, sahabat-sahabat saya yang memalukan, tapi membuat saya bangga telah mengenal mereka. :)

Lagi-lagi pulang ke kosan dengan kondisi abnormal.
H+1 20 tahun, pulang ke kosan dengan badan dan baju basah kuyup, bau dan menjijikkan karena diceburin ke cekdam Unpad dengan hinanya oleh para antek-antek POM (Pekan Olahraga Mipa) 2014.
H+3 20 tahun, pulang ke kosan dengan badan dan baju basah kuyup, ekstra dangdut karena disemprot glitter alay sama Winna dan Baper dan para pasukan-pasukan himpunan lainnya.
Ah Tuhan.

Saya merasa aneh. Di usia yang udah masuk kepala dua ini (berasa tua -_-), Engkau masih memberiku kesempatan untuk ‘dianiaya’ di hari kelahiran saya. Meski udah ga pake sandiwara-sandiwaraan lagi, tapi tetep aja klik banget penganiayaannya. Hal-hal sederhana seperti menceburkan orang ke cekdam, menyiram orang dengan air bekas cuci piring, menyemprotkan glitter alay, colek-colekkan muka pake whipped cream, dan aksi ‘sadis’ lainnya, seakan kembali merefresh mental kanak-kanak saya. Perasaan menjadi anak-anak itu, adalah salah satu anugerah Tuhan yang amat saya syukuri karena dapat merasakannya dengan bahagia – yang entah mengapa saya takut kehilangan perasaan itu.

Saya memang menantikan kedewasaan berkembang dalam diri saya. Namun saya enggan melepas masa kekanak-kanakan saya ini. Seakan itu adalah aset yang sangat berharga dalam hidup saya, aset yang dapat membahagiakan saya dalam beberapa waktu. Dan saya teramat bersyukur telah menjadi bagian dari lingkungan tempat saya sekarang. Lingkungan yang dapat melatih kedewasaan pemikiran saya, tapi tetap dapat memelihara mental kanak-kanak saya. Kadang saya begitu takjub dengan orang-orang di sekeliling saya yang begitu hebat, begitu dewasa namun tiba-tiba berada dalam kebocahannya. Mereka yang tahu saat dimana mereka menjadi begitu kuat, dan saat dimana mereka menjadi memalukan. Hahahhaa

Dan dari hasil H+1 dan H+3 20 tahunan saya, muncul saja perasaan semacam takut. Takut akan kehilangan mereka. Barangkali saya takut kehilangan pikiran kanak-kanak saya, karena mereka lah yang membantu saya untuk tetap mempertahankan pola pikir seperti itu. Tapi lebih dari sekedar itu, saya bersyukur telah mengenal mereka. Kalau bahasa so sweetnya, ada suatu ruang khusus di tubuh saya yang mereka termasuk ke dalamnya. Wkwkwk lebay yaa. Ah Tuhan. 

Saya merasa malu. Mungkin mereka berharap saya nraktir mereka makan, atau jalan-jalan ke tempat wisata yang asyik untuk merayakan 20 tahunan saya. Tapi maafkan saya yang begini. Yang belum bisa memberi apa-apa, padahal kalian sudah memberi banyak pada saya. Saya hanya dapat berdoa dalam hati, semoga Tuhan membalas lebih banyak budi baik kalian selama ini terhadap saya, dan semoga saya bisa membahagiakan kalian suatu saat nanti. Terima kasih karena selama ini telah menerima saya apa adanya. Saya ini memang pelupa. Tapi saya tak sudi melupakan kalian. Bukan Sweet Seventeen yang menakjubkan, tapi Crazy Twenty yang mencengangkan. Sahabat-sahabat yang aku kasihi, Tuhan yang Maha Agung yang telah mengirimkan kalian dalam hidup saya. Alhamdulillah.